Mohon tunggu...
Bobby Triadi
Bobby Triadi Mohon Tunggu... Jurnalis - Menulis sambil tersenyum

Lahir di Medan, berkecimpung di dunia jurnalistik sejak tahun 1998 dan terakhir di TEMPO untuk wilayah Riau hingga Desember 2007.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dikala Presiden Harus Memiliki Mata Tuhan

12 Oktober 2011   13:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:02 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_136496" align="alignleft" width="285" caption="Presiden ini harus memiliki mata tuhan."][/caption]

Di saat mata ku terbelalak, telinga ku mengembang, hati ku terbakar atas pemberitaan-pemberitaan tentang kesusahan, penderitaan dan keterlantaran yang terjadi pada rakyat di negeri santun penuh keramahan ini, otak ku terganggu.

Kegalauan di hati yang mengalir melalui darah dan oksigen ke otak membawaku untuk berfikir, salah siapa ini? Apa kesalahan langsung presidennya atau menteri-menterinya, atau kesalahan-kesalahan aparatur negara lainnya hingga ke akar paling bawah yaitu lurah? Atau mungkin rakyat di negeri santun dan ramah ini yang kini sudah mulai “cuek” dengan lingkungannya?

Aku sendiri gak tahu harus percaya dengan pemberitaan yang mana dengan sumber yang mana pula.

Yang aku tahu, perekonomian Indonesia naik, hutang Negara kepada IMF pun tahun 2011 ini dikabarkan lunas sudah. Lalu, kenapa dipemberitaan rakyat masih sengsara dan rakyatnya masih miskin, tanpa memberitakan perbandingan penduduk kaya dengan penduduk miskin dan juga penjelasan tentang standarisasi rakyat yang dikategorikan miskin.

Lalu, ada apa dengan media kita ketika kemiskinan dan penderitaan masih dianggap sebuah berita seksi yang menghiasi 70 persen media setiap harinya. Dimana berita-berita lainnya, selain berita politik yang menonjolkan kecurangan dan perselisihan pejabat negara, berita penderitaan, berita pembunuhan dan berita pencabulan?

Media seakan ingin menanam virus kebencian dan virus-virus negatif lainnya ke dalam otak penikmat dan pembaca berita di negeri ini.

Kisah Sinar di Polewali Mandar, bocah perempuan 6 tahun yang merawat ibunya sendiri yang lumpuh di sebuah rumah dipinggiran hutan. Kisah Muhamad Aditya di Nganjuk, bocah lelaki 5 tahun yang sejak masih berusia 2 tahun sudah harus merawat juga ibunya yang lumpuh. Juga kisah Riana Mariati di Pati, Jawa Tengah yang masih duduk di kelas 5 SD ini sudah harus merawat ibunya yang lumpuh sejak masih duduk di kelas 1 SD.

Mereka tersebut adalah beberapa contoh dari sekelumit kisah penderitaan anak negeri lainnya yang belum terungkap. Juga penderitaan-penderitaan rakyat Indonesia lainnya.

Namun ada nilai positif yang dapat diangkat dari kisah-kisah mereka. Kisah pengabdian seorang anak kepada ibu, yang kini nyaris punah ditelan iklim globalisasi moderen, dimana anak-anak sudah menikmati saluran televisi, membaca, menonton dan mendengarkan berita.

Fakta di depan mata, kita sering melihat anak-anak yang marah kepada ibu, memukul bahkan mengeluarkan bahasa umpatan yang tak lazim terucapkan kepada ibunya ketika tidak diberi uang atau tidak menuruti keinginanya.

Lalu dari kisah ketiga anak-anak teladan diatas, dimana peran seorang lelaki yang disapa bapak? Lalu sampai mana keperdulian tetangga sekitarnya? Lalu sampai mana keperdulian masyarakat yang mengetahui penderitaan mereka?

Seketika kisah-kisah mereka terungkap di media, presiden dengan langsung mendapatkan cacian dan makian dari rakyatnya. Dimana aparatur Negara yang berada langsung di dekat rakyat? Adalah RT (Rukun Tetangga) yang langsung dekat disamping masyarakat, menjadi mata juga mulut masyarakat untuk dibunyikan ke yang lebih tinggi kedudukannya. Kemudian ada juga RW, Lurah, Camat, Bupati/Walikota dan dinas-dinasnya, Gubernur dan dinas-dinasnya, lalu Menteri dan kemudian Presiden.

Serta merta sebagai Presiden, ia dinilai kurang perduli dengan keadaan rakyatnya tanpa rakyat tidak mau tahu untuk menyalahkan aparatur pemerintahan lainnya. Rakyat tidak mau tahu dan tidak mau mencari tahu bahkan justru tidak mau tahu dimana mampetnya program-program untuk rakyat. Hanya ada dikepala rakyat, oknum yang bersalah, lembaganya yang busuk.

Ketika aparat hukum bermain, maka lembaga hukumnya busuk. Lalu saya marah ketika lembaga hukum dinyatakan busuk, kakek saya yang hidup apa adanya adalah aparatur hukum yang bekerja di bidang hukum, jujur tanpa mau menerima suap juga terseret-seret menjadi busuk karena lembaganya disebut lembaga busuk. Begitu pula Umar Bakri pun akan marah bila disebut lembaga pendidikannya juga dikatakan busuk.

Belakangan Presiden dibilang gagal, kurang tegas dalam memimpin. Aku pribadi setuju terhadap ungkapan-ungkapan itu. Presiden kurang tegas memberi tindakan dan sanksi kepada pembantu-pembantunya yang sebenarnya sudah diperlihatkan gagal oleh media-media melalui pemberitaan-pemberitaan kesengsaraan rakyat.

Apa karena menteri-menterinya dari kalangan partai politik koalisi?

Seharusnya presiden yang menang mutlak dalam pilpres 2009 dan dipilih 62 persen rakyatnya tak perlu takut dan bahkan tak perlu berkoalisi dengan partai lainnya, yang penting presiden harus mementingkan rakyatnya daripada harus takut dengan partai-partai lainnya yang notabene hanya memiliki sedikit suara rakyat.

Presiden yang santun, berwibawa, gagah dan berpendidikan memang sangat dibutuhkan rakyat. Tapi kini lebih dibutuhkan presiden yang juga tegas.

Ketika jaman kepemimpinan Alm. Soeharto, hampir tak ada rakyat yang berani menghujat presidennya, menghujat berarti hilang. Membangkang, berarti mati. Pemberitaan nyaman, investor menanamkan modalnya ke Indonesia karena dinilai aman. Dunia dengan gampang meminjamkan uangnya ke Indonesia, pembangunan Indonesia pesat meski harus menanggung hutang Negara yang cukup besar pula. Hutang inilah yang harus dilunasi oleh pemimpin-pemimpin berikutnya.

Namun kini Presiden tidak bisa lagi bertangan besi seperti kepemimpinan Alm. Soeharto, banyak aturan-aturan yang sangat mengikat bahkan menjerat. Kini sudah ada lembaga HAM dan lembaga-lembaga lainnya yang muncul pasca reformasi yang seharusnya belum harus ada di Indonesia yang rakyatnya belum bisa menerima kebebasan penuh.

Arti Demokrasi yang berlebihan adalah produk dari reformasi yang gagal. Lalu kembali terdengar teriakan revolusi. Apa revolusi sudah menjadi jaminan untuk kebahagian rakyat dan kemajuan Indonesia, ketika yang berteriak revolusi juga ingin mengejar jabatan dan kekuasaan? Lagi-lagi rakyat pulalah yang nantinya menjadi korban pembodohan dari orang-orang memiliki kepentingan untuk berkuasa.

Kini, ketika kita menuntut presiden untuk dapat tahu semua penderitaan rakyat hingga kepelosok-pelosok negeri tanpa mau tahu kegagalan aparatur pemerintahan yang lainnya, maka kita sama saja mengharapkan “Presiden Bermata Tuhan”. Presiden yang maha mengetahui, yang dapat melihat seluruh gerak-gerik rakyatnya tanpa harus memiliki aparatur pemerintahan lainnya.

Lalu ketika sang presiden turun langsung melihat rakyatnya, lalu timbul bunyi suara yang menudingnya pencitraan.

Mari sama-sama kita melihat ke atas, lalu kebawah, merefleksikan diri dihadapan cermin. Apa yang telah kita perbuat untuk Negara dan orang-orang di lingkungan kita? Apa diri kita sudah benar melangkah atas kebenaran yang kita anggap sudah benar dan apakah yang dilakukan oleh orang itu salah menurut diri kita yang selalu merasa pintar dan benar meski sekali-kali terlihat bodoh menunjukkan jati diri melalui ucapan dan umpatan.***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun