Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengulik Paham di Balik Ajaran "Kiamat Lokal" di Ponorogo

14 Maret 2019   06:07 Diperbarui: 14 Maret 2019   07:20 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mereka menjamur, sebagian di bawah tanah sehingga tak terdeteksi nyamuk pers dan warga sekitar. Mereka "aman" karena memang sejatinya sifat Mahdisme ini bukan pertama-tama mau memberontak pada negara. 

Mereka hanya mencari sekeping surga di tengah dunia yang makin tak tentu arah (menurut pandangan mereka). Mereka mungkin jengah juga dengan agama-agama "resmi" dan "utama" yang justru dijadikan alat oleh sebagian pengikutnya untuk saling hina. 

Karena itulah, mereka menciptakan sistem "agama baru" yang lebih nyaman bagi mereka. Aneh bagi orang "normal". Akan tetapi, bagi mereka, ajaran itu justru yang paling benar dan patut dipercaya! Seperti dua orang berhadapan yang melihat angka di atas pasir. Satu melihat angka 6. Satunya lagi melihat angka 9. 

medium.com/@latika_139
medium.com/@latika_139
Jangan dianiaya!

Kita masih ingat peristiwa persekusi terhadap pengikut anggota organisasi Gerakan Fajar Nusantara di Kabupaten Mempawah Timur di Kalimantan Barat pada Januari 2016. Oknum warga melakukan pembakaran tempat tinggal pengikut Gafatar dan mengusir sedikitnya 1.124 anggota Gafatar (BBC Indonesia, 21 Januari 2016).

Jangan menganiaya korban ajaran Mahdisme semacam ini. benar bahwa penyebaran ajaran "aneh" dapat meresahkan masyarakat. Akan tetapi, sebenarnya, dalam perspektif studi agama-agama, maksud pengikut Mahdisme ini pertama-tama bukan untuk menebarkan keresahan. Mereka "hanya" mewartakan apa yang mereka yakini. 

Sejujurnya, jika kita tempatkan pengikut Mahdisme ini "sejajar" dengan penganut agama-agama "resmi" dan "besar", yang mereka lakukan itu mirip dengan "misi" atau "zending" atau "syiar". 

Saya sadar, tidak semua orang setuju dengan pemaparan dari sudut pandang keilmuan studi agama-agama yang baru saja saya tulis di atas. Sebabnya, kita telanjur dikondisikan oleh dikotomi "agama resmi" dan "tidak resmi" dalam konteks kenegaraan di Indonesia. 

Saya tak bermaksud melawan hukum negara. Yang coba saya tawarkan adalah perspektif "baru" dalam memandang Mahdisme secara ilmiah.

Sebagai seorang Katolik, saya tak sepakat dengan ajaran Mahdisme. Tetapi, sebagai seorang pembelajar ilmu agama-agama, saya tahu, dalam dunia akademik, Mahdisme dipelajari dan ditempatkan sejajar dengan fenomena keagamaan lain di dunia, baik itu agama "resmi" dan "arus utama" maupun agama "pinggiran" dan "melawan arus".

Para pengikut Mahdisme yang sudah terlalu kelewatan hingga bersikap fatalistik adalah orang-orang yang justru perlu diingatkan agar kembali menemukan keseimbangan dan kebijaksanaan hidup. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun