Mohon tunggu...
Blasius P. Purwa Atmaja
Blasius P. Purwa Atmaja Mohon Tunggu... Guru - Praktisi Pendidikan dan Pembelajar

Staf Pengajar di Yayasan TNH Kota Mojokerto. Kepala Sekolah SMP Taruna Nusa Harapan Kota Mojokerto. Kontributor Penulis Buku: Belajar Tanpa Jeda. Sedang membentuk Ritual Menulis. Email: blasius.tnh@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menciptakan Budaya Positif di Sekolah (1)

27 Oktober 2022   17:30 Diperbarui: 27 Oktober 2022   19:37 1017
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Koleksi Pribadi, Launching P5 di SMP TNH Kota Mojokerto

Budaya Positif adalah materi terakhir yang disajikan di antara tiga materi lain dalam modul 1 Program Pendidikan Guru Penggerak. Dalam rangka menciptakan budaya positif di sekolah, kita harus mempelajari dan menerapkan konsep-konsep inti seperti disiplin positif, motivasi perilaku manusia (hukuman dan penghargaan), posisi kontrol restitusi, keyakinan  sekolah/kelas, segitiga restitusi dan keterkaitannya dengan materi sebelumnya yaitu Filosofi Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara, Nilai dan Peran Guru Penggerak,  serta Visi Guru Penggerak.

Tulisan ini bagi saya pribadi merupakan cara untuk mengikat pemahaman yang sudah saya peroleh selama mempelajari Modul Guru Penggerak. Selama mempelajari materi ini saya merasa penasaran dan termotivasi karena banyak hal baru dan berbeda dengan konsep-konsep sebelumnya.

Dengan menuliskannya di Kompasiana saya berharap tulisan ini tidak hanya bermanfaat untuk saya tetapi juga bagi para kompasianer yang lain. Syukur jika mampu memberikan sumbangsih dalam dunia pendidikan, minimal di sekolah saya. Setiap kali memperoleh hal baru saya selalu mencoba menerapkannya di dalam kelas. Selain itu, dalam pelatihan ini saya juga merasa kompetensi saya dalam hal pembelajaran selalu diupgrade setiap saat.

Kembali lagi ke masalah budaya positif yang baru saja saya pelajari. Bukan merupakan hal yang mudah untuk menyerap dan memahami berbagai konsep tentang budaya positif. Hal ini karena sejak masa sekolah hingga menjalani tugas sebagai guru kita telah melihat, mendengar, merasakan, dan mengalami penerapan konsep-konsep yang berbeda atau bahkan bertolak belakang dengan konsep yang ditawarkan dalam pendidikan guru penggerak ini. Dalam tulisan ini akan dijabarkan berbagai konsep yang relatif baru dan mendekonstruksi konsep-konsep lama yang selama ini dipahami dan dilaksanakan oleh para guru. Satu contoh kecil yang bertolak belakang dengan konsep  yang telah kita pahami sebelumnya adalah tentang reward and punishment.

Hukuman dan Penghargaan

Selama ini kita menganggap bahwa pemberian reward and punishment (penghargaan dan hukuman) dalam dunia pendidikan adalah sesuatu yang wajar dilakukan. Itu adalah bagian dari upaya untuk mengontrol atau mendisiplinkan perilaku anak. Namun demikian, konsep dalam modul guru penggerak ini berbeda. Hukuman yang diberikan oleh guru dalam pendidikan akan memberikan kesan negatif dalam diri anak dan itu sangat menyakitkan serta berlaku jangka panjang. Hukuman justru akan menimbulkan dendam dan penolakan. Jangankan bisa memotivasi, mengubah sedikit perilaku pun susah. Kadang dengan adanya pemberian hukuman, perilaku murid atau orang yang terkena hukuman akan semakin menjadi-jadi dan agresif.

Hukuman bahkan tidak akan mempan jika murid tidak memiliki rasa takut. Selain itu, hukuman hanya berlaku di sekolah dan tidak berdampak dalam kehidupan nyata. Dengan hukuman, anak akan memiliki konsep diri yang negatif dan bahkan mereka akan berusaha menutupi kesalahan agar tidak terkena hukuman.

Demikian juga dengan reward atau penghargaan. Selama ini kita mengira bahwa dengan sebuah penghargaan akan dapat memotivasi anak untuk terus berprestasi dan memunculkan perilaku baik. Akan tetapi, pemberian penghargaan ternyata kadang justru membuat murid mengalami ketergantungan. Mereka akan belajar atau termotivasi untuk berprestasi hanya ketika mendapatkan penghargaan. Jadi motivasi yang timbul sifatnya sementara.

Bagi murid-murid yang mengalami kegagalan dalam mendapatkan penghargaan, mereka mungkin akan berpendapat bahwa mereka memang tidak mampu. Ketika di lain waktu ada kesempatan lain untuk mencoba meskipun sudah diiming-imingi dengan hadiah atau penghargaan tetap saja mereka tidak tertarik mencoba. Jika kita sering memberikan hadiah atau penghargaan, orang akan beranggapan bahwa itu merupakan kewajiban kita. Tanpa penghargaan orang tidak akan tergerak melakukan sesuatu. Bahkan ada sebuah ungkapan bahwa penghargaan menghukum. Ini terjadi misalnya dalam kasus sistem ranking. Orang yang menjadi runner up akan menjadi pihak yang paling terhukum.

Keyakinan Kelas dan Keyakinan Sekolah

Kalau reward and punishment tidak cukup efektif untuk membangkitkan motivasi seseorang, lalu hal apakah yang lebih berhasil guna untuk membangkitkan motivasi? Jawabannya adalah keyakinan tentang nilai-nilai kebajikan yang sifatnya universal. Ketika ada orang bertanya, "Mengapa Anda tidak merokok?"; "Mengapa Anda tidak mengonsumsi miras?"; "Mengapa Anda harus memakai masker?" Jika Anda menjawab alasan utama untuk menjaga kesehatan dan bukan hanya sekadar untuk mematuhi peraturan, saat itulah Anda sudah menunjukkan keyakinan atau nilai kebajikan yang Anda percayai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun