Pendidikan Guru Penggerak. Cemas tidak bisa mengikuti dengan baik. Khawatir dengan manajemen waktu karena masih harus tetap melaksanakan tugas mengajar dan banyak lagi kekhawatiran yang saya alami.
Mengawali sesuatu yang baru selalu menimbulkan kecemasan, kekhawatiran, ketakutan, dan lain-lain. Hal itu pula yang terjadi ketika saya mulai proses mendaftar, menunggu pengumuman, hingga mengawaliNamun kekhawatiran itu mulai pudar ketika pertama kali bergabung dengan kelas video conferece dengan fasilitator. Ternyata fasilitator saya, Pak Sovfan, sabar membimbing kami. Keberanian pun secara perlahan mulai muncul. Misalnya, ketika harus mengemukakan pendapat, refleksi, dan lain-lain. Hal itu tidak saya dapatkan ketika ikut pelatihan massal yang dulu sering saya ikuti.
Dalam hal materi pembelajaran yang saya peroleh, ketika pertama membahas berbagai pemikiran Ki Hajar Dewantara, saya seolah-olah merasa seperti sedang masuk dan menjadi bagian dari Perguruan Tamansiswa. Terlebih lagi dengan sapaan Salam dan Bahagia. Benar-benar terasa sekali Tamansiswa-nya.Â
Saya sempat berpikir, jangan-jangan Mas Menteri Nadiem dulunya lulusan Tamansiswa. Akan tetapi, setelah mulai bergelut dan mendalami pemikiran Ki Hajar Dewantara, saya akhirnya mengagumi buah pikiran Ki Hajar Dewantara. Ternyata dari negara kita sendiri sudah muncul pemikiran yang luar biasa tentang pendidikan.Â
Bahkan, sejak sebelum bangsa Indonesia merdeka. Dari pemikiran Ki Hajar Dewantara ini, kita belajar menjadi manusia merdeka. Merdeka berpikir, merdeka berpendapat, merdeka dalam mencari ilmu pengetahuan dan merdeka mempertahankan budaya.
Di dalam kelas daring selama dua minggu ini, saya juga banyak mengalami hal-hal baru yang tidak saya dapatkan di sekolah saya. Banyak sekali pengalaman baik dari sekolah-sekolah lain yang sangat inspiratif dan sangat mungkin untuk diterapkan di sekolah saya.Â
Dalam proses diskusi yang berlangsung di semua video conference, para guru di kelas maya ini sungguh-sungguh memancing saya untuk ikut terlibat aktif berpendapat. Kalau ikut diklat offline, kita biasanya tidak mungkin seaktif ini.
Ada satu pengalaman yang membuat saya ragu-ragu, yaitu ketika berada di kelompok kecil Ruang Kolaborasi dan membicarakan tentang budaya daerah dan sosio-kultural. Ketika berusaha menjawab pertanyaan di Ruang Kolaborasi tersebut sebenarnya saya agak khawatir karena takut tidak bisa memberi jawaban secara akurat.Â
Namun, fasilitator menegaskan kepada kami bahwa tidak ada jawaban yang salah. Jadi, jangan takut salah. Selain itu, saya juga berdiskusi dengan dua guru lain yang merupakan anggota kelompok Ruang Kolaborasi sehingga soal yang awalnya terasa sulit dijawab akhirnya secara perlahan dapat dijawab.
Ternyata dalam menghadapi hambatan tersebut dukungan guru atau fasilitator sangat penting. Apabila di kelas sebagai pendidik bisa memberikan kenyamanan seperti itu saya yakin para murid akan bisa berkreasi dan melakukan inovasi tanpa terbebani. Akhirnya, saya merasa bersyukur dan bangga menjadi bagian dari pendidikan guru penggerak ini. Jika langkah perubahan ini bisa ditularkan dan dirasakan oleh banyak guru, saya yakin, pendidikan di Indonesia akan mengalami transformasi.
Pembelajaran yang saya peroleh selama dua minggu mengikuti PGP ini adalah saya menjadi sadar bahwa selama menjadi guru saya masih memiliki banyak kekurangan. Agaknya selama ini saya terlalu berfokus pada pembelajaran kognitif.Â