Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Jalan Sunyi Penulis Fiksi, Bisakah Kompasiana Mengapresiasi?

10 Juni 2019   11:03 Diperbarui: 10 Juni 2019   11:08 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penyair kenamaan asal Negeri Paman Sam, Robert Frost (wafat 1963) pernah menulis puisi berjudul "The Road Not Taken". Syair bait pamungkas puisi itu adalah:

I shall be telling this with a sigh
Somewhere ages and ages hence:
Two roads diverged in a wood, and I---
I took the one less traveled by,
And that has made all the difference.

Terjemahan bebasnya:

"Aku akan mengatakan sambil mendesah

Di suatu tempat berabad-abad nanti:

Dua jalan bercabang di hutan, dan aku-

Aku memilih jalan yang jarang dilewati,

dan rupanya pilihanku ini membuat perbedaan besar."

Jalan Sunyi Penulis Fiksi di Kompasiana

Berdasarkan pengamatan pribadi, saya menyimpulkan bahwa penulis fiksi di Kompasiana-seperti Robert Frost-memilih jalan sunyi yang jarang dilewati. Raihan tayangan (views) cerpen, puisi, dan karya fiksi di Kompasiana amat jarang mencapai angka fantastis. Sebuah cerpen yang terpilih sebagai artikel utama (headline) pun amat jarang yang mencapai, katakanlah, 500 tayangan halaman (pageviews).

Ini cerpen dan puisi asal tulis saya yang paling tinggi jumlah tayangannya (rekor pribadi): Suster Maria, Mulut Itu Kebun Binatang

Selain itu, amat jarang penulis fiksi meraih K-Rewards dalam jumlah yang signifikan. Sebagian penulis fiksi yang mengunggah karya tiap hari pun belum berhasil menempati papan atas klasemen K-Rewards.

Sepanjang pengamatan amatiran saya, K-Rewards memang dikuasai penulis artikel politik. Bukan berarti saya membenci artikel politik. Saya sendiri juga menulis beberapa artikel politik. 

Fiksi itu Bukan Kitab Suci, namun "Suci"

Menyitir dan merombak total ungkapan menghebohkan seorang pengelana akademis (atau akademis pengelana, entahlah...), fiksi itu bukan kitab suci. Fiksi adalah imajinasi. Kadang liar. Kadang binal. Kadang nakal. 

Tapi juga, fiksi sering melukiskan fakta nyata dalam balutan kata-kata. Fiksi sering membawa pesan positif yang kadang tak akan lolos sensor bila dituliskan dalam bentuk reportase berita.

Fiksi membela manusia yang tertindas. Fiksi membebaskan orang-orang yang terbelenggu oleh tirani penindas. Fiksi itu "suci".

Fiksi dan Apresiasi Kompasiana

Apa ujung dari celoteh saya ini? Saya juga tidak tahu. Yang pasti, saya pertama-tama mengapresiasi Kompasiana yang memberi ruang bagi penulis dan penikmat fiksi.

Di akhir pekan, lazimnya Kompasiana mencanangkan fiksi sebagai santapan utama. Karya-karya fiksi yang sepanjang hari-hari awal minggu "ditindas" tirani artikel politik (yang -maaf-kadang bombastis dan minim makna bagi pembaca), pada akhir pekan bisa sedikit bernafas lega. Dipilih cerpen dan puisi sebagai artikel utama, biasanya, selama akhir pekan.

Sebagai penulis amatiran di bidang fiksi dan penikmat fiksi, saya berharap ada perhatian lebih Kompasiana pada penulis dan artikel fiksi.

Mungkin agak janggal juga permintaan saya ini. Soalnya, penulis kanal lain berhak protes: Mengapa fiksi yang boleh meminta perhatian lebih?

Saya siap menghadapi perundungan "massal, terstruktur, dan sistematis" terhadap celotehan saya ini.

Alasan utama sejatinya sudah saya sampaikan di atas. Fiksi itu bukan kitab suci, tapi "suci".

Negara-negara yang maju pendidikannya menjunjung tinggi nilai karya fiksi. Maka, warga negara-negara maju itu pasti bisa membedakan karya fiksi dan karya nonfiksi.

Saya jamin, tidak ada seorang warga negara maju yang akan menganggap negaranya akan punah tahun sekian gara-gara membaca sebuah novel...

Nah, sekarang, paham kan arti penting membaca fiksi? Hehehe, maaf kalau ada kesamaan karakter dan peristiwa. Ini fiksi belaka! Jangan emosi ya..

Wujudnya Perhatian Lebih Bagaimana?

Hmm..saya juga nggak tahu jawabannya. Beberapa usulan yang sudah pernah saya dengar dan usulan spontan saya:

- Kompasiana menerbitkan "Cerpen Pilihan Kompas(iana)". Mutunya saya kira pasti jauh dari "Cerpen Pilihan Kompas"..hehehehe. Tapi bukan soal mutu. Ini untuk mengapresiasi saja. Bukankah nanti dampaknya bisa memicu lahirnya dan makin semangatnya penulis fiksi di Kompasiana? 

Oh ya, cerpen itu cuma contoh. Buat juga "Puisi Pilihan Kompas(iana)" dan konco-konconya.

- Kompasiana memberi ruang lebih bagi karya fiksi untuk tampil dalam promosi di medsos Kompas dan Kompasiana. Mungkin lebih banyak lagi jatah artikel utama untuk karya fiksi pilihan tim juri Kompasiana Idol. Alih-alih artikel (maaf sekali lagi-politik penuh intrik) yang heboh tapi minim data, karya fiksi pilihan nan penuh hikmah kehidupan perlu diberi ruang.

- Kompasiana rutin membuat lomba artikel fiksi dengan hadiah pelatihan menulis dan atau voucher pembelian buku atau berlangganan media Kompas Gramedia. Saya jamin deh, pasti meriah. Bayangkan girangnya penulis fiksi Kompasiana saat dilatih penulis fiksi kaliber Kompas. Bisa selfie seharian sampai lupa makan!

- Kompasiana rajin memberi edukasi penulisan fiksi yang baik melalui kopi darat, laut, dan udara. Juga melalui artikel yang ditulis redaksi Kompasiana. Misalnya undang beberapa penulis fiksi level dewa sebagai penulis tamu di Kompasiana guna menulis tips-tips meramu cerpen dan puisi yang jitu. Kalau ini terwujud, saya doakan admin Kompasiana lancar jodoh sehingga lebaran tahun depan nggak lagi ditanya "Kapan nikah? Mana calonmu?"

- Kompasiana bisa juga meminta penulis jagoan yang juga Kompasianer untuk jadi mentor. Saya sebenarnya gatal ingin menggaruk, eh, menyebut penulis jagoan yang sempat saya kenal di Kompasiana ini. Tapi, saya cemas, jika saya sebut, ada penulis jempol, eh, jempolan lain yang iri dan sakit hati karena nama mereka tak saya sebut. "You-Know-Who, He-Who-Must-Not-Be-Named," celoteh Lord Voldemort dalam film Hari Loper. Iya, saya tidak salah ketik. Hari si loper Kompasiana.

Sudah ah, capek saya ngetik artikel sampah ini. Monggo para Kompasianer fiktif berkomentar dan membully saya. Iya. Saya saja. Jangan mas bro dan mbak bro admin Kompasiana yang masih jomlo. Soalnya lebaran kemarin mereka sudah banyak dibully pakde dan budhe dengan pertanyaan yang membahagiakan seputar calon suami atau istri yang sampai kini masih fiksi...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun