Mohon tunggu...
Budhi Masthuri
Budhi Masthuri Mohon Tunggu... Seniman - Cucunya Mbah Dollah

Masih Belajar Menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kepemimpinan dan Hambatan Transformasi Budaya

8 April 2021   08:00 Diperbarui: 8 April 2021   08:08 1080
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber:https://pelatihanmotivasi.idn

Hubungan kepemimpinan dan transformasi budaya ini bisa digambarkan sebagai sebuah relasi sebab akibat. Setiap kepemimpinan memberi atau membawa pengaruh untuk membentuk budaya organisasi melalui proses transformasi nilai dan budaya sesuai karakter, model dan gaya kepemimpinannya. Itu mengapa setiap organisasi memiliki ciri yang berbeda satu sama lain.

Mengenai budaya organisasi ini, Hofstede (1980) membagi menjadi value dan culture. Value didefinisikan sebagai sebuah tendensi yang luas untuk menunjukkan keadaan tertentu atas lainnya. Dalam keseharian, value ini tercermin dari keyakinan (bilief), perilaku (attitudes), dan kepribadian (personality). Sedangkan culture didefinisikan sebagai program mental yang dimulai dari lingkungan keluarga, lanjut ke lingkungan tetangga, sekolah,  group remaja,  lingkungan  kerja,  dan  lingkungan masyarakat.  

Dari sini dapat dijelaskan bahwa culture atau kebudayaan merupakan  sebuah  sistem  nilai yang dianut oleh suatu lingkungan, dari mulai lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan kerja, sampai pada lingkungan masyarakat yang lebih luas. Sehingga, terbentuknya budaya organisasi tidak bisa dilepaskan dari terbentuknya budaya si pemimpin organisasi dan setiap orang di dalamnya.

Secara lebih spesifik, pendapat Edgar Schein (2004) juga bisa digunakan untuk melengkapi penjelasan Hofstede di atas. Schein membagi pembentukan budaya organisasi menjadi tiga layer tahapan. Tahap pertama apa yang ia sebut sebagai artefak, yaitu penanda budaya di setiap organisasi yang sifatnya tangible, bisa dilihat dan dirasakan oleh setiap orang yang berada di sebuah kantor. Misalkan, arsitektur, disain kantor, interior, cara berpakaian orang-orang didalamnya, termasuk cara berbicara, tutur kata, dan ekspresi ketika berbicara. Dari artefak kita bisa mengetahui adanya nilai-nilai yang terkandung dan dianut dalam sebuah organisasi tersebut. 

Nilai-nilai ini oleh Schein ditempatkan pada layer tahapan kedua yang menempati kesadaran setiap orang dan menuntun mereka tentang apa yang seharusnya, apa yang boleh dan tidak boleh di dalam sebuah organisasi. Nilai-nilai ini menjadi instrumen untuk mengelompokan situasi dan tindakan mana yang tidak diinginkan atau yang diinginkan. Adapun layer tahapan ketiga yang mendasari bangunan sistem budaya yang ada, yaitu asumsi dasar. Asumsi dasar ini semacam kepercayaan yang diterima begitu saja sebagai fakta sehingga tidak pernah ditentang, berkembang di antara anggota kelompok sosial dan menjadikan inti budaya dalam organisasi apa pun.

Budaya organisasi, tidak hanya menjadi pembeda dari organisasi lain, tetapi sekaligus merupakan modal yang sangat penting untuk keberhasilan organisasi mencapai tujuannya. Seringkali seorang pemimpin transformasional menghadapi kendala atau hambatan dalam mentransformasikan nilia-nilai dan budaya ketika berhadapan dengan pengikut yang mengalami mental block. Mereka ini keukeh dengan nilai dan budaya yang diyakini dan ada di dalam dirinya, melekat di alam bawah sadarnya sehingga mentalitasnya menolak kehadiran sistem nilai dan sistem budaya baru yang ingin ditransformasikan oleh si pemimpin.

Meminjam penjelasan Edgar Schein (2004) tentang tahapan nilai-nilai dan asumsi dasar, juga penjelasan Hofstede (1980) bahwa sikap penolakan tersebut akibat dari program mental yang telah terkonstruksi dalam diri masing-masing pengikut melalui nilai dan budaya di lingkungan kerja dan lingkungan sosial sebelumnya, termasuk keluarga.

Selain mental block, seorang pemimpin transformasional seringkali juga menghadapi kendala soal relasi interkultural yang belum tuntas dalam organisasi. Seringkali komunikasi antar pengikut dengan kultur yang sangat beragam mengalami kendala karena kesenjangan bahasa dan standar nilai sosial. Kondisi ini selanjutnya mempengaruhi komunikasi antar satu departemen dengan departeman lainnya, dan tentu saja menyebabkan sulirnya membangun kolaborsi kerja.

Perbedaan generasi juga menimbulkan kesenjangan yang biasanya menjadi kendala tersendiri bagi seorang pemimpin transformasional. Kesenjangan generasi terjadi ketika gelombang tenaga kerja generasi milenial memasuki berbagai posisi di organisasi, dan  pada saat yang sama, generasi lama sebelumnya juga masih signifikan jumlahnya. Ini sekaligus menjelaskan bahwa, kesenjangan genersi secara hampir bersamaan juga diikuti dengan kesenjangan antara pola kerja tradisional dengan pola kerja modern dengan berbagai instrumen diigital berbasis internetnya.

Terakhir, kadangkala kendala justeru muncul dari para pendiri, board, atau dewan pengarah dalam sebuah organisasi yang masih menggunakan pola fikir konservatif. Secara ilustratif hal ini bisa kita saksikan misalnya dari film Money Ball, bagaimana seorang General Manager muda harus berhadapan dengan para Board sebuah club basket yang masih menggunakan mindset lama untuk membangun stretagi penempatan pemain. Sementara si General Manager menawarkan konsep scientific berbasis ilmu statistika. Meskipun pada akhirnya gagasan nilai dan budaya baru tersebut berhasil di transformasikan menjadi cara kerja, tetapi toch ini menjadi kendala yang cukup menyita waktu dan pemikiran.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun