Mohon tunggu...
Bobby Triadi
Bobby Triadi Mohon Tunggu... Jurnalis - Menulis sambil tersenyum

Lahir di Medan, berkecimpung di dunia jurnalistik sejak tahun 1998 dan terakhir di TEMPO untuk wilayah Riau hingga Desember 2007.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Keteladanan Aditya, Keteladanan yang Nyaris Punah

10 Oktober 2011   07:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:08 1211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_136093" align="aligncenter" width="567" caption="Aditya dan Sunarti. (foto: bobby triadi)"][/caption]

Namanya Muhamad Aditya, bocah 5 tahun yang pada 2 Desember mendatang menginjak usia 6 tahun. Sedari usia 2 tahun Aditya telah merawat ibunya yang tak berdaya dan tergeletak pasrah diranjang usang dan berderit bunyi ketika tubuh sedikit bergerak.

Kisah Aditya aku dapatkan dan aku dengar3 minggu yang lalu dari sahabat-sahabat ku di sebuah café dibilangan Darmawangsa, Jakarta Selatan. Iya adalah Dewi Hughes, presenter yang belakangan aktif bergerak dibidang sosial terkhusus pada pendidikan. Itulah yang akhirnya mengangkat Hughes sebagai Duta Pendidikan. Ntahlah apa awal cerita yang kami diskusikan saat itu, hanya tiba-tiba Hughes bercerita tentang sosok Aditya kepada kami.

Saat itu, dari sekilas cerita Hughes, aku hanya berfikir apa mungkin ada anak seperti itu disaat tingkah pola anak-anak sekarang sudah dipengaruhi oleh berbagai tayangan televisi yang banyak mengalirkan energi negatif dengan tayangan negatif untuk disaksikan oleh anak-anak. Didepan mata, aku sendiri sering melihat anak-anak yang sudah dengan gampangnya memukul ibunya ketika marah karena tidak dituruti keinginannya. Mengupat ibunya ketika tidak diberi uang buat jajan. Mengingatkan ku akan beberapa berita tentang anak yang membunuh ibunya karena hanya tak diberi uang.

Kehadiran sosok Aditya dimasa ini aku anggap sebagai sosok keteladanan yang hadir disaat keteladanan itu sudah nyaris punah menyertai anak-anak Indonesia. Aku pribadi menobatkannya sebagai “Aditya Si Anak Teladan”. Kisah Aditya ini semoga dapat mengingatkan kita kembali kepada sosok ibu yang telah mempertaruhkan nyawanya saat melahirkan bayi mungilnya ke bumi. Sosok mungil itu adalah aku, kamu dan kita semua yang membaca tulisan ini.

Aditya adalah target utama ku melakukan perjalanan tak singkat ini ke Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Seorang bocah belia penginjak usia emas yang harus seorang diri merawat ibunya Sunarti, kelahiran Surabaya 46 tahun silam.

Kedatangan ku, Sabtu 2 Oktober 2011, minggu lalu, memang terhitung telat dan sudah “basi”, di saat media-media sudah tak lagi memberitakan kisah ibu dan anak ini sejak enam bulan yang lalu. Paling tidak aku sudah melawan rasa penasaran ku yang ingin berbuat dan mempersembahkan sesuatu yang kelak dapat terus di ingat dan menjadi contoh bagi anak-anak Indonesia melalui kisah Aditya. Setidaknya suatu hari nanti.

Perjalanan panjang menggunakan mobil tak kurang dari delapan belas jam menuju Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur, membuat beberapa bagian sendi dan otot terasa berdenyut tak karuan, namun seketika sirna sejenak saat mobil yang ku kendarai berhenti di ujung gang, 30 meter dari rumah yang di tuju.

Sunarti sudah ditinggal wafat oleh kedua orang tuanya sejak masih berusia 6 tahun. Entah bagaimana akhirnya Sunarti berada di Nganjuk, yang pasti sedari kecil Sunarti sudah bekerja ikut kesana kemari dan tiba-tiba sudah berada di Nganjuk.

Di usianya beranjak 14 tahun, Sunarti menikah dengan Kusmiran. Kusmiran sendiri telah tiada ketika Sunarti baru berumur 25 tahun, saat sedang bekerja diproyek pemasangan kabel listrik dan meninggalkan beban tanggung jawab membesarkan tiga orang anak yang masih kecil-kecil kepada Sunarti.

Adalah Ali, anak ketiga dari suami pertama Sunarti yang membukakan pintu ketika aku tiba di rumah yang kini ditempati oleh Aditya bersama dengan Ibunya.

Rumah kontrakan yang kecil tapi memanjang, cat tembok rumah yang terkelupas hampir disetiap sisinya. Rumah dengan 2 kamar tidur, dapur dan kamar mandi ini ia sewa seharga 5 juta untuk 3 tahun. Di salah satu kamar, Sumiati terlihat sedang terbaring dan seketika menangis ketika aku mengucapkan salam di dalam kamarnya yang kecil tanpa langit-langit dan bersarang laba-laba.

Tak dapat ku hitung kata maaf yang dilontarkan Sunarti dari mulutnya dengan nada terisak. Permintaan maaf itu hanyalah karena kamar yang berantakan dan merasa telah merepotkan ku yang telah datang ke rumahnya.

Sayang aku tak langsung bisa menemui Aditya, sore menjelang malam itu. Bagiku, Aditya adalah contoh anak teladan yang layak diberi penghargaan sebagai hadiah atas apa yang telah di dedikasikannya selama ini untuk ibunya di tengah fenomena menurunnya rasa hormat dan kasih sayang anak kepada orang tua.

Menurut Ali dan Sunarti, Aditya berada di Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pelayanan (Panti) Sosial (PS) Asuhan Anak Nganjuk dibawah naungan Dinas Sosial Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan belum pernah pulang ke rumah sejak Sunarti pulang dari rumah sakit 23 September 2011 lalu. Padahal sebelumnya, Aditya rutin membesuknya di rumah sakit.

Lagi-lagi Sunarti kembali terisak, dari mulutnya keluar kata-kata merindukan Aditya.

Aditya dititipkan di Panti ketika awal pertama Sunarti dirujuk untuk dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) oleh Bupati Kabupaten Nganjuk, Drs. H. Taufiqurrahman yang datang kerumahnya. Alasannya, agar Aditya ada yang menjaga dan merawat.

Namun sempat terucap dari mulut Sunarti, kalau Aditya tidak diberikan izin pulang oleh pengurus Panti.

Semasa dirawat di RSUD, Sunarti mengaku pernah menanda tangani surat dalam map yang disodorkan oleh Lilik Rusmaliandri, pekerja sosial yang menjadi bunda asuh Aditya selama di Panti. Namun karena kondisinya yang masih lemah dan bingung, Sunarti sendiri tidak tahu apa isi surat yang ditanda tanganinya itu.

Dari pengakuan Sunarti, itu surat administrasi izin dari orang tua untuk menitipkan anaknya. “Kata Bunda Lilik, itu surat penitipan Aditya selama di Panti. Kalau tidak Aditya tidak bisa dititipkan.”

Namun beda pengakuan Lilik, beliau mengaku Sunarti belum pernah menandatangani surat apa pun.

Mengenai pembiayaan perawatan Sunarti di RSUD, semuanya ditanggung oleh pemerintah kabupaten Nganjuk.

Sejak itu, Aditya sudah tak lagi memasak nasi, membuat teh, mencuci baju, mencuci piring, menyapu dan mengepel rumah lagi. Bahkan Aditya sudah tak lagi mengganti alas tidur, mengganti baju, ataupun membersihkan luka di punggung ibunya lagi.

Aditya kini sudah bersekolah di TK Pertiwi tak jauh dari Panti, bersosialisasi dengan teman-teman barunya di Panti dan sudah ada yang memasakkan makanan untuk dia santap.

Namun Aditya yang bercita-cita sangat ingin menjadi tentara ini mengaku lebih senang tinggal dan tidur dirumah bersama dengan ibunya.

Sunarti mengaku tak pernah menyuruh Aditya untuk melakukan semua pekerjaan itu, dia sendiri bahkan bingung darimana anaknya belajar melakukan itu semua.

Dari keterangan Sunarti yang pernah bekerja sebagai buruh salah satu pabrik sepatu di Surabaya ini, setiap hari Aditya bangun jam 5 pagi dan mengerjakan semua pekerjaan yang seharusnya dilakukan Sunarti.

Sunarti menebak, Aditya belajar semua itu dari melihat Rudi (bapaknya) yang kini setelah Sunarti tak berdaya jarang menyambangi mereka.

Rudi adalah bapak Aditya, suami kedua Sumiati yang menikah sirih pada tahun 2005 tak lama sejak ia berkenalan dengannya. Tahun 2006, lahirlah Aditya. Rudi bekerja diluar kota sejak keadaan Sunarti mulai sakit-sakitan, kala itu Rudi masih rutin dan sering pulang ke rumah untuk memberikan nafkah dan melihat kondisi keluarganya. Namun, sejak keadaan Sunarti semakin parah, justru Rudi semakin jarang pulang.

Dari penilaian warga sekitar, Rudi dinilai tidak bertanggung-jawab. Bukan hanya jarang pulang dan memberikan nafkah, Rudi juga di yakini beberapa kali membawa pergi uang sumbangan yang ditujukan untuk Aditya dan Sunarti. Hal itu pulalah yang pernah membuat Ali jengkel kepada ibunya. “Ya begitu, kalau dengan bapak pasti ibu seperti itu. Kalau dengan anak-anaknya ibu beda, kalau terus begitu saya tinggal pergi lagi aja,” tutur Ali kepada Lilik ketika itu.

Kini semua pekerjaan Aditya di rumah dikerjakan oleh Ali. Ia menjadi sosok penting yang hadir dalam keseharian Sunarti. Ali kini memutuskan untuk berhenti bekerja di tempat lamanya sebagai pelayan di warung mie dan memilih untuk merawat ibunya sambil bekerja di tempat cucian mobil dan motor tak jauh dari rumahnya.

Ali sendiri tak tahu kondisi ibunya yang semakin hari semakin parah. Sudah lama ia tak lagi tinggal bersama ibu dan adiknya. Ia mengetahui kondisi ibunya dari pemberitaan media yang saat itu gencar memberitakan tentang ibu dan adiknya.

Kepada Sunarti, Ali mengaku malu kepada Aditya yang telah berbuat banyak ketimbang dirinya terhadap ibu yang sama-sama telah melahirkan mereka.

Dari Ervi keponakan Sunarti, Ali belajar merawat ibunya. Ervi sendiri sedang menjalani pendidikan ilmu keperawatan di Mojokerto.

Tiba-tiba rasa penasaran ku hilang ketika Aditya muncul setelah dijemput Ali dari Panti.

Mengharukan ketika melihat Sunarti dan Aditya berpelukan dengan air mata bercucuran, menghapuskan perasaan rindu yang menjadi-jadi sebelumnya.

Aditya masih tampak malu-malu ketika disapa oleh ku, apalagi ketika beberapa pertanyaan ringan aku coba lontarkan kepadanya. Aditya tetap tertunduk dan kembali memeluk ibunya yang terbaring tak berdaya itu.

Lalu Aditya berdiri dan menuju dimana perlengkapan perawatan ibunya diletakkan, sambil memeriksa, dari mulutnya keluar kata-kata yang mengatakan beberapa keperluan yang sudah habis sambil menunjukkannya kepada Sunarti.

Aditya juga mencari dan mengambil baju dan lipstik yang ia belikan buat ibunya sebagai oleh-olehnya dari Jakarta ketika ia menerima penghargaan dari salah satu stasiun televisi swasta.

PERJALANAN PANJANG ADITYA DAN SUNARTI

Tak banyak yang mengenal dan tahu tentang kehidupan Sunarti dan Aditya, dari tetangga terdekatnya Pak Tris juga tak banyak informasi yang didapatkan. Sunarti tergolong masih sangat baru tinggal dan mengontrak rumah di lingkungan mereka.

Dari Pak Tris-lah kisah ibu dan anak ini terungkap luas ke publik melalui media-media.

Hari itu pagi, hari ke empat, minggu kedua di bulan April 2011, Sunarti dan Aditya menempati rumah itu. Tris tak sengaja melihat dan memperhatikan Aditya yang sedang mengerjakan semua pekerjaan rumah tanpa melihat sekali pun sosok ibu di rumah tersebut.

Lalu Tris menyapa dan menanyakan kepada Aditya kenapa mengerjakan semua pekerjaan itu, dari mulut Aditya yang pemalu, terpancar sinar ketakutan di wajahnya terhadap orang asing sambil menjawab ibunya sakit.

Dari situlah Tris mengetahui kondisi ibu dan anak itu. Kepada tetangganya, Tris lalu bercerita dan berencana untuk mencari simpati masyarakat melalui media.

Seperti yang disampaikan Sunarti kepada ku saat itu, ia tidak tau apa salahnya sampai tiba-tiba banyak wartawan yang datang mewawancarainya. Sampai akhirnya semakin ramai orang yang datang, termasuk media-media nasional yang terus silih berganti berdatangan ke rumahnya.

Tak lama setelah itu, Bupati Nganjuk beserta Camat juga datang dan merujuknya ke rumah sakit.

Sunarti dan Aditya sebelumnya menempati rumah mereka di Tanjung Rejo, Gang Semeru V, Nganjuk. Dari sanalah awal cerita ibu dan anak tersebut bermula. Kondisi yang semakin parah membuat Sunarti harus menjual rumah tersebut senilai 30 juta. Suaminya, yang bekerja serabutan tak mampu membiayai penuh pengobatan Sunarti.

Lalu Sunarti membeli rumah yang lebih murah di Desa Meran, namun kondisinya semakin hari semakin parah. Perabotan dan perhiasan pun sudah habis dia jual untuk biaya berobat ke dokter dan pengobatan alternatif. Akhirnya, rumah itu pun ia jual dan pindah ke rumah kontrakan yang sekarang ia tempati bersama Aditya dan Ali, di Jalan Wilis, Gang II-C, Lingkungan Jarakan, Kabupaten Nganjuk.

Di kedua rumah itulah banyak tercatat kisah perjalanan Aditya merawat ibunya selama lebih kurang 4 tahun. Namun kisah yang sudah berjalan selama bertahun-tahun itu, seperti luput dari kepedulian tetangga dan perhatian pemerintah.

Pemerintah Kabupaten Nganjuk melalui Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Pemkab Nganjuk, Drs Imam Hanafi MSi, mengaku kecolongan. Menurutnya kasus yang menimpa Aditya dan ibunya luput dari pantauan Pemkab karena yang bersangkutan hidup berpindah-pindah tempat tinggal.

“Saat ini pun, Ny Sunarti tidak memiliki KTP, yang bisa digunakan sebagai persyaratan untuk mendapatkan Jamkesda-jaminan kesehatan daerah atau Jamkesnas-jaminan kesehatan nasional. “Kami sudah minta Camat kota Nganjuk untuk memproses agar pengobatannya bisa lancar,” ujar Imam.

Imam juga menambahkan, bahwa pengobatan Sunarti akan ditanggung seluruhnya oleh Pemkab Nganjuk. “Akan diobati sampai pulih. Kita serahkan kepada dokter penanganannya.”

MASA KANAK-KANAK YANG TERCURI

Matahari baru saja menyembul kebelahan bumi bagian barat, ayam jago berkokok, jam sudah menunjukkan pukul 5 pagi, Aditya terbangun dan lalu mengerjakan semua rutinitas, merapikan rumah, menyapu, mengepel lantai, mencuci baju, mencuci piring, membuat secangkir besar teh manis buat ibunya, membersihkan badan ibunya, mengganti baju ibunya, membersihkan luka dipunggung ibunya dan kemudian keluar membeli sarapan.

Ada satu hal yang menarik dari pengakuan Sunarti, Aditya tidak akan pulang kerumah sebelum ia menemukan sarapan buat ibunya.

Segala aktifitas ini sudah terpola di diri Aditya sejak ia masih berumur 2 tahun. Masa bermain dan bersosialisasi terhadap lingkungan pun luput dari kehidupan Aditya, terlebih haknya untuk mendapatkan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).

Dari keterangan Sunarti, Aditya hampir tidak pernah keluar rumah kecuali membeli perbekalan buat di dapur. Kalau pun bermain tidak jauh-jauh dari rumah dan cenderung banyak bermain di dalam rumah. “Teman-temannya yang datang ke rumah dan bermain disini, sekarang sepi karena tidak ada Aditya di rumah.”

Aditya nyaris tak pernah bersosialisai dengan lingkungan sekitarnya.

Dari ekspresi wajahnya terlihat rasa takut ketika orang-orang yang tak dikenal mulai ramaiberkumpul di dalam rumahnya, terkadang justru Aditya menangis dipelukan ibunya ketika mulai tak merasa nyaman dengan keramaian itu.

Pak Tris juga menjelaskan suasana diri Aditya itu kepada ku dan aku beruntung dapat membuktikannya sendiri dengan kedua mata ku.

Keseharian Aditya itu bisa dikatakan tidak lazim. Bagaimana tidak, anak yang sedang menginjak usia emas itu harus mengerjakan semua pekerjaan rumah yang layaknya dikerjakan oleh orang dewasa. Semua tanggung jawab ini diletakkan Aditya dipundaknya.

Menyapu, mengepel, mencuci, memasak nasi dan lauk pauknya harus Aditya kerjakan sambil mengurus ibunya yang hanya bisa menatap dan mengawasinya dari tempat tidur usangnya. Aditya pula yang selalu membersihkan tubuh dan luka ibunya setiap hari.

Dari keterangan Sunarti, hampir tak ada sama sekali keluhan yang keluar dari mulut Aditya. Apalagi rengekan yang lazim terlihat dari anak-anak seumurnya. Semuanya dilakukan Aditya dengan rasa suka cita tanpa paksaan.

Sebagai ibu, Sunarti mengaku miris dengan keadaan dan masa depan Aditya. Ia tidak mau menularkan kesengsaraannya kepada Aditya. Dari hatinya yang terdalam, ia sangat ingin menyekolahkan putra bungsunya itu seperti anak-anak lainnya.

Namun saat itu takdir dan nasib baik tak menyertainya, ia tak berdaya, himpitan ekonomi yang dialaminya memaksa Aditya harus menjadi “perawat”nya. “Adit tidak pernah saya suruh, sungguh! Dia melakukannya sendiri. Sebetulnya saya tidak tega. Saya ingin dia bermain dan bersekolah bersama teman-temannya,” ucap Sunarti sambil rebahan dan tak kuasa membendung air matanya.

Kehadiran Aditya dalam kehidupan Sunarti adalah anugerah dan hadiah yang paling istimewa dari Sang Pencipta. Kecerdasan dan kepedulian terhadap sang ibu, serta jarangnya bermain dengan teman-teman sebayanya telah membentuk sikap Aditya layaknya orang dewasa.

Menurut Sunarti, ketika bapaknya masih sering pulang kerumah, Aditya selalu memperhatikan bapaknya ketika sedang melakukan pekerjaan rumah tangga, termasuk ketika sedang memandikan Sunarti.

Ketika bapaknya kembali pergi bekerja, Aditya lah yang mengambil alih semua pekerjaan bapaknya itu.

Meski masih berantakan dan belepotan, tapi Aditya sudah mampu mencuci pakaiannya sendiri dan pakaian ibunya. Untuk memasak nasi dan lauk pauknya, semua dilakukan sendiri dengan cekatan. Begitu juga ketika memandikan dengan cara mendudukkan ibunya, mampu dilakukan Aditya.

“Yang susah menyalakan kompor. Lama-lama bisa juga, tapi saya awasi dari tempat tidur,” terang Sunarti.

Karena merasa harus merawat ibu dan mengerjakan pekerjaan rumah itulah, nyaris membuat Aditya tidak punya waktu untuk bersekolah. Padahal teman-teman sebayanya jika pagi, diantar ibunya pergi ke Taman Kanak-Kanak atau PAUD. Sedangkan Aditya hanya bisa memandanginya dari balik jendela rumahnya.

Karena itu pulalah yang menjadikan alasan kuat Bunda Lilik untuk bersikeras mempertahankan Aditya untuk tetap dibina di UPT PS Asuhan Anak Nganjuk. “Aditya harus tetap bersekolah dan bersosialisasi dengan anak-anak sebayanya, kalau Aditya kembali kerumah, saya khawatir Aditya tidak kembali bersekolah dan malah hanya merawat ibunya. Kalau disini Aditya terjamin mendapatkan perhatian dari kami, Aditya tidak perlu memasak ketika ingin makan.”

Namun beda lagi alasan Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Nasional Dr Asrorun Ni’am Sholeh seperti yang dikutip dari Majalah Kartini, edisi 2295. Menurutnya yang paling tepat buat Aditya adalah kembali ke tengah-tengah keluarganya sendiri, karena orang tua adalah satu-satunya tempat yang tepat untuk tumbuh kembang anak.

“Terlepas apa pun kondisi ekonomi orang tuanya dan kondisi ibunya sakit, tanggung-jawab itu diserahkan kepada bapaknya. Karena selain kepala keluarga, bapaklah yang harus memiliki porsi tanggung-jawab. Bila bapaknya juga tidak bisa, ya kerabatnya. Jadi jika sudah sembuh, saya harapkan Adit bisa kembali hidup bersama ibunya,” terang Asrorun.

Sesuai dengan UU nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, bahwa tanggung jawab anak itu terdapat pada lima tahapan. Utamanya adalah orang tuanya sendiri. Kedua, pada keluarganya. “Karena itu jika Aditya sekarang ditempatkan di PS, diharapkan sementara saja.”

Berkat Pak Tris dan pemberitaan yang gencar di media massa, pekan terakhir di bulan April, Aditya dan ibunya dievakuasi oleh pemerintah Kabupaten Nganjuk dari Lingkungan Jarakan. Aditya dititipkan dan dididik di UPT PS Asuhan Anak Nganjuk yang hanya berjarak tak lebih dari satu kilometer dari rumahnya. Sedangkan Sunarti diboyong ke RSUD Nganjuk untuk dirawat dan diberi pengobatan.

ADITYA KINI DAPAT BERMAIN DAN BERSEKOLAH

Wajah mungil Aditya memang tidak seceria anak-anak seumurannya. Pembawaannya muram dan jarang tersenyum. Namun dalam melakukan pekerjaan rumah tangga, Aditya sangat tangkas.

Dari penuturan Bunda Lilik kepada ku, Aditya sangat tangkas saat memilih kotoran beras yang ada ditampah, menyingkirkan kulit beras yang tertinggal maupun pasir-pasir kecil. Kejadian ini tergambar saat Aditya hendak makan.

Sambil menanti nasi matang, pekerja panti sedang membersihkan beras. Melihat itu, spontan Aditya langsung turun tangan. Dia dekati tampah yang ditaruh di atas ubin dan tangannya langsung memilah-milah kotoran di beras.

Ketika para pengasuh di panti melarang, Aditya malah ngambek dan marah-marah dengan menendang-nendang barang yang ada didekatnya. Para pengasuh pun lantas memperbolehkannya, asal tidak membahayakan. “Dia masih dalam kondisi penyesuaian,” tutur Bunda Lilik yang menjadi bunda asuh Aditya selama di Panti.

Sejak ditempatkan di UPT PS Asuhan Anak Nganjuk, Aditya mulai bisa bersosialisasi. Meskipun masih sering terlihat ngambek, Aditya sudah mulai merasakan bangku pendidikan di TK Pertiwi yang letaknya tak jauh dari panti.

Sebagai penghuni yang paling kecil dan membutuhkan perhatian ekstra, sehari-hari Aditya ditangani oleh Bunda Lilik. Bersama dengan wanita bertubuh subur itulah Aditya merasa nyaman.

“Maklumlah, Adit saat ini sedikit trauma melihat orang lain,” ucap Lilik.

Kedekatan Aditya dengan Lilik tidak terlepas saat proses evakuasi. Saat itu, puluhan orang mendatangi rumahnya dan konsentrasi tercurah pada ibunya. Satu-satunya orang yang datang dan peduli pada Aditya adalah Lilik.

Melihat Aditya ketakutan dan berdiri di pojokan seorang diri, Lilik mendekati lalu menggendong Aditya. Dari peristiwa itulah Aditya merasakan kehangatan seorang ibu yang datang dari Lilik. Tak hanya digendong, Aditya dibawa pulang oleh Lilik ke rumahnya. Hanya semalam Aditya tinggal dan tidur di rumah Lilik sebelum keesokan harinya dibawa ke panti.

Tentang keseharian Aditya, Lilik wanita yang berprofesi sebagai pekerja sosial di Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur ini mengatakan traumatik. “Seperti ada trauma pada diri Adit. Saya tahunya waktu Aditya tidur di rumah saya, dia ngigau berteriak-teriak rumahnya hendak dibakar orang,” cerita Lilik disela-sela hari liburnya di Panti, Minggu, 2 Oktober 2011, siang.

Namun, Lilik belum berani bertanya lebih jauh kejadian apa yang membuat Aditya mengigau.

Lilik juga menjelaskan keadaan kejiwaan Aditya yang terlihat trauma ketika awal mula berada di panti kala itu, aditya terlihat trauma kepada wartawan dan kamera. Setiap hari, berdatangan wartawan waktu itu. “Ini yang membuat dia takut dan enggan jika ditanya-tanya, harus upaya keras dan dengan rayuan yang halus untuk bisa membuat Aditya merasa nyaman. Aditya bahkan enggan difoto. Sampai-sampai harus mencuri-curi untuk mengambil gambarnya,” terang Lilik.

Lilik juga memperkirakan kelabilan jiwa Aditya kala itu bisa jadi karena perpisahan yang mendadak dengan ibunya. Aditya selama hidupnya hanya mengenal sosok ibunya saja. Kakaknya, Ali hanya sekali-kali saja datang mengunjungi mereka. Mungkin dampak psikis itu pulalah yang menyebabkan Aditya rewel.

Di sekolah, Aditya pernah enggan mengenakan pakaian seragam yang diberikan, begitu juga dengan baju olahraga yang bahkan enggan disentuhnya. Ketika Lilik yang meminta Aditya untuk memakainya, ia malah marah-marah dan pergi menghindar. “Aku emoh… Aku emoh,” ucap Aditya sambil berlari.

Teman-temannya di panti yang lebih besar lantas menggoda Aditya, kemarahan malah semakin menjadi-jadi, ia malah balik mengejar hendak mencubit. Melihat anak-anak lain tertawa terpingkal-pingkal, malahan Aditya pun turut tertawa. “Ada keriangan dalam tawanya. Ia tetap seorang bocah,” tutur Lilik.

Pernah suatu hari Aditya merasa diperlakukan berbeda dari anak-anak penghuni panti lainnya, kepada Bunda Lilik, Aditya meminta sendiri diperlakukan sama. Seperti menerima uang saku setiap bulan.

Bunda Lilik menjelaskan kepada Aditya bahwa dirinya hanya titipan sementara di panti sampai dengan ibunya pulih, dan kalau Aditya mau menjadi klien di UPT PS Asuhan Anak Nganjuk, ia harus mengikuti aturan yang ada di panti. “Saat itu malah Aditya sendiri yang ingin menjadi klien. Aditya juga bilang kepada saya, dia senang berada di panti. Pernah juga dia protes ketika tidak melihat fotonya dipajang seperti anak-anak lainnya didaftar klien yang dibina panti dan minta dipajang juga,” cerita Lilik.

Berangkat dari permintaan Aditya sendiri, Bunda Lilik kepada kepala seksi mengusulkan agar Aditya dimasukkan sebagai klien di UPT PS Asuhan Anak Nganjuk. Sejak September 2011 lalu, Aditya sudah resmi menjadi klien atas pemintaan Aditya dan di aminin oleh ibu kandungnya sendiri.

Namun hingga kini UPT PS belum mengajukan Kontrak Pelayanan Sosial seperti anak-anak lainnya kepada ibunya Aditya. Adapun isi map yang diakui oleh Sunarti pernah ditandatanganinya semasa masih dirawat dirumah sakit yang dibawa oleh Lilik dan disodorkan kepadanya hingga kini belum jelas apa isinya.

Menurut pengakuan Lilik, Sunarti belum pernah disodorkan surat-surat untuk ditandatangani. Yang ada hanya surat pelimpahan dari Dinas Sosial kepada UPT, karena Aditya anak terlantar yang orang tuanya sedang dirawat di rumah sakit. Tidak ada kesepakatan khusus antara UPT PS kepada ibunya Aditya, baru hanya berbentuk pemberitahuan bahwa Aditya ingin seperti teman-teman lainnya di panti.

Aditya kini harus mengikuti aturan yang ada di panti dan diperlakukan sama dengan anak-anak lainnya di panti dengan aturan pulang ke rumah setiap hari Sabtu dan Minggu, juga menerima uang saku setiap bulan. Tapi Lilik tetap memberikan keringanan kepada Aditya untuk dapat pulang kapan pun Aditya mau pulang dan tak pernah berniat untuk menghalang-halangi.

Dari penjelasan yang diberikan Lilik kepada ku, pada saat ibunya masuk rumah sakit pertama kali dibulan April, memang Aditya tiap malam tidur di panti. Tapi ketika ibunya keluar dari rumah sakit pada bulan Juni 2011, Aditya kembali tinggal bersama ibunya. Ketika ibunya kembali harus dirawat pada bulan Juli 2011, Lilik kembali membawa Aditya untuk diasuh di panti hingga kini Aditya sudah menjadi klien.

Bahkan Lilik pulalah yang selalu mengantarkan Aditya ke rumah sakit untuk menemui ibunya ketika sedang dirawat di Rumah Sakit. Bahkan menurut Lilik, Aditya sangat dewasa dan pengertian. Aditya sangat mengerti, ketika Lilik sedang repot atau sedang ada tamu, justru Aditya pulalah yang mendatanginya dan mengatakan tidak usah ke rumah sakit bila bunda sedang repot.

Menurut Lilik, selama Aditya berada di panti sejak 20 April 2011 hingga sebelum ia menjadi klien di panti sebenarnya tidak ada alokasi dana khusus untuk Aditya, karena posisinya hanyalah titipan.

Namun begitu, segala kebutuhan Aditya selalu ada dan tersedia. Misalnya ketika Aditya ingin ikut karnaval dan harus menyewa pakaian, Bunda Lilik hanya melapor kepada Kepala Seksi Pelayanan Sosial UPT PS Hari Sumartono dan langsung disiapkan. Begitu juga ketika Aditya butuh seragam buat sekolah. Bunda Lilik tetap tidak mengetahui sumber dana tersebut.

Kini Aditya sudah memiliki rekening sendiri, sumbangan dari donatur banyak diterima Aditya. Baik Pak Tris dan juga Bunda Lilik sama-sama ingin sumbangan-sumbangan itu dapat bermanfaat untuk masa depan Aditya. Bahkan Aditya juga mendapatkan sumbangan sebuah rumah senilai 180 juta dari pembaca detik.com, tapi sayang realisasinya hingga kini tidak jelas.

Baik Sunarti atau pun Aditya belum menerima sepucuk pun surat akte kepemilikan rumah itu, ditangan mereka hanya ada secarik kertas bermaterai 6000 tanpa kepala surat yang didalamnya tertulis tanda terima rumah senilai 180 juta dengan alamat dari pembaca media online tersebut. “Saya pernah coba telepon nomor yang ada di surat tersebut, tapi tak ada tanggapan,” ujar Tris.

SUNARTI DISERANG GUILLAIN BARRE SYNDROME

Kisah pilu yang menimpa Aditya dan Sunarti bermula di tahun 2007. Saat tahun 2006, Sunarti melahirkan Aditya dibantu Bidan Hermin. Ketika bayi Aditya baru berusia 24 hari, tiba-tiba ia mengalami pendarahan hebat.

Dari sejak itulah penderitaan wanita kelahiran 23 Maret 1965 itu bermula. Kondisinya dari hari ke hari menurun drastis, kakinya kian terasa berat ketika melangkah. Awalnya hanya bagian telapak kakinya saja, tapi lama kelamaan terus menjalar naik ke atas hingga mengarah ke seluruh tubuhnya.

Setahun kemudian, tepatnya di tahun 2007, tubuh wanita berparas cantik itu tidak dapat digerakkan lagi. Sunarti mendadak lumpuh total, ia pun tidak dapat merasakan rangsangan apa pun. Sejak itu Sunarti hanya dapat berbaring. Berbagai pengobatan telah ia rasakan, dari dokter hingga ke orang pintar dan tak sedikit pula biaya yang dikeluarkannya. Perabotan, perhiasan hingga rumah pun tak bersisa, semuanya habis terjual untuk biaya perobatannya. Tetap tak ada kemajuan terhadap kesehatannya, praktis sejak itu ia menjadi beban keluarganya. Kala itu, menurut dokter yang didatanginya, ia menderita stres, banyak pikiran dan kecapekan.

Semakin tak beruntungnya Sunarti, ketiga anaknya dari suaminya terdahulu, laki-laki semua dan tinggal berpencar bersama keluarganya masing-masing diluar kota. Praktis Sunarti hanya tinggal berdua dengan Aditya.

Suaminya, Rudi bekerja serabutan diluar kota dan jarang sekali pulang.

Menurut Wakil Direktur RSUD Nganjuk Bidang Pelayanan Dr Agus Pribadi, MM, Sunarti terserang Guillain Barre Syndrome (GBS). Penyakit ini adalah penyakit kelumpuhan syaraf belakang menuju keatas hingga ke pernafasan.

Sejauh ini para dokter juga belum menemukan indikasi yang jelas penyebab GBS melanda seorang pasien. Kontroversi itu pulalah yang menyebabkan para dokter mengambil dua kesimpulan. Penyakit itu bisa menyerang karena virus, tetapi ada pula yang menyimpulkan kelumpuhan yang dialami oleh Sunarti karena auto-imun. Dua-duanya belum ada obatnya.

Menurut dokter yang merawat Sunarti, pernah ada beberapa pasien yang pernah terjangkit penyakit yang sama dan dapat disembuhkan, bahkan kondisinya jauh lebih parah.

Kepada Sunarti, tim dokter RSUD Nganjuk telah dan terus memberikan berbagai pengobatan untuk memperbaiki jaringan sel-sel yang rusak di dalam tubuh Sunarti melalui infus.

Menurut Agus, kini Sunarti sudah mulai bisa merasakan kakinya ketika dicubit dan bahkan sudah mulai bisa digerakkan. ***

Penulis: Bobby Triadi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun