Mohon tunggu...
Boby Richard
Boby Richard Mohon Tunggu... Wiraswasta - Mahasiswa Ilmu Filsafat yang berminat dengan segala omong kosong filosofis.

Hidup yang tidak diperiksa adalah hidup yang tidak layak untuk dijalani! - Socrates.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Coronavirus: Orang Lain adalah Neraka

28 Maret 2020   13:35 Diperbarui: 28 Maret 2020   14:02 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
The Scream 1893 oleh Edvard Munch

Di tengah pandemi global yang semakin tak menentu ini, suka atau tidak pada akhirnya kita akan membatasi diri kita sebisa mungkin untuk menjauhi kerumunan orang.

Berdiam diri di rumah bersama orang-orang terdekat, berpergian untuk membeli kebutuhan pokok dengan menerapkan social distancing seperti yang diintruksikan atau yang paling buruk, menganggap orang lain sebagai neraka.

Mungkin Sartre akan beranggapan hal yang sama terkait ini, sebagaimana dia menihilkan keberadaan orang lain saat berada di Cafe de Flore sebelah kiri boulevard St Germany bersama Simone de Beauvoir, kekasihnya.

Eksistensialisme Sartre menjadikan manusia sebagai subjeknya sebagai "aku ada" mendahului esensinya sebagai "kenapa aku ada", lain halnya dengan eksistensialisme Kierkegaard yang menggunakan satu dari "tiga lompatan" terakhir sebagai dalih "aku ada".

Bahkan, Sartre tanpa tedeng aling-aling mengatakan bahwa "manusia dikutuk untuk bebas", berani mengambil resiko apapun konsekuensinya. Bukan malah menyalahkan "Bapa Adam" untuk menghindari tanggung jawab atas tindakan-tindakan kita.

Jika diberi dua pilihan; antara meledakkan sebuah bangunan untuk menghentikan penyebaran virus (walaupun dengan beberapa anak kecil di dalamnya), atau dengan menunggu penghuni rumah dulu untuk keluar, tapi virus ikut keluar bersama penghuni rumah lalu menyebar ke seantero planet. Sartre dengan tegas akan memilih opsi pertama sebagai langkah yang efektif. Bukan karena Sartre kejam, melainkan karena kemanusiaan menuntut itu.

Kemanusiaan, bukan melulu seperangkat alat atau mekanisme yang menjadikan manusia sebagai manusia yang melandasi hubungan antar manusia.

Jika dilihat dalam perspektif yang paling liar; kemanusiaan juga berarti membunuh satu manusia untuk tetap menjaga seratus manusia agar berada tetap di markanya sebagai "manusia".

Saya tidak mau mendramatisir kasus ini sebagai hal yang sangat menakutkan. Tahun-tahun buruk sudah dilewati manusia sepanjang manusia menapaki kakinya di planet ini; mulai dari Nazi yang mencoba eksperimen berbahaya yang menjadikan manusia sebagai kelinci percobaannya (suka atau tidak suka dunia berhutang budi atas eksperimen yang dilakukan Nazi), invasi bangsa Mongol terhadap peradaban-peradaban dunia, sampai Wabah Hitam atau Black death yang memakan korban separuh dari penghuni Eropa yang mengubah jalannya sejarah.

Lalu, apa relevansinya antara Corona dan  Eksistensialisme Sartre? Maka, saya akan menjawab bahwa kita, manusia, harus berani mengambil konsekuensinya dengan menanggalkan "Langit" atas apa yang telah kita lakukan. Bukan karena "Langit" itu tidak ada, melainkan karena manusia masih menapaki Bumi.

Pada akhirnya, Corona juga mengajarkan kita bahwa yang paling khas dari kerumunan orang adalah obrolan-obrolan omong kosong. Ya, walaupun ga omong kosong banget.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun