Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Surat untuk Lisa

5 Agustus 2019   09:42 Diperbarui: 5 Agustus 2019   09:44 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lisa, engkau tentu kaget membaca suratku ini. Engkau pasti bertanya-tanya, siapa gerangan orang yang berani-beraninya menulis surat dengan menyebut nama aslimu. Meski berpuluh tahun lamanya kita tak bersua, aku tak akan pernah lupa namamu yang indah: Elisabet Sulistyaningtyas. Aku masih ingat, di hari pertama perjumpaan kita di Gajah Mada, malu-malu aku mendekat padamu untuk sekadar bertanya arti namamu. Saat itu aku mengucapkan namamu yang Jawa sekali dengan logat Batakku yang kental, sekental kopi di warung angkringan Jogja. Dan engkau tertawa lepas. Lantas engkau berkata, Sulistyaningtyas berarti "cantik di hati".

Tawa itulah yang membuatku malu barang sejenak. Tapi, tawa itu jugalah yang membuatku mabuk asmara. Maka, aku berusaha mendekatimu. Suatu Sabtu senja, tiga puluhan tahun lalu, aku datang ke rumahmu dengan vespa tuaku. Dandananku rapi. Kubawa buku lagu Madah Bakti karena aku mengajakmu misa di Gereja Kidul Loji. Aku tahu, melihat penampilanku yang begitu simpatik, engkau hanya akan memberi satu jawaban: ya.

Sejak saat itu kita makin akrab. Kita ikut paduan suara anak muda di gereja. Suaramu ternyata amat merdu. Beda sekali dengan suaraku yang lebih cocok untuk mengusir tikus. Dan engkau kembali tertawa mendengar pengakuan diriku yang jujur.

"Martin, aku suka sekali lagu Adoro Te Devote. Tahu kan lagu yang dinyanyikan untuk adorasi itu, lho? Penciptanya Santo Thomas Aquinas. Isinya memuji Allah yang tersamar dalam Hosti Suci. Seandainya suaramu merdu, kita berdua pasti akan dipilih dirigen untuk menyanyi duet". Aku hanya tertawa mendengar penuturanmu kala itu.

Rasanya begitu mudah bagi kita untuk jadian walau baru sebulan kenalan. Engkau tahu, aku ini lelaki yang humoris dan supel. Dan aku paham, engkau suka dengan lelaki sepertiku.

**

Lisa, betapa manis hari-hari bersamamu. Setelah dua tahun pacaran, engkau mulai bicara tentang kerinduan bapak-ibumu untuk menimang cucu. Aku mengerti, engkau menanti lamaranku. Tapi, waktu itu aku tak segera melamarmu. Aku bilang, aku belum siap. Orang tuaku ingin aku dapat pekerjaan yang mapan dulu. Waktu mendengar jawabanku, engkau sontak jadi murung.

Kemurunganmu makin menjadi setelah engkau mendengar cerita kawan-kawanmu  tentang gadis lain yang jalan bersamaku. Awalnya engkau tak percaya kalau aku tega menduakanmu. Tapi, akhirnya engkau tahu, aku tak sesempurna yang engkau kira. Diam-diam aku membuka hatiku lagi pada mantan kekasihku. 

Ketika engkau menanyakan kebenaran cerita itu padaku, aku mengelak. Aku bohong padamu. Ah, betapa egoisnya diriku waktu itu. Tak sepatah kata maaf kuucap padamu. Dan engkau berkata padaku, "Teganya kamu khianati cinta tulusku. Kita putus. Pergilah dari hidupku!"

**

Aku benar-benar pergi jauh dari hidupmu. Sejak kita putus, aku tak pernah lagi menghubungimu. Aku merasa bersalah karena telah menyakiti hatimu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun