Mohon tunggu...
Budhi Masthuri
Budhi Masthuri Mohon Tunggu... Seniman - Cucunya Mbah Dollah

Masih Belajar Menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tantangan Multikulturalisme di Sekolah

14 April 2021   14:29 Diperbarui: 14 April 2021   14:34 2082
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber:https://mengeja.id/

Indonesia terbentuk dari keberagaman suku, agama, ras dan golongan yang menyatu sebagai bangsa. The Founding Fathers menggunakan keberagaman ini sebagai modal sosial berbangsa dan bernegara. Ini tergambar dari semboyan Bhineka Tunggal Ika yang tertoreh jelas pada pita putih dalam cengkraman kaki Garuda Pancasila. Karakteristik bangsa plural seperti ini termasuk langka, dan belum tentu ada pada semua bangsa di dunia.

Seiring berjalannya waktu, keberagaman sebagai modal sosial bangsa Indonesia juga harus berhadapan dengan perubahan zaman. Industrialisasi 4,0 dengan berbagai desrupsi yang menyertainya menjadi era penuh tantangan. Masyarakat milenial yang hidup diera ini mengalami transformasi budaya, ditandai dengan tuntutan kecepatan dan pragmatisme, menuntut setiap orang untuk berpikir dan bertindak cepat di tengah terpaan informasi sehingga mau tidak mau ikut dalam perkembangan teknologi (Ahmad W dkk, 2019). Mereka menginginkan segala sesuatu serba cepat dan memberi manfaat (praghmatisme). Semantara itu konsevatisme beragama juga berkembang lebih pesat, karena industrialisasi 4.0 menyediakan konektivitas informasi yang sang cepat cepat dan masif.

Praghmatisme dan konsevatisme ini menyasar generasi milenial,  termasuk mereka yang masih duduk dibangku-bangku sekolah menengah. Lahirnya kebijakan pemerintah daerah dan sekolah yang mengatur tentang pewajiban atau pelarangan penggunaan seragam beratribut agama di sekolah misalnya, ini salah satu contoh praktik konservatisme yang menyasar anak sekolah, dan berujung dengan terbitnya kebijakan SKB Tiga Menteri Nomor 02/KB/2021, Nomor 025-199 Tahun 2021, dan Nomor 219 Tahun 2021 Tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut Bagi Peserta Didik, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan di Lingkungan Sekolah yang Diselenggarakan Pemerinta Daerah Pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.

Praktik-praktik pewajiban dan larangan pemakaian seragam beratribut agama di sekolah merupakan tantangan serius bagi masa depan multikulturalisme di sekolah. Apakah tantangan ini cukup dijawab dengan menerbitkan kebijakan SKB Tiga Menteri? Perlu dicermati lebih lanjut. Ini menarik untuk ditelaah, menggunakan pendekatan teoritik, untuk melihat prospek dari implementasi kebijakan SKB Tiga Menteri ini. Salah satu yang relevan adalah teori tentang implementasi kebijakan Marielle Grindel dan teori mengenai sistem hukum Lawrence Friedman.

Menurut Grindle, kebijakan diterjemahkan lebih lanjut menjadi program-program yang diimplementasikan untuk pencapaian tujuan kebijakan itu sendiri. Oleh karena itu, implementasi kebijakan pada dasarnya adalah sebuah upaya untuk mewujudkan tujuannya sendiri. Keefektifan proses implementasi sebuah kebijakan ditentukan oleh dua hal, yaitu policy content (isi kebijakan) dan policy context (konteks yang melatari kebijakan). Policy content menentukan apa isue substansi yang seharusnya menjadi muatan dan perlu diusung oleh sebuah kebijakan, perubahan seperti apa yang diharapkan akan terjadi sebagai akibat dari implementasi kebijakan, siapa implementator, dan di mana kebijakan itu dibuat serta dijalankan. Adapun policy context adalah situasi dan kondisi lingkungan dimana proses kebijakan dirumuskan dan diimplementasikan (Grindle 1980)

Sedangkan Friedman menerjemahkan pelaksanaan kebijakan dengan kerangka sebagai sistem hukum. Menurutnya sistem hukum sebagai kebijakan terdiri dari tiga subsistem, yaitu isi dan format hukumnya yang memadai, kesiapan struktur organisasi dan SDM yang melaksanakan (implementator), serta daya dukung budaya hukum masyarakat dimana hukum dilaksanakan. Budaya hukum ini merupakan keseluruhan sikap warga masyarakat yang bersifat umum dan nilai-nilai di dalam masyarakat yang akan menntukan pendapatnya tentang hukum (Ismayawati, 2011).

Tulisan ini secara sederhana dan ringkas akan menggunakan teori implementasi kebijakan dan sistem hukum tersebut sebagai alat untuk melihat secara kritis prospek SKB Tiga Menteri sebagai instrumen pengawal nilai-nilai multikulturalisme di sekolah.

Multikulturalisme  dan Negara Interkultural

Multikulturalisme adalah paham yang mengakui tentang adanya keberagaman kultural sebagai sebuah kenyataan dan harus diterima serta dihormati. Keberagaman kultural bisa berdimensi tradisional;  seperti  keberagaman  suku,  ras,  ataupun  agama,  maupun  keberagaman yang berdimensi bentuk-bentuk kehidupan (subkultur)  yang  muncul dalam kehidupan masyarakat (Irhandayaningsih, 2012).

Indonesia adalah negara dengan keberagaman kultural. Sebagai negara, Ia sekaligus menjadi arena interaksi sosial antar subkultur yang ada di dalamnya. Warga negaranya sering juga disebut sebagai warga negara interkultural, yaitu orang-orang yang memiliki latar belakang budaya berbeda dan ini dapat terjelaskan melalui proses komunikasi yang terjadi antar budaya. Komunikasi antar budaya (intercultural communication) merupakan komunikasi antar orang-orang yang memiliki latar belakang dan membawa bahasa budaya mereka masing-masing yang berbeda-beda (Matsumoto dkk 2008).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun