Mohon tunggu...
Budhi Masthuri
Budhi Masthuri Mohon Tunggu... Seniman - Cucunya Mbah Dollah

Masih Belajar Menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Inovasi dan Penguatan Modal Sosial: Belajar dari Kota Yogyakarta

3 Agustus 2021   14:34 Diperbarui: 3 Agustus 2021   14:43 965
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Yogyakarta adalah Ibukota Propinsi DIY, merupakan satu-satunya daerah yang berstatus Kota di samping empat daerah tingkat dua lainnya yang berstatus Kabupaten. Memiliki luas wilayah 32,5 Km, terbagi menjadi 14 Kecamatan, 45 Kelurahan, 617 RW, dan 2.531 RT (www.bpkp.go.id), Berdasarkan data BPS, per tahun 2020 jumlah penduduk Kota Yogyakarta adalah 435.936 jiwa (www.yogyakarta.bps.go.id).

Produk domestik regional bruto (PDRB) Kota Yogyakarta atas dasar harga berlaku   menurut lapangan usaha 2020 adalah sebesar 35.77 Triliun Rupiah. Berasal dari unit-unit produksi yang dikelompokkan menjadi sembilan lapangan usaha (sektor) yaitu; pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan, pertambangan dan penggalian, industri pengolahan, listrik, gas dan air bersih, konstruksi, perdagangan hotel dan restoran, pengangkutan dan komunikasi, keuangan, real estate dan jasa perusahaan, dan Jasa-jasa lain termasuk jasa pelayanan pemerintah (BPS Kota Yogyakarta).  

Mayoritas penduduk Kota Yogyakarta beragama Islam, tetapi kota ini multikultural, dengan potensi budaya yang sangat beragam, baik budaya yang tangible (fisik) maupun intangible (non fisik). Potensi budaya fisik antara lain berupa kawasan cagar budaya dan benda cagar budaya.

Adapun budaya yang non fisik seperti gagasan, sistem nilai atau norma, karya seni, sistem sosial atau perilaku sosial yang ada dan hidup dalam praktik sosial masyarakat sehari-hari (https://petabudaya.belajar.kemdikbud.go.id). Meskipun demikian, globalisasi dan Indusrtri 4.0 menyebabkan terjadinya disrupsi disemua sektor, dan setiap saat dapat mengikis budaya adiluhung yang selama ini menjadi modal sosial masyarakat Kota Yogyakarta.

Salah satu kesimpulan riset Fisipol UGM tahun 2001 sebenarnya memberi early warning terkait dengan ancaman modal sosial tersebut. Meningkatnya heterogenitas etnis pendatang yang disertai penolakan terhadap nilai-nilai etnis mayoritas (Jawa) berpotensi menurunkan modal sosial karena berpeluang menciptakan konflik (Waris,2015). Pada era digital, potensi ini semakin terbuka. Masyarakat perkotaan yang terasa semakin individualis, tidak lagi memiliki waktu yang cukup bertegur sapa dengan tetangga, saling tenggelam dalam kesibukan dan kelelahan akibat ritme kerja, nyaris tidak saling mengenal.

Multikulturalisme di era digital saat ini memang menghadapi tantangan bahkan tekanan lebih kuat. Informasi yang melimpah ruah di internet misalnya, ini dapat mendorong reproduksi perbedeaan bahkan kebencian begitu mudah terjadi, meluas bahkan meruncing menjadi konflik (Masthuri 2021). Tidak hanya itu, nilai-nilai kearifan lokal belakangan juga mulai terkikis karena adanya arus globalisasi yang kuat, sehingga kebudayaan lokal sudah tidak populer di kalangan remaja (http://fis.uny.ac.id). 

Untuk melindungi modal sosial dari potensi keterkikisan tersebut, Gubenur Daerah Istimewa Yogyakarta mengesahkan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Tata Nilai Budaya Yogyakarta. Setahun kemudian Presiden RI juga mengesahkan UU Keistimewaan DIY No. 13 Tahun 2012. Tetapi toch protensi keterkikisan budaya dan modalitas sosial tetap tidak bisa terelakkan.

Sejalan dengan kekhawatiran ini, pada Tahun 2021 Pemerintah Kota Yogyakarta merancang program inovasi pembangunan Temoto, Temonjo, Kroso. Inovasi ini pada dasarnya bersifat paradigmatik, untuk membangun cara pandang baru tentang kebersamaan dan kegotongroyongan dalam proses perencanaan pembangunan berkelanjutan. 

Hal menarik dari program inovasi ini adalah pelaksanaanya dilakukan dengan pendekatan kemitraan bersama komunitas-komunitas warga yang ada dalam setiap desa. Dengan demikian perubahan paradigma yang dicanangkan pada akhirnya akan berdampak pada terjadinya perubahan sikap dan perilaku dan memperkuat modal sosial yang ada dalam masyarakat desa tersebut.

Salah satu implementasi programatik dari Inovasi Temoto, Temojo, Kroso adalah urban farming oleh Kelompok Tani Tanem Tuwuh, di RW 13 Kampung Karangwaru Kidul, Desa Karangwaru, Kecamatan Tegalrejo. Komunitas ini memanfaatkan lorong kampung dan lahan tidur milik warga untuk penghijauan serta pertanian, dengan melibatkan warga melalui proses-proses kolaborasi, gotong royong, dan komunalitas.

Kelompok Tani Tanem Tuwuh menjadi objek penelitian dalam tulisan ini, untuk menjelskan bagaimana Inovasi Temoto, Temonjo, Kroso Pemerintah Kota Yogyakarta memberikan dampak pada penguatan modal sosial dalam komunitas, dan seperti apa bentuk distribusi kesejahteraan dilakukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun