Mohon tunggu...
Bob Bimantara Leander
Bob Bimantara Leander Mohon Tunggu... Jurnalis - Kalau gak di radar ya di sini

Suka menulis yang aku suka

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Masyarakat Indonesia: Mengonsumsi Berita Gratis, tapi Wartawan Dimaki

13 Januari 2020   07:09 Diperbarui: 14 Januari 2020   11:08 1062
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: radarmalang.id/Foto: Elfran Vido

Sudah lelah suruh keliling ke sana ke mari. Belum lagi disuruh ngefoto dan cepat-cepatan nulis. Karena apa? Biar berita kami jadi yang pertama dan jadi tercepat updatenya.

Hasilnya? Diledek para pembaca. Dibilang gak kompeten dibilang gak komplet informasinya. Dibilang banyak lagi. Intinya diejek.

Begitulah kerja jurnalis saat ini (wartawan online). Anyway, saya adalah satu dari sekian banyak jurnalis saat ini.

Mungkin beberapa bakal mengira itu keluh kesah mu saja. Semua kerjaan ya sulit. Jangan begitu. Jangan lebay.

Oke.

Begini para pembaca budiman. Saya akan menjabarkan kenapa berita online terutama tulisannya tidak begitu mendalam dan mungkin terkesan nyari sensasi.

Pertama, kami bekerja di media. Kata orang-orang, negara ini berdiri atas empat pilar atau lima lembaga.

Satu, eksekutif atau pemerintah. Dua, legislatif atau anggota dewan. Tiga, legislatif atau tukang buat peraturan. Biasanya kalian sebut Mahkamah Konstitusi (MK). Terakhir, ada media yang mana memberitakan dan sesekali menjadi watch dog dari ketiga lembaga lainnya.

Nah di sini masalahnya. Jika tiga lembaga pertama itu mendapat pasokan uang dari pajak negara, atau dibayar dengan APBN, lembaga yang bernama media ini tidak ada bayaran. Alias hidup sendiri.

Bayarannya dari mana? Macam-macam. Ada yang dari kontribusi pembacanya. Ada yang dari jualan oplak dan adapula yang dari iklan.

Nah, untuk kontribusi pembaca dan jualan oplak koran saat ini mungkin sulit untuk mendapatkannya. Khususnya di Indonesia.

Yang terakhir atau iklan. Ini yang sering jadi oksigen media-media di Indonesia saat ini (termasuk media saya). Namun, sayangnya kue iklan di Indonesia ini sangat sedikit.

Kadang institusi atau perusahaan ini lebih memilih ke Facebook ataupun Instagram yang engagementnya lebih besar.

Saya kemarin baca di kompas.com kalau dari 100% iklan itu hanya 17% iklan yang meluncur ke media di Indonesia. Tentunya, dengan kue yang kecil itu ratusan media pasti berebut untuk kue mini. Mereka akan mati-matian untuk mengepulkan asap dapurnya.

Lantas bagaimana cara untuk mendapatkan kue tersebut?

Ya kalau kue iklannya sedikit dan medianya banyak. Tentunya apapun akan dilakukan. Bahkan kalau cara itu sangat jauh dari apa yang dikatakan berkualitas.

Dan inilah yang berimbas kepada kami para wartawan online.

Contohnya ya seperti yang terjadi saat ini di pemberitaan online. Kadang berita-berita online tak pernah memberitakan sesuatu secara "benar". Benar di sini mungkin fokus pada apa yang terjadi.

Namun, yang ditonjolkan malah sensasi di sebuah kasus. Tentang kehidupan masa lalu. Foto ganteng pelaku. Ataupun rumah sang pelaku dan kekayaan ekonominya. Media Indonesia sebagian besar pasti memberitakan kasus yang gak sama sekali ada hubungannya dengan essensi kasus itu sendiri.

Contoh kasus yang terakhir ini kerap dibicarakan. Kasus pemerkosaan terbesar di Dunia di Inggris yang dilakukan oleh orang Indonesia. Fokus media di Indonesia malah ke pemberitaan kerabat pelaku, masa lalu pelaku, orang tua pelaku dan lain-lain. Alih-alih ke kasusnya sendiri, pemerkosaan.

Bung, kami wartawan juga tidak bodoh. Kami tahu itu sangat buruk (memberitakan hal pribadi bukan kasus). Kami kebanyakan juga kuliah di jurusan ilmu komunikasi dan mungkin banyak dari kami juga mempelajari ilmu komunikasi atau media dari buku maupun diskusi.

Tapi? Kenapa kami melakukan hal yang sudah kami tahu itu jelek? Karena itu yang disukai oleh pembaca di INDONESIA.

Untuk apa? Ya jika banyak disukai page view kami berambah dan bisa meningkatkan engagement di alexa. Hasilnya, ya sebagai nilai tawar ke perusahaan untuk beriklan ke media kami.

Buktinya, untuk artikel yang kami tulis dan kami kira "receh" itu page viewsnya nembus 1000 views. Itu cukup besar.

Bandingkan dengan tulisan yang mendalam kadang itu malah membuat kami pusing karena datanya lengkap. Malah page viewsnya rendah banget. Intinya, memang pembaca Indonesia ini masib suka dengan hal-hal yang berbau dengan sensasi.

Oh ya ngomong-ngomong soal sensasi. Ini tulisannya juga mudah tidak perlu berpikir seperti menulis essensi suatu kasus. Kami tidak perlu lengkap menulis 5W + 1H sebagai rukun iman kami. Kami cukup mem-framing suatu statement yang unik dan jadilah berita. Sangat cepat.

Kecepatan ini juga sejurus dengan apa yang dimau oleh kantor kami. Semakin cepat semakin bagus. Kalau bisa nulis berita itu 5 menit.

Wew. Entah itu berbobot dan informasinya salah atau tidak. Yang penting beritamu bisa diunggah dengan waktu cepat.

Apa sebab?

Mudah semakin cepat berita diunggah, google akan mendeteksi berita media kami paling atas.

Kalau seumpama kami meliput kasus pemerkosaan. Ada media A, B, dan C. Google pasti mendeteksi berita teratas itu dengan siapa yang cepat.

Kenapa kami menginginkan paling atas? Sekali lagi itu bisa menjadi nilai jual kami. Lagi-lagi orang pasti melihat berita paling atas rekomendasi google.

Lagi-lagi dan lagi hasilnya menambah page views dan akan disetorkan sebagai model mencari kue iklan.

Kue iklan buat apa? Ya buat membiayai operasional kami alias menggaji kami membayar listrik kantor dan keperluan lainnya.

By the way, seabrek kebutuhan itu tidak gratis butuh uang dan itu dari iklan uangnya. Alhasil, kami, wartawan online jadi sasaran empuk lingkaran setan ini. Kami musti nulis cepat entah itu benar atau tidak informasinya.

Sekali narasumber berkata A ya kami nulis A. Gak mau kritis. Yang penting ada berita.

Hasilnya? Ya berita kami jadi ladang olok-olok pembaca yang budiman di twitter ataupun facebook.

"Ya Allah berita apa ini infonya gak jelas banget," kurang lebih statement seperti itu kami terima beberapa kali.

Sakit? Tentu. Karena kami tetap melakukan sesuatu yang kami tahu itu salah dan goblok.

Seandainya saya tidak jadi wartawan onlinepun saya juga benci dengan tulisan saya.

Tapi semua itu kembali ke bisnis ini. Kami tidak bisa keluar dari lingkaran setan ini. Berita berkualitas, iklan sedikit. Berita receh dan dungi, iklan banyak.

Simpelnya begini, kamu jual aku beli. Dan pembaca sayangnya selama ini suka membeli hal yang receh. Dan kami pun sedihnya menjual apa yang disukai oleh pembaca.

Ini lingkaran setan. Saya tidak memberi solusi saya hanya menggambarkan keadaan ekosistem bisnis media online di Indonesia yang berdampak ke wartawannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun