Mohon tunggu...
Bambang Kuncoro
Bambang Kuncoro Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Wisdom. URL https://www.kompasiana.com/bkuncoro

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ibu Melawan Dunia

4 Desember 2020   22:21 Diperbarui: 4 Desember 2020   22:32 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

--Your strength reside forever on my subconscious--

Selama masa pandemi dan PSBB ini banyak orang yang berkurang atau kehilangan penghasilan. Tiba-tiba banyak keluarga yang terpuruk berantakan.  Ayah, ibu, bahkan para remaja stress, depressi, dan putus asa. Mirisnya malah ada yang mengakhiri hidupnya. Demikian pula diluar lingkungan keluarga, terjadi peningkatan angka kriminalitas.  Situasi ini benar-benar penuh dengan kesulitan hidup.

Bahkan baru beberapa minggu lalu kita terhenyak lagi dibombardir berita dari berbagai media, seorang ibu muda bunuh diri, dengan terlebih dahulu meracun 3 anaknya yang masih kecil (namun 1 anak umur 6 bulan sempat diselamatkan).  Penyebab utamanya adalah masalah ekonomi dan keluarga.  Masalah ekonomi menjadi awal pemicu masalah-masalah lain.

Berita ini dan berita lain serupa, tak ayal membuat saya merefleksi bagaimana dahulu kala Ibu dan kami bisa berhasil menyintas hingga saat ini.  Sepanjang ingatan, Ibu saya adalah sumber kekuatan dan akal panjang yang tiada habisnya.

Kala itu, Ibu adalah orang tua tunggal dengan 3 anak yang semuanya masih balita.  Sekarang bila saya membayangkan betapa berat perjuangan ibu waktu itu, sendirian mengurus dan membesarkan 3 orang anak, mungkin saya sendiri bisa menyerah.

Sebagai sumber penghasilan, Ibu menjadi guru di sekolah kejuruan keputrian.  Saat awal-awal Ibu menjadi orang tua tunggal, tidak banyak yang saya ingat, karena saya masih terlampau kecil. Tapi salah satu yang masih tertancap kuat dalam ingatan saya, adalah betapa lelahnya Ibu ketika pulang sore dari mengajar. Saya lihat wajah ibu yang kuyu menuntun sepedanya dari pagar hingga masuk rumah. Namun ketika bertemu kami, Ibu berusaha menunjukkan wajah gembira. Dan masih banyak cerita lainnya yang menunjukkan betapa tegarnya Ibu dalam membesarkan kami bertiga.

Kenyataannya, Ibu berhasil menyekolahkan ketiga anaknya sampai Sarjana, bahkan ada yang sampai S3.

Lalu mengapa terjadi perbedaan situasi perjuangan seorang ibu ketika itu dengan saat pandemi sekarang?  Beberapa pakar sosiologi, psikologi  bahkan rohaniawan sudah mencoba menjelaskan fenomena ini.

Ada yang menjabarkan bahwa dalam masa pandemi dituntut kematangan emosi untuk dapat merasakan 'melewati' saat pandemi, dan menyadari bahwa situasinya tidak permanen (pendekatan Kecerdasan Emosional, EQ Emotional Quotient). 

Ada juga yang menganalisa bahwa untuk dapat mengarungi badai pandemi diperlukan pegangan keimanan yang sifatnya meliputi dan 'di atas' (beyond) kehidupan sekarang (pendekatan Kecerdasan Spiritual, SQ). Bahkan ada yang percaya bahwa untuk dapat melewati cobaan hidup ini diperlukan Kecerdasaan Intelektual/Akademis yang memadai (pendekatan Kecerdasan Intelektual, IQ).  
 
Apakah itu artinya, orang yang pandai, mempunyai IQ tinggi, bakal lebih sukses melewati gejolak masa pandemi, (ataupun tantangan hidup lain)?  Kenyataannya ada orang yang pandai justru gagal melewati beratnya cobaan hidup.  IQ tinggi belum menjamin kesuksesan hidup. Atau jika di balik, banyak orang yang sukses ternyata tidak ber IQ tinggi.  

Demikian pula dengan konsep kecerdasan EQ dan SQ, belum bisa menjawab secara utuh dan spesifik fenomena banyaknya warga yang 'tumbang' pada saat pandemi ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun