Mohon tunggu...
Bob S. Effendi
Bob S. Effendi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Konsultan Energi

Konsultan Energi, Pengurus KADIN dan Pokja ESDM KEIN

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Pindah Ibu Kota, "Urgent" atau "Important"?

24 Agustus 2019   09:37 Diperbarui: 25 Agustus 2019   09:37 2038
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
anak sekolah jualan koran /cellcode.us

Banyak pengamat dan pakar tidak bisa bedakan mana isu URGENT (mendesak) dan mana yang IMPORTANT (penting), khususnya dalam masalah pemindahan Ibu kota. Presiden bicara tentang sesuatu yang IMPORTANT tapi di debat oleh pengamat dan politisi yang tidak setuju dengan alasan URGENT---ya ngga nyambunglah. Untuk itu saya ingin menjelaskan melalui tulisan ini. 

Apa sih bedanya isu URGENT dan IMPORTANT"?

Semisal seorang anak yang selalu jualan di pinggir jalan. Bila mana ia tidak jualan maka mungkin keluarganya yang mengandalkan anaknya untuk mencari nafkah tidak dapat makan dan kelaparan.

TAPI bila sang bapak terus mempekerjakan anaknya di pinggur jalan tanpa menyekolahkan maka sang anak akan terus hidup di jalan tidak punya masa depan yang cerah, sehingga tidak dapat keluar dari lingkaran kemiskinan.

Nah URGENT itu tentang masalah saat ini dan IMPORTANT adalah masa depan. Keduanya sama pentingnya tidak dapat di tinggalkan harus ada suatu keseimbangan. Keduanya harus di laksanakan.

Kembali ke masalah pemindahan Ibukota. Pengamat yang mengatakan bahwa banyak isu yang lebih penting, seperti BPJS, penataan BUMN, dll. itu benar tapi semua itu adalah masalah URGENT yang pastinya siapapun Presidennya pasti harus di hadapi. 

Tapi pemindahan Ibukota adalah IMPORTANT tentang pemerataaan pembangunan dan keadilan sosial memang tidak urgent sekarang tapi persoalannya apakah the next president berani mengambil keputusan tersebut. --belum tentu, sejarah telah membuktikan.

Sejak jaman Soekarno isu tersebut sudah muncul tentunya bukan masalah macet dan polusi tetapi sejak tahun 60an Soekarno sudah sadar pembangunan akan terkonsentrasi di Jawa, sehingga akan menimbulkan ketimpangan yang kalo sekarang di ukur dengan gini ratio yang ternyata benar adanya. Tapi sayang tidak sempat di realisasikan Soekarno keburu jatuh.

Soeharto juga berusaha memindahkan tapi sesungguhnya bukan karena isu pemerataan tapi lebih kepada bisnis tanah karena yang diarahkan adalah Jonggol yang hanya berjarak 20 km dari Jakarta yang kebetulan dibebaskan oleh putranya sendiri Tommy---yang akhirnya menyisakan komplek property Sentul yang di desain untuk mensupport Ibukota baru di jonggol.

Kemudian datang SBY yang pada periode kedua memunculkan wacana pindah tapi tetap dengan jarak kurang dari 50 km, yaitu disekitar kerawang - Purwakarta.

Bahkan, saat itu, lokasi yang sekarang menjadi Meikarta sudah di rencanakan sebagai lokasi perumahan penopang Ibukota baru jadi balik lagi visi SBY saat itu bukan pemerataan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun