Mohon tunggu...
Yaser A Suningrat
Yaser A Suningrat Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

..cuma cari senang..

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Tentang Keayahan Pak Beye

11 Oktober 2011   15:54 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:04 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Judul Buku: Pak Beye dan Keluarganya

Penulis: Wisnu Nugroho

Penerbit: Kompas, Jakarta

Cetakan: Kedua, Maret 2011

Isi: xx + 308 Halaman

ISSBN: 978-979-709-553-6

Bagaimana sosok Pak Beye sebagai seorang ayah? Kiranya perlulah buku Pak Beye dan Keluarganya: Tetralogi Sisi Lain SBY, buku terakhir dari seri tetralogi sisi lain SBY yang ditulis oleh Wisnu Nugroho, ini, dibaca. Terdapat cukup banyak kisah-kisah keayahan Pak Beye di sini. Terutama, yang paling saya suka, sosok Pak Beye sebagai ayah bagi anak-anak bangsa. Ini bisa dilihat dalam tulisan pertama yang berjudul “Ayah Yang Baik” di halaman 3-6, yaitu tulisan yang secara khusus membahas pernyataan Pak Beye tentang gajinya yang selama tujuh tahun terakhir tidak naik. Berbanding terbalik dengan gaji anak-anaknya.

Yang dimaksud penulis dengan kata “anak-anaknya” di sini adalah polisi, pegawai negeri, tentara, dan pensiunannya. Dengan berujar bahwa gajinya tidak naik selama dua periode jadi presiden, Pak Beye sebenarnya ingin mengatakan bahwa sejak tahun 2006, gaji anak-anaknya yang bergolongan rendah naik dari Rp. 674.050 menjadi Rp. 1.000.000. Tahun 2007, gaji anak-anaknya itu naik menjadi Rp. 1.285.400. Tahun 2008, gaji anak-anaknya naik menjadi Rp. 1.568.000. Tahun 2009 gaji anak-anaknya naik lagi menjadi Rp. 1.721.300. Pada tahun 2010, gaji mereka pun bertambah naik menjadi Rp. 2.000.000. Selain kenaikan gaji yang rata-rata 15 persen setiap tahun itu, anak-anak Pak Beye juga rutin mendapat gaji ke-13.

Wisnu juga menyebut sisi keayahan Pak Beye yang luput dari amatan keseharian kita. Dalam tulisan “Rokok dan Pak Beye”, Wisnu mengabarkan bahwa Pak Beye amat jarang sekali memberi apresiasi untuk industri rokok. Meskipun industri yang satu ini telah menyumbang lebih dari Rp 50 Triliun setiap tahun untuk negara (hal. 179). Ia, tentu saja, tak ingin anak-anak bangsanya merasakan ketergangguan kesehatan akibat rokok. Saya sendiri percaya sikap ini jauh dari maksud-maksud politik Pak Beye. Apalagi bila dihubungkan dengan golak politik pencitraannya yang begitu kobar-membara.

Yang perlu diperhatikan dari buku ini adalah bahwa keayahan Pak Beye tak sesempit uraian dalam dua tulisan di atas. Sayangnya, sekali lagi, hal itu jarang dipandang. Terlalu banyak aroma politik yang menjangka pandangan para pengamat dan oposannya. Sehingga ujaran-ujaran alamiah Pak Beye, dalam kapasitasnya sebagai seorang ayah bagi anak-anak bangsa ini serasa hambar dan rentan tafsir politis. Wajar saja. Sebab pada kenyataannya, ada pintu-pintu yang memungkinkan keayahan itu terhijab dari akal sehat publik. Misalnya tabiat kedemokratan Pak Beye.

Itu tampak saat ia terkesan membiarkan Ibas (Edhie Baskoro Yudhoyono) yang ujug-ujug, langsung menjadi Sekretaris Jendral Partai Demokrat. Jika ditimbang berdasarkan ukuran kemampuan, prestasi, dan perfeksionisme yang menjadi ciri pribadi Pak Beye, seharusnya ia tak boleh membiarkan itu terjadi. Sebab Ibas masih terhitung anak bawang dalam dunia politik. Kemampuan serta prestasinya belum terlihat. Tapi itulah dunia politik Indonesia. Tak hanya Pak Beye. Banyak tokoh politik lain yang bertabiat demikian. Kultur ini tak akan pernah melahirkan demokrasi yang kebal feodalisme. Untuk Ibas, sang putra mahkota Cikeas itu, penulis menggelar paparan menarik di sebuah bab tersendiri; Mas Ibas (hal. 93-98).

Sosok beku

Hal lain yang dapat saya simpulkan dari buku ini barangkali keluar dari sisi keayahan Pak Beye. Di sini, saya melihat Pak Beye digambarkan sebagai presiden yang kaku. Beku. Susah mencair. Cenderung formalis. Apapun yang meluncur dari mulutnya, yang tergerik dari geraknya, hingga yang terisyaratkan dari gesturnya, selalu akan mengesbatu. Tak ayal, kondisi ini kerap membrojolkan segerobak tanggapan dan reaksi yang kurang natural dari berbagai kalangan. Termasuk kalangan terdekatnya, yang disebut penulis sebagai Tim Hore.

Hal ini tampak, misalnya, dalam tulisan berjudul “JK: Joko Kendil” di halaman 47-50, yang menceritakan tentang perjalanan Pak Beye dan rombongannya dari Stasiun Kereta Api Tanjung Priok menuju Stasiun Pasar Senen. Saat itu, ia ditemani Ani Yudhoyono, Hatta Radjasa, Widodo AS, Jusman Sjafei Jamal, dan beberapa wartawan, Pak Beye melontarkan lawakan untuk mencairkan suasana. “Kenapa para penumpang kereta api dari Jakarta ke Semarang atau ke Yogyakarta, atau juga ke Surabaya tertidur dalam perjalanannya?”, begitu tanyanya kepada semua orang di sekitarnya.

Tak lama berselang, setelah beberapa orang tak mampu menjawab, Pak Beye memberitahu jawabannya. “Karena roda kereta api bundar. Coba kalau kotak,siapa bisa tidur sepanjang perjalanan?”, begitu ucapnya.Kontan saja, semua hadirin sidang jamaah Pak Beyewiyah langsung tertawa. Tapi, terus terang, saya menangkap tawa itu agaknya jauh dari kesan alamiah. Sebab cerita tersebut, untuk ukuran candaan sebagaimana umumnya menurut saya, masih jauh dari standar pengocokan perut. Apalagi, cerita lucu yang ia lontarkan setelah itu, yaitu tentang orang Madura yang naik kereta api tapi terus mengeluarkan tangannya dari jendela, adalah cerita lucu yang mashur sebagai milik Gus Dur.

Mengapa itu bisa terjadi? Barangkali karena tuntutan protokoler kepresidenan yang terlalu ia hayati hingga ke hati, psikologi president mainded, dan -seperti sinyalemen berbagai pihak- pengaruh keinginan menjaga citra diri. Wajar saja bila ia tampak tak mampu menjadi dirinya yang orisinil. Memang, terbentuknya diri (self) sangat ditentukan oleh pergulatan pribadi seorang manusia dalam lingkungannya. Tapi itu bukan alasan yang tepat untuk meminggirkan butir-butir karakteristik khas di sana. Sehingga siapa saja dapat membedakan mana yang “lingkungan” dan mana yang “diri”. Betapapun keaslian merupakan hasil dari berbagai persilangan antara diri dan dunia.

Masih banyak kisah-kisah lain yang cukup memikat dari buku ini. Beberapa di antaranya tak lengkap tanpa membaca buku lain yang termasuk dalam tetralogi Sisi Lain SBY. Karena merupakan catatan pribadi yang telah dipublikasikan di kompasiana, tulisan Wisnu Nugroho ini terasa mengalir, dialogis, dan tak kehilangan unsur reflektif. Kiranya gaya menulis inilah yang membuat Pak Beye kian hidup, ditertawakan, dikritik, dan dipuji.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun