Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Delusion of Grandeur, Gangguan Jiwa di Balik Raja dan Ratu Halu

20 Januari 2020   06:25 Diperbarui: 20 Januari 2020   06:45 736
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masih segar dalam ingatan kita raja dan ratu halu yang mengklaim sebagai penerima wangsit kerajaan agung masa lalu. Toto Santoso menyebut diri sebagai Sinuhun. Fanni Aminadia, teman wanitanya, mengaku sebagai ratu. 

Toto yang dulu pernah tinggal di bantaran rel kereta di Jakarta mengaku menerima wangsit dari leluhur dan Raja Sanjaya keturunan raja Mataram untuk meneruskan pendirian Kerajaan Mataram di Kecamatan Bayan, Purworejo. Ia pun meyakinkan pengikutnya, jika ingin bernasib lebih baik maka harus bergabung dengan Keraton Agung Sejagat.

Delusion of Grandeur

Dalam dunia psikologi, penyakit yang kemungkinan besar diderita oleh para raja dan ratu halu ini adalah delusion of grandeur. John Grohol (2018) mendefinisikan gangguan kejiwaan ini sebagai "keyakinan salah bahwa seseorang memiliki kualitas superior seperti jenius, ketenaran, kemahakuasaan, atau kekayaan." 

Delusion of grandeur ini paling sering merupakan gejala skizofrenia, tetapi juga bisa merupakan gejala yang ditemukan pada gangguan psikotik atau bipolar, serta demensia (seperti Alzheimer).

Dalam bahasa Indonesia, delusion of grandeur sering disebut juga sebagai waham kebesaran. Penderita waham kebesaran memandang diri mereka sendiri sebagai figur yang patut dipuji, bahkan disembah karena kualitas diri mereka. 

Orang yang memiliki gangguan waham kebesaran bisa jadi adalah pribadi narsistik yang mencintai diri sendiri secara berlebihan. Pribadi narsistik cenderung "menggelembungkan" citra diri secara berlebihan sehingga justru tidak realistis lagi.

Klaim Ilahi

John Grohol mencatat,  pengidap waham kebesaran mungkin percaya bahwa dirinya telah menerima pesan khusus dari Tuhan. Dalam kasus Raja Toto Santoso, si penderita memang mendaku bahwa ia menerima wahyu ilahi dari raja agung di masa lampau untuk meneruskan estafet kerajaan di masa sekarang.

Klaim ilahi ini rupanya mampu menarik perhatian sejumlah orang yang lantas menjadi pengikut si raja halu. Tercatat, lebih dari 400 orang tunduk pada perintah sang raja. 

Konteks Indonesia

Menariknya, fenomena kemunculan raja dan ratu halu bukan hal baru di Indonesia. Kita masih ingat kemunculan Lia Eden. Wanita ini mendirikan kerajaannya di Jalan Mahoni, Jakarta Pusat pada tahun 2005. 

Lantas pernah juga mencuat Kerajaan Ubur-Ubur di Kota Serang, Banten pada 2018 lalu. Kerajaan ini didirikan oleh sepasang suami istri berinisial AS dan RC. Pasangan tersebut mengaku mendapat wangsit untuk mendirikan kerajaan dan membuka kunci kekayaan dunia.

Pertanyaannya, mengapa di Indonesia selalu saja ada orang-orang yang mengaku diri sebagai raja dan ratu dan ternyata mendapat cukup banyak pengikut? Kiranya hal ini terkait pula dengan sejarah bangsa kita yang memang kental dengan warna kerajaan. 

Hingga kini pun figur raja dan ratu sungguhan masih dengan mudah ditemui di negara kita. Di Jogja ada Sultan Hamengkubuwono dan Ratunya. Ada pula Forum Silaturahmi Keraton Nusantara yang beranggotakan sekitar seratus raja dan sultan dari seluruh penjuru Nusantara. Raja dan ratu memang menjadi bagian dari sejarah kolektif bangsa kita yang masih aktual hingga zaman kiwari nan modern ini.

Belum lagi kisah kejayaan aneka kerajaan besar di masa lalu yang melekat dalam memori kolektif bangsa kita. Siapa tak pernah bermimpi bahwa suatu ketika nanti Indonesia akan jaya seperti Sriwijaya dan Majapahit di masa silam? Kampanye politik calon presiden dan pemimpin daerah pun kerap mengangkat tema "mengembalikan kejayaan Nusantara seperti zaman raja-raja agung". 

Dalam konteks kuatnya memori kolektif akan kerajaan yang sejahtera dan kuat ini, kemunculan raja dan ratu -betapa pun halunya- tetap mendapat tempat di hati sebagian rakyat. Apalagi dibumbui oleh janji peningkatan kesejahteraan dan harta karun yang hendak dibagi-bagi sang raja dan ratu.

Perlunya Edukasi 

Sungguh menarik, betapa pun halu dan absurdnya, toh ada saja warga masyarakat yang dengan mudah percaya pada klaim para raja dan ratu palsu. Beberapa bahkan rela membayar hingga puluhan juta rupiah demi mendapat jabatan dalam kerajaan baru.

Hal ini menandakan bahwa edukasi masih harus jadi prioritas pembangunan kita. Edukasi kita memang masih sangat memprihatinkan karena selama ini terlalu berfokus pada menghafal alih-alih berpikir kritis. Akibatnya, dengan mudah orang tergiur janji-janji tak logis. 

Orang tua dan pendidik juga harus lebih waspada lagi dalam membina generasi muda. Jangan biarkan generasi muda sakit delusion of grandeur atau waham kebesaran tanpa mendapatkan perhatian. Citra diri positif yang realistis harus dikembangkan di dalam diri generasi muda kita agar tak muncul lagi raja dan ratu halu yang bikin malu!

Baca juga tulisan lainnya : Orang Sulit Minta Maaf Mungkin Saja Narsis

Rujukan: 1, 2 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun