Mohon tunggu...
Blontank Poer
Blontank Poer Mohon Tunggu... -

Senang motret, tapi sekarang sedang belajar blogging. Berharap teman-teman mau mengajari saya nge-blog yang baik dan benar, supaya bisa memberi manfaat dan kelak bisa jadi bekal masuk surga (http://blontankpoer.my.id/)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mimpi Jokowi di DKI

18 September 2012   16:54 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:16 1007
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebulan setelah mendaftarkan diri sebagai calon gubernur DKI bersama Pak Basuki Tjahaja Purnama, Pak Jokowi pernah rasan-rasan, ngobrol ringan tentang apa yang dirasakannya setelah beberapa kali blusukan masuk kampung-kampung dan pasar di Jakarta.

Ketika itu, saya sempat menyodorkan salah satu permukiman padat di Bukit Duri untuk didatangi. Suatu kawasan di mana antara kampung satu dengan yang lain dipisahkan oleh Sungai Ciliwung. Warga kampung seberang harus naik rakit penyeberangan untuk belanja di pasar yang menempati areal jalan kampung. Kumuh dan bau, tapi sangat ramai.

Di pinggir sungai itu pula, banyak orang mencuci pakaian di air yang berwarna kecoklatan, dengan jamban-jamban bersekat tripleks bertebaran. Bisa jadi, dari sanalah kemudian Pak Jokowi memperoleh ide menyodorkan konsep penataan dengan rumah deret bertingkat. Andai benar, senanglah saya.....

Dua pekan setelah obrolan ringan malam itu, Pak Jokowi kembali bercerita sudah mengunjungi pasar-pasar tiban di sepanjang Jl. Raya Bogor, antara Cililitan-Kramatjati. Cukup detil Pak Jokowi menceritakan apa yang dilihatnya, juga sambutan pedagang menyambut kedatangannya.

Malah, Pak Jokowi cerita kalau pedagang di sana ingin difasilitasi, ditata seperti rekan-rekan mereka di Solo. Mereka iri, katanya.

Dari obrolan demi obrolan, lalu sampailah pada ‘curhat’-nya mengenai apa yang sudah dilihat dan dirasakannya, setelah blusukan setiap akhir pekan.

Intinya, Pak Jokowi mencemaskan akan maraknya tawuran pelajar, hingga banyaknya remaja yang terjerumus dalam mata rantai perdagangan narkotika. Kampung Bali, Kampung Ambon, kawasan sekitar Cililitan/UKI pun disebutnya.

“Andai sistem transportasi massal bisa diwujudkan, saya yakin bukan hanya warga Jakarta yang bahagia, tapi juga warga kota-kota sekitarnya,” ujarnya.

Saya menyimak saja.

“Sederhananya begini. Bagaimana anak-anak tidak mencari pelarian di luar rumah, jika jiwa mereka kering. Berangkat sekolah tak bisa pamit karena orang tua sudah telanjur cari angkutan agar tak telat masuk kerja, pulangnya pun kelewat malam karena terjebak kemacetan.

Bagaimana mungkin orang tua masih bisa makan malam atau bercengkerama dengan anak-anak dan keluarga mereka, jika waktu sudah sedemikian banyak terbuang percuma.

Bukan hanya angkutan yang tak memadai, jalanan macet juga disebabkan semua orang berebut lahan untuk mencari makan. Pedagang kakilima memanfaatkan trotoar dan badan jalan untuk menggelar lapak usaha. Aneh saja, hingga tengah malam masih ada kemacetan di sepanjang Cililitan-Kramatjati. Padahal, mestinya pengguna jalan sudah jauh berkurang. Rupanya, jalan dipakai untuk berdagang. Coba, gimana orang mau tenang kalau ketemu situasi jalanan seperti itu?” ujarnya.

Pak Jokowi pun mengeluhkan kebanyakan kelas menengah di Jakarta dan kota-kota sekitarnya, yang setiap hari mengeluarkan dua-tiga mobil dari rumahnya lantas memenuhi jalanan Jakarta. “Apa tidak mungkin satu mobil dipakai beramai-ramai, sih?”

Sejenak saya merenungkan kata-katanya. Apa yang disampaikannya mungkin haanya persoalan sederhana, remeh temeh bagi sebagian orang. Tapi bagi Pak Jokowi, rupanya hal demikian sangat mengusik batinnya. Apa guna bekerja banting tulang tapi tak bisa menikmatinya bersama keluarga? Mungkin begitu yang berkecamuk di benaknya.

Makan malam bersama keluarga memang kelewat mewah di Jakarta. Kecuali akhir pekan, pun itu untuk keluarga mapan. Beda dengan kaum pekerja kebanyakan, apalagi yang hidupnya pas-pasan, bergulat dengan kerasnya persaingan, siang-malam, dan menahun.

Belakangan, saya jadi disadarkan. Untuk mengurus Jakarta, memang tak bisa sendirian. Konon, Jl. Jenderal Sudirman dan banyak ruas di sana, bukan semata-mata urusan Pemda DKI Jakarta, melainkan kewenangan pemerintah pusat. Jika benar demikian, alangkah repotnya mengelola sebuah jalan raya.

Menata Jakarta harus bersama dengan pemerintah kota sekitar: Bekasi, Depok, Bogor, dan Tangerang, juga pemerintah provinsi Jawa Barat dan Banten, serta pemerintah pusat. Maka, gagasan ada semacam kantor bersama yang diisi perwakilan semua kota akan memudahkan perencanaan penataan kawasan, juga menyelesaikan banyak persoalan. Ibaratnya, bisa membicarakannya setiap saat.

Benar juga apa yang dikatakan Pak Jokowi dalam debat kandidat di Metro TV, Minggu (16/9) malam lalu. Kemauan membuka ruang dialog, kemauan mendatangi pemerintah sekitar tanpa terbebani gengsi jabatan, bakal menjadi kunci pembuka ke arah perbaikan. Yang memenuhi Jakarta, sebagian adalah warga kota sekitar, selain pendatang temporer.

Jika kini banyak kelompok masyarakat dari beragam usia, latar belakang agama, suku dan daerah asal, yang berani secara terbuka mendukung dan (akan) memilihnya, akankah mereka akan bersama Jokowi/Basuki kelak di kemudian hari? Saya berani memastikan, Pak Jokowi merasa sangat berhutang budi kepada mereka yang rela mengampanyekan pencalonannya. Karena itu, dia akan membayar ‘hutangnya’ dengan cara memenuhi harapan mereka akan pembaruan Jakarta. Jakarta (yang) Baru, katanya.

Apakah kelas menengah yang sejak kemarin gigih membelanya tidak akan cerewet manakala ada proses permbangunan jalan dan sarana transportasi yang berakibat mengusik kenyamanan berkendaranya, walau untuk sementara waktu?

Akankah para buruh, pedagang kakilima, pedagang pasar, tukang ojek dan sopir-sopir bajaj akan konsisten menata diri, tampil lebih rapi dan bisa menjaga kerapian dan ketertiban lingkungan mereka ngetem, mencari nafkah?

Akankah para aktivis dan mahasiswa mau duduk bersama menyampaikan usulan atau berdiskusi atau berdialog (hingga gebrak-gebrakan meja, jika perlu) untuk mencari jalan keluar penyelesaian bersama?

Saya yakin, yang demikianlah yang dia harapkan, kelak, jika Tuhan menghendakinya memimpin DKI. Pak Jokowi pernah cerita, para pelaku kekerasan akan berkurang jika mereka punya kesempatan menata perekonomian keluarga mereka, dalam arti leluasa bekerja dan mencari nafkah. Kolusi dengan aparatur pemerintahan, munculnya premanisme, dan sejenisnya, sejatinya didorong oleh perjuangan eksistensi mereka.

“Asal mereka masih bau berbicara dengan saya, dengan aparatur negara, saya yakin tak ada persoalan yang tak bisa diselesaikan. Komunikasi itu penting, sebab itu membuka jalan ditemukannya solusi dari sebuah persoalan. Sama saja dengan kehidupan dalam sebuah keluarga. Selama masih ada komunikasi dan ruang bersosialisasi, harmoni pasti akan tercipta dengan sendirinya.

Begitu mimpi saya tentang Jakarta,” ujarnya.

Ini tulisan cross-posting. Beberapa paragraf tambahan ada di sebelah.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun