Mohon tunggu...
Boby Richard
Boby Richard Mohon Tunggu... Wiraswasta - Mahasiswa Ilmu Filsafat yang berminat dengan segala omong kosong filosofis.

Hidup yang tidak diperiksa adalah hidup yang tidak layak untuk dijalani! - Socrates.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Seni yang Melampaui

31 Mei 2020   01:40 Diperbarui: 31 Mei 2020   02:08 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Stairway to Heaven by Jim Warren. 

Beberapa malam yang lalu, berkat pertemuan yang tidak disengaja, kami: aku; dan kawan-kawan, pergi ke sudut hutan sekadar bermalam, menggodam semua pandemi keheningan  atas laku hidup yang kaku, dan menenggak habis sebotol penuh kolesom murahan.

Hutan, tentu saja, menawarkan berbagai medium keindahan yang mungkin tidak bisa kita dapatkan di kota, begitu pikirku. Itu makanya kebanyakan kita rela bersusah payah mencapai puncak demi sebuah lanskap tak bertepi yang memamerkan semua warna profan, semilir angin yang menggugurkan dedaunan, atau, mendengarkan kicau burung yang bernyanyi untuk menggoda betinanya.

Tentu saja seni tidak sesempit spektrum bunyi atau sekumpulan titik pada wadah. Seni merangkum semua produk imajinasi yang termanifestasikan dalam kerangka pikiran. Oleh karenanya kita melihat keteraturan benda-benda angkasa berlari sesuai porosnya kita anggap sebagai seni. Bahkan, menurut Nietzsche, tanpa kita sadari, suka atau tidak suka, hidup yang kita jalani adalah seni itu sendiri, terlepas dari kebanalan rutinitas tiap individu, 'dari penikmat seni, menuju seni itu sendiri', tulisnya.

Mengutip KBBI; seni adalah segala sesuatu yang terciptakan untuk manusia yang mengandung unsur keindahan dan mampu membangkitkan perasaan dirinya sendiri maupun orang lain. Berdasarkan definisi ini seni adalah produk keindahan, di mana manusia berusaha menciptakan sesuatu yang indah dan dapat membawa kesenangan tanpa harus diintervensi oleh sesuatu tertentu.

Itu sebabnya Manifesto Kebudayaan (Manikebu) menentang realisme sosialisnya Lekra---organisasi kebudayaan yang sangat dekat dengan PKI, dan Demokrasi Terpimpinnya Soekarno---yang rigor, yang menghegemonikan sastra ke dalam pemberhalaan partai politik, bahwa seni harus diimplementasikan sesuai dengan tujuan politik tertentu; seni yang tunduk di bawah kekakuan Politik adalah Panglima-nya Lekra.

 Padahal menurut Lifshitz, tulisan Marx 'menekankan kesenjangan perkembangan sosial dengan artistik, dan memandang sasaran tertinggi estetika Marx adalah memecahkan kontradiksi antara perkembangan kekuatan produktif dengan meningkatnya alienasi kelas-kelas produktif, ia melihat dalam Marxisme ada sarana untuk menghapus kontradiksi antara penindas dan yang ditindas, sehingga memungkinkan terciptanya kebudayaan universal yang nir-kelas dan tidak mengasingkan'.

Kontradiksi di dalam seni selalu ada. Kita sering kali menganggap seni mampu menjawab semua tanda-tanya atas hidup, padahal kita tahu, itu semua omong-kosong imajiner. Kesetaraan atas seni hanya bisa dijamin kalau kita membatasi kebebasan individu atas nasib yang lebih baik. Begitu setiap kebebasan individu melakukan sesuai kehendaknya, maka tak terelakkan mengubah kesetaraan.

Semua aliran pemikiran juga menampilkan kontradiksi-kontradiksi itu. Komunis mencita-citakan masyarakat yang egaliter, tapi di satu sisi menghasilkan kediktatoran proletariat yang berusaha mengontrol segala tindak-tanduk kehidupan sehari-hari. Kapitalisme bercita-cita menyejetarakan umat manusia, tapi di sisi lain menciptakan jurang-jurang ekonomi yang sangat timpang. Dar-ul Islam juga tak mau kalah dalam mengimajinasikan sebuah tatanan yang ideal; sebuah tatanan masyarakat yang sempurna; sebuah kedamaian yang menyeluruh. Tapi, di sisi lain menciptakan utopianisme eskapis. Mungkin itu sebabnya utopianisme mengandung dalam dirinya sendiri: distopia, wajah lain dari ketidak-sempurnaan.

Kontradiksi semacam itu bukanlah hal yang tabu, dia adalah sesuatu yang tak bisa terpisahkan dalam setiap kebudayaan manusia, kontradiksi adalah produk kreatif dari dialektika tak berkesudahan yang siap mengevaluasi, meredefinisikan ulang, bahkan mengkritisi apa yang sudah kita capai sepanjang kita menjadi kita. Statisisme dalam pemikiran adalah usaha sia-sia dalam pemikiran manusia yang profanitas.

Seperti halnya dua not musik yang berbeda ketika dimainkan bersamaan akan menghasilkan setitik bunyi yang indah, begitu juga dengan pemikiran oksimoron kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun