Mohon tunggu...
Bob Bimantara Leander
Bob Bimantara Leander Mohon Tunggu... Jurnalis - Kalau gak di radar ya di sini

Suka menulis yang aku suka

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Uang dan Pendidikan, Sumber Kebahagiaan "Privilege" Seseorang

10 Januari 2019   21:01 Diperbarui: 12 Januari 2019   18:57 1145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mereka bilang "Uang tak bisa membeli kebahagiaan" atau yang paling sering aku dengar uang tak bisa membeli segalanya. Kalau dipikir-pikir memang benar, aku dan kamu mungkin sekarang kalau ingin bahagia dengan traveling ke suatu kota entah berantah atau yang paling simple melihat status IG idol favorite kita, yang sedihnya juga membutuhkan kouta data dan membutuhkan uang, aduh. 

Namun, anehnya,  aku telah menjalani hidup selama 22 tahun kurang lebih dan melihat betapa sengsaranya mereka, orang-orang yang bergelimang harta, namun tetap saja bisa sedih tak berkesudahan. Contoh, para artis yang lalu lalang di infotaiment dengan pemberitaannya, dan contoh lainnya tak perlu saya jabarkan, pasti ada orang kaya disekitar kalian, tapi tetap sambat dan bersedih hati.

Mereka yang bergeimang harta bisa melihat stori IG dan bahkan video Youtube tak berkesudahan di mana saja, semau mereka tanpa melihat sisa kuota mereka atau melihat apakah Wi-Fi sudah terpasang, namun, tetap bahagia kadang tak timbul di raut wajah mereka.

Meskipun mengetahui fakta, mendapat uang juga tak selalu bisa menimbulkan kebahagiaan, aku dan sebagian kaum yang secara ekonomi menengah atau ke bawah dan mungkin, juga mereka yang di atas, tetap dan sulit berubah untuk tetap mengejar uang dengan alasan itu adalah sumber kebahagiaan. Apa sebab? Dengan uang kita bisa membeli segalanya yang kita lihat. 

Jasa dan barang semua tersedia untuk memanjakan kita. Barang di platform media jual-beli online merayu kita untuk membelinya, dan jasa deliver makanan juga tersedia di genggaman sebagian besar dari kita.  Pastinya, uang adalah media untuk menebus kenikmatan tersebut.  

Uang ini pun dikejar bukan  dipengaruhi hanya dari keinginan diri sendiri, seperti yang sudah dipaparkan diatas, tapi juga dipengerahui oleh unsur dari luar (ekstrensik). 

Contoh, keluarga, contoh yang paling nyata, terutama orang tua kita, akan memaksa anaknya untuk mendapat nilai tertinggi di sekolah, untuk mendapat beasiswa ke luar negeri, atau lulus dengan IP tinggi dan tepat waktu, dan kalau bisa ya 3,5 tahun. Gila. Kalau sudah memenuhi contoh tersebut, orang tua mengahrapkan agar anaknya mampu mendapat pekerjaan yang gajinya besar, seperti manager di suatu perusahaan atau dosen.

Contoh di atas tersebut, bisa ditarik kesimpulan, orang tua mengharapkan anak-anaknya untuk mendapatkan banyak uang, dengan pendidikan yang moncer agar dapat, menurutnya, hidup bahagia kelak. Atau setidaknya, bisa melampaui ekonomi keluarganya yang sekarang. 

Iya itu kalau yang miskin atau menengah? Bagaimana dengan yang kaya raya punya uang berlimpah? Sama saja selama aku hidup 22 tahun, aku juga melihat betapa keinginan orang tua yang kaya untuk memberikan anaknya pendidikan yang baik dan ujung-ujungnya berharap buah hatinya bisa mempertahankan kekayaan dengan pendidikan yang mentereng tersebut untuk, lagi-lagi kebahagiaan hidupnya kelak.

Apakah salah orang tua memaksa anaknya untuk mendapatkan pendidikan yang baik dan pekerjaan yang baik kelak? Aku tak bisa menjawab itu baik atau tidak. Itu tergantung bagaimana proses orang tua tersebut membentuk anaknya untuk mendapatkan sesuatu yang mereka cita-citakan tersebut.

Aku mempunyai cerita, true story, bagaimana suatu orang tua membentuk anaknya dari kecil untuk mendapatkan apa yang orang tua inginkan.

Sebut saja Bu Rodiah, seorang wali murid, dia sangat sayang dengan anaknya. Ia memberikan semua yang ia punya untuk pendidikan anaknya. Aku juga mengetahui betapa ia sangat keras dengan anaknya dalam hal pendidikan. 

Faktanya, si anak memang sangat pintar di sekolah. Dia selalu mendapat "A" dalam setiap pelajaran. Namun, fakta lain yang mengejutkan, si anak selalu terlihat murung di sekolahan dan seperti jarang bicara kepada teman lainnya. Kalau aku bandingkan dengan si Budi yang mendapat nilai ala kadarnya, senyumnya sangat jauh melampui anak Bu Rodiah. 

Ibarat klub, senyumnya Budi adalah Real Madrid dan Si anak pintar itu adalah Hospitalet,  klub liga 2 Spanyol. Begitu pula, dalam kehidupan sosialnya, Budi mempunyai empati yang sangat tinggi terhadap teman lainnya. Berbeda dengan si Pintar, yang jarang sekali menolong temannya yang sedang kekusahan.

Ini bukanlah murni kesalahan Si anak pintar. Dia hanya tidak tau bagaimana untuk berempati karena di kehidupannya yang hanya ia tahu hanyalah bagaimana mendapat matematika 100 atau sejarah dengan nilai sempurna.

Hal yang mengerikan ialah, bu Rodiah, tak pernah terlihat bangga akan nilai akhlak yang si Pintar dapatkan. Bahkan cenderung mengabaikannya, Bu Rodiah selalu melihat matematika dan kimia apakah baik-baik saja? Maksudanya apakah mendapat "A"? Dia bahkan tak ambil pusing ketika wali kelas si Pintar memberi B dalam kolom sikap di kelas.

Waw, itu mungkin hampir sama dengan sebagian dari kita alami waktu SD dulu. Orang tua kita tak terlalu bangga dengan nilai akhlak yang kita dapatkan. Tapi, sangat marah besar atau uang jajan seminggu akan mereka simpan di dompet mereka ketika melihat angka "C" di matematika.

Terus apa implikasinya bagi kehidupan Si anak jika dewasa? Ya bisa dilihat hasilnya pada masa kini. Banyak, orang yang berlomba mendapatkan harta dan tahta tanpa memperhatikan sekitar, yaitu orang lain yang menderita akibat ambisinya dan ekosistem yang semakin rusak.

Menarik untuk menarik suatu analogi orang tua yang berfikir bahwa uang akan membahagiakan anaknya ini dengan waktu dunia mengalami revolusi industri. Sebelum adanya revolusi industri, masyarakat dunia masih bertani dan mengambil ekosistem yang ada dengan wajar. Ada perbudakan di sana, seperti budak afrika yang dikirim di seluruh dunia. 

Lalu tibalah, revolusi Industri dengan segala tujuan baiknya, dan Adam Smith bapak ekonomi dengan segala kebaikan moralnya di buku Wealth of Nationnya. Para revolutioner ini berfikir kebahagiaan akan di dapat oleh mereka dengan kapitalisme dan industri di mana-mana. 

Memang benar, perbudakan lama-lama dihapuskan. Namun, timbulah perbudakan baru, dengan bayaran yang sedikit. Tapi ini tidak hanya di alami oleh orang Afrika, namun juga oleh berbagai masyarakat di Inggris dan sebagian dunia lainnya. Kolonialisme tumbuh akibat Industri yang membutuhkan begitu banyak SDA, agar menimbulkan keuntungan sebanyak-banyaknya.  Mesin-mesin dan keserakahan manusia yang membabi buta merusak ekosistem dengan ampas industri.

Jadi pertanyaannya, apakah dengan tujuan para revolustioner tersebut menimbulkan kebahagiaan bagi dunia? Apakah para orang tuga juga menimbulkan kebahagiaan bagi anak-anaknya? Kalau tidak, apalah arti bertumbuh dan berkembang dan berevolusi jika jiwa yang ada di dalam dan kebahagiaan tak terpenuhi? Hanya merusakkah? Atau apa?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun