Gumpalan asap putih terlihat memenuhi sebagian ruas jalan di depanku. Aroma khas daging ayam dibakar pun sudah tercium dalam jarak beberapa meter dari sana. Perlahan Aku menepikan motorku dan berhenti di samping warung sate  Cak Ahmad di Jl. Cokroaminoto langgananku tersebut. Aku lihat sudah ada dua orang pembeli di sana.
"Bang, sate lima belas tusuk pake lontong satu, dibungkus, ya."
"Baik, Mas. Ditunggu sebentar," jawab tukang satenya.
Aku mengambil kursi dan duduk tak jauh dari tempat pembakaran satenya. Aku duduk menghadap ke jalan raya. Sesekali pandangan mataku memperhatikan kesibukan tukang sate tersebut.
Dengan cekatan dia menata tusuk-tusuk sate di atas pembakarannya. Tangan kirinya memegang sebuah kipas dari anyaman bambu. Dengan lincahnya tangan itu mengipasi bara api di dalam tempat pembakaran. Sebentar kemudian tusuk sate itu di bolak-balik agar tidak terjadi gosong pada daging ayamnya.
Waktu sudah menunjukkan lebih dari pukul enam sore. Saat orang-orang sibuk untuk mencari makan malam. Tetapi warung sate langgananku ini tidak ramai pembeli seperti di warung-warung makan di tempat lain. Terutama warung ayam bakar dan ayam goreng maupun nasi goreng yang banyak terdapat di sepanjang jalan dekat tempat tinggalku ini.
Tak beberapa lama kemudian datang sepasang muda-mudi. Mereka berpakaian rapi dan terlihat membawa tas. Mungkin mereka anak kuliahan. Setelah memesan dua porsi sate lontong mereka duduk di dalam tenda.
Datang lagi seorang ibu paruh baya bersepeda motor. Beliau menghentikan motornya di depan tungku pembakaran sate. Dipandanginya Cak Ahmad yang sedang sibuk mengipasi satenya.
"Mas, tuku lontonge rong puluh," kata Ibu dengan logat Jawanya.
"Ga punya, Bu. Ga jual lontong," jawab Cak Ahmad masih terus mengipasi satenya.
Aku terkejut mendengar jawabannya. Â Kenapa dia bilang ga punya lontong? Lha tadi Aku pesen sate lontong ... ada. Terus pembeli yang lain juga dilayani. Tapi kenapa dengan ibu ini?