Mohon tunggu...
Bobi Anwar Maarif
Bobi Anwar Maarif Mohon Tunggu... Buruh - Sekjen Serikat Buruh Migran Indonesia

Sekjen Serikat Buruh Migran Indonesia, masa bakti 2019-2024. Asal Kabupaten Karawang. Sekretariat : Jl Pengadegan Utara I No 1A RT 08/06 Pancoran Jakarta Selatan Email: bobi@sbmi.or.id I Phone: 0852 8300 6797

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

TKI Rentan Terjerat Mafia Narkoba

26 Januari 2016   23:57 Diperbarui: 27 Januari 2016   08:22 7
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Buruh Migran Indonesia (BMI) atau yang lazim disebut sebagai TKI, rentan dijadikan kurir narkoba oleh jaringan internasional perdagangan narkoba. Seperti yang sedang ramai diperbincangkan saat ini yang dialami oleh Rita Krisdianti (28) BMI Hongkong asal Kabupaten Ponorogo Jawa Timur. Tanggal 28 Januari 2016 nanti ia akan menjalani penentuan putusan pengadilan Distrik Penang Malaysia, Putusan itu menjadi penentu hidup dan matinya.

Berdasarkan data Kementerian Luar Negeri dari 1 Desember 2004 sampai dengan Pebruari 2015 mencatat 131 (57,21%) dari 229 TKI yang terancam hukuman mati di luar negeri, karena tersandung kasus narkoba. Jumlah ini menduduki urutan pertama, urutan berikutnya adalah kasus pembunuhan sebanyak 77 (33,62%), kasus perzinahan sebanyak 10 (4,37%), kasus sihir sebanyak 7 (3.06%), kasus penculikan sebanyak 3 (1,31%), dan kasus senjata api sebanyak 1 (0,43%).

Berdasarkan sebaran tempat kejadian perkaranya, urutan jumlah banyaknya kasus yang terancam hukuman mati adalah sebagai berikut : Malaysia 168, Arab Saudi 38, China 15, Singapura 4, Laos 2, Uni Emirat Arab dan Vietnam masing-masing 1 kasus.

Menjadi pertanyaan  besar kenapa buruh migran rentan dijadikan kurir narkoba.

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa kebnyakan migrasi buruh migran Indonesia ke luar negeri karena keterpaksaan (force migration). Hal itu terjadi karena sulitnya mengakses lapangan pekerjaan didalam negeri yang berdampak pada lemahnya ekonomi keluarga buruh migran. Sumber ekonomi produktif di akar sektornya seperti sektor buruh tani, buruh nelayan, pedagang kecil dan lainnya itu tidak bisa menjamin kesejahteraan hidupnya. Paket kebijakan pemerintah disektor-sektor tersebut juga masih setengah hati. Seperti disektor pertanian hingga hari ini, masih banyak sekali kita membaca berita tentang alih fungsi lahan, penggusuran lahan, penetapan harga dasar gabah yang merugikan petani, akses air, atau kebijakan impor beras.

Pada saat calon buruh migran akan berangkat ke luar negeri, informasi tentang migrasi ketenagakerjaan tidak tersedia dikampung-kampung asal buruh migran. Informasi masih didominasi dari para calo yang motifnya adalah keuntungan (profit) dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Informasi sesat tersebar dimana-mana.

Pada saat di penampungan, karena pendidikan dan pelatihannya dikelola oleh PJTKI, yang terjadi proses pendidikan dan pelatihan hanya sekedar formalitas, karena dengan begitu akan mengurangi cost dan menambah keuntungan, bahkan ada yang tidak di didik sama sekali. Padahal di luar negeri, majikan berasumsi bahwa pekerjanya sudah memiliki keterampilan bahasa dan keterampilan kerja.

Mahalnya biaya penempatan ke luar negeri juga menjadi problem bagi buruh migran ataupun majikan. Karena pada prinsipnya biaya penempatan itu ada yang yang ditanggung sepenuhnya oleh BMI seperti program penempatan antar pemerintah (Goverment to Goverment) ke Korea Selatan dan Jepang. Ada yang ditanggung bersama oleh BMI dan majikan seperti penempatan ke Asia Pacifik (Malaysia, Singapura, Hongkong dan Taiwan) dan ada yang ditanggung sepenuhnya oleh majikan, seperti penempatan ke Timur Tengah. Dari ketiga model pembiayaan ini, kita bisa melihat tidak adanya intervensi dari pemerintah. Prinsip pelayanan publik yang murah masih jauh panggang dari api.

Masing-masing model pembiayaan penempatan memiliki resikonya sendiri-sendiri. Program GtoG biayanya murah tapi rawan pungli, dari 4 jutaan membengkak menjadi 50 jutaan. Yang ditanggung bersama, BMI dipotong gajinya hingga 8 bulan bahkan lebih untuk membayar biaya proses penempatan. Adapun yang ditanggung sepenuhnya oleh majikan, resikonya gaji BMI kecil dan rentan perbudakan. 

Rententan problem tata kelola program penempatan di dalam negeri, berlanjut hingga di luar negeri. BMI yang sudah bekerja, rentan dengan pemutusan hubungan kerja (PHK). BMI yang mengalami PHK pilihannya dua, pulang atau melanjutkan kerja pada majikan baru. Pulang sebelum habis masa potongan gaji akan berakibat harus mengganti rugi biaya penempatan hingga 20 jutaan. Mencari majikan baru juga punya resiko, seperti di Hongkong misalnya, BMI harus diproses melalui agen yang sama, harus membayar mahal lagi dengan potongan gaji yang baru, dan harus keluar dulu ke Macau. Di Macaupun tidak ada jaminan berapa lama masa tunggunya.

Berdasarkan rilis Jaringan Buruh Migran dari Migran Institutte NGO yang mendampingi kasus Rita Krisdianti. Rita bekerja kurang dari tiga bulan, kemudian di PHK oleh majikannya. Kemudian dikembalikan kepada agensi untuk mendapatkan majikan baru. Oleh agensi Rita Krisdianti diharuskan menunggu di Macau dari bulan April 2015 sampai dengan bulan Juli 2015. Mungkin inilah yang menjadi pertimbangan bagi Rita Krisdianti kenapa ia mau diajak bisnis sambilan oleh teman kosnya. Terlebih teman kosnya menjanjikan bisnis halal yaitu jualan pakaian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun