Sejumlah pejabat DKI bereaksi negatif
Mudah ditebak, lepas dari dugaan rekayasa blusukan yang diungkap warganet, blusukan Risma segera membuat sejumlah pejabat DKI Jakarta bereaksi negatif. Penyangkalan akan adanya gelandangan di kawasan yang jadi sasaran blusukan Risma segera diungkapkan pejabat DKI Jaya.Â
Tanggapan yang juga dilempar ke publik adalah bahwa gelandangan itu bukan asli warga Jakarta. Seolah-olah, ibu kota harus tampil cantik di media tanpa gelandangan "asli Jakarta".Â
Ada pejabat yang bahkan mencemaskan, blusukan Risma akan menarik semakin banyak gelandangan ke Jakarta. Sampai segitunya? Bukankah tanpa blusukan Risma pun, ibu kota sudah menjadi magnet bagi siapa pun yang ingin mengais rezeki?Â
Ego sektoral penanganan gelandangan di ibu kota dan Indonesia
Kontroversi blusukan Risma pada umumnya ditafsirkan dalam kerangka pertarungan politik di ibu kota. Akan tetapi, jika kita telisik lebih dalam, blusukan Risma sebenarnya menguak adanya ego sektoral dalam penanganan gelandangan di ibu kota (dan juga di Indonesia).
Ego sektoral ini tampak nyata kala sejumlah pejabat DKI Jakarta dan petinggi Kemensos asyik beradu wacana menanggapi blusukan Risma. Masing-masing seakan hanya membela lembaga dan atasan. Melupakan para gelandangan ibu kota yang seharusnya jadi fokus upaya bersama.
Ibu kota Jakarta dan para tunawismanya
Amatlah konyol membedakan gelandangan di ibu kota dengan kategori terdaftar tidaknya gelandangan sebagai warga DKI Jakarta. Kita tahu, gelandangan adalah insan-insan yang sangat sulit mengakses layanan kependudukan.
Jangankan KTP, akta kelahiran saja para gelandangan ini belum tentu punya. Mereka yang lahir dalam kemiskinan lazimnya sulit mendapatkan akses layanan administrasi negara.