Belum lama ini, kita dihebohkan dengan berita penolakan sebuah kampung di Pleret, Bantul, DIY terhadap kedatangan seorang warga Katolik yang baru saja mengontrak rumah di kampung itu.
Warga hanya memberi izin tinggal selama 6 bulan pada Slamet Jumiarto (42 tahun), Â warga baru itu semata-mata karena ia berbeda agama denga warga dusun.
Simak ulasan saya di artikel ini: Miris, Warga Baru yang Beda Agama Ditolak Kampung di Jogja
NB: Tulisan ini tidak bermaksud mendiskreditkan pemeluk agama tertentu. Saya sendiri memiliki saudara-saudari beraneka agama. Tak mungkin saya sengaja menyakiti mereka dengan tulisan, perkataan, dan perbuatan.
Sultan Sudah Keluarkan Instruksi Cegah Konflik Sosial
Setelah peristiwa itu menghiasi media dan medsos, barulah Pemkab bantul turun tangan.Â
Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X mengeluarkan instruksi Nomor 1/INSTR/2019, 4 April 2019 ini tentang pencegahan potensi konflik sosial, pascakasus diskriminasi yang dialami Slamet.
Inti dari instruksi Gubernur DIY Nomor 1/INSTR/2019 tersebut ada tiga poin.Â
Pertama, pencegahan terkait dengan potensi konflik sosial. Bupati/wali kota diinstruksikan untuk bisa mengemas agar tidak terjadi konflik sosial di wilayahnya.Â
Kedua, bupati/wali kota harus mengambil langkah penyelesaian dengan cepat, tepat, dan tegas, apabila sudah terjadi.Â
Ketiga, pembinaan dan pengawasan. Artinya, perlu ada penertiban terkait dengan regulasi yang beredar di masyarakat.
Lagi, perusakan makam kristiani terjadi di Jogja
Baru-baru ini, sejumlah nisan kayu di Pemakaman RS Bethesda, Jalan Affandi , Kelurahan Mrican, Desa Caturtunggal, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, DIY ditemukan dalam keadaan hangus terbakar.
Beberapa nisan juga tampak tercabut dari tempatnya.
"Pukul 15.30 WIB, saya ditelepon salah satu ahli waris. Dia mengatakan ada nisan kayu yang dirusak," ujar pengurus Makam RS Bethesda, Hari Yuniarto (57) Sabtu (6/4/2019).
Perusakan makam Kristen bukan pertama kali ini terjadi kota bersemboyan Jogja Berhati Nyaman tersebut.
Desember 2018
Salib di makam Albertus Slamet Suagiardi, warga Purbayan KG VI No 1164 RT 53 RW 13, Kotagede, Yogyakarta, dipotong sehingga menjadi berbentuk huruf T.Â
Memang benar, makam itu bukan milik Pemda, namun milik kampung setempat. Sayangnya, sejumlah warga menilai makam itu identik dengan makam untuk agama mayoritas yang dianut di wilayah itu. Berdasarkan anggapan ini, ada oknum warga yang melakukan pemotongan salib.
Menurut sebagian warga, keluarga almarhum Albertus sudah menerima hasil kesepakatan dengan warga setempat.
Tentu saja, tindakan ini tidak mewakili seluruh warga kampung setempat. Banyak warga setempat hadir dan membantu prosesi pemakaman Albertus.
Akhir 2018, Perusakan Makam Kristen dan Islam di Magelang
Bila kita telusuri lebih jauh lagi, insiden perusakan makam juga pernah terjadi di Magelang, Jawa Tengah.
Sejumlah makam di empat pemakaman di Kota Magelang dirusak oleh "orang tak dikenal" secara berturut-turut di antara saat malam Natal hingga malam Tahun Baru 2019. Ujungnya, puluhan nisan yang menandakan makam Kristen maupun muslim hancur.
Tercatat ada 22 nisan yang dirusak di empat pemakaman yang berbeda.Â
1. TPU Giriloyo ada 12 nisan (11 makam Kristen dan 1 makam muslim;Â
2. Pemakaman Segadung ada 1 makam Kristen;Â
3. Makam Kampung Kiringan ada 8 makam (6 makam Kristen dan 2 makam muslim);Â
4. Pemakaman Malangan ada 1 makam Kristen.Â
Rata-rata terjadi perusakan nisan salib pada 19 makam Kristen. Nisan salib bukan hanya dipatahkan, tapi dihancurkan berkeping-keping.Â
Sementara makam muslim mengalami kerusakan pada bagian nisan yang dipatahkan.
Kepolisian belum berhasil memberi keterangan memadai seputar kejadian perusakan makam di Magelang ini.
Makam (Kristen) Dirusak Lagi, Ada Apa dengan Jogja dan Jateng?
Rentetan kejadian bernada intoleransi di wilayah Jogja dan Jateng membuat kita bertanya-tanya: ada apa dengan Jogja dan Jateng?
Agar lebih fokus, perlu disadari, wilayah Jateng yang kita bahas dalam artikel ini adalah Magelang, yang berjarak sekitar 45 km dari Jogja.
Dengan demikian, kejadian-kejadian yang mengusik kenyamanan kita ini terjadi di lingkup DIY dan sekitarnya.
Kita berharap, pemerintah DIY dan Jateng serta Kepolisian di dua provinsi bertetangga ini segera menanggapi kejadian-kejadian ini dengan cermat dan tanggap.
Semoga pelaku-pelaku segera dapat diungkap dan ditindak secara hukum.
Warga Jogja dan Jateng hendaknya mempererat kerukunan, apalagi jelang Pilpres sebentar lagi. Sangat mungkin, perusakan makam ini sengaja dilakukan untuk memecah kerukunan bangsa di tengah kontestasi politik yang memanas pada tahun 2019 ini.
Wasana Kata
Kita semua patut bercermin diri: Apakah kita rela gejala intoleransi makin merebak di tengah-tengah bangsa kita yang merdeka berkat perjuangan pahlawan dari aneka suku, ras, dan agama?
Secara pribadi, saya amat menyayangkan politik identitas (agama) yang masih saja dijadikan isu utama oleh sebagian politisi dan tim pendukung mereka dalam persaingan politik nasional dan daerah. Saya menengarai, politik identitas (agama) yang digembar-gemborkan sebagian politisi ini memberi angin segar bagi kelompok-kelompok intoleran untuk melakukan aksi-aksi intoleran.Â
Politik identitas (agama) memang mampu menarik simpati sebagian pemilih, namun sangat berbahaya bagi keutuhan bangsa kita.
Wahai para politisi, tolonglah, hentikan semua politisasi agama yang kalian lakukan hanya demi meraih kuasa!
Kapan politisi kita berkampanye dengan adu program, bukan dengan "jualan" ayat dan pemuka agama?Â
Kami, rakyat jelata, memilih politisi yang kompeten mengurusi negara, bukan memilih tokoh paling agamis dalam Pemilu nanti. Tolonglah, kami sudah jengah dengan politisasi agama...
Sumber:
regional.kompas.com
medan.tribunnews.com
regional.kompas.com