Mohon tunggu...
Birgita Olimphia Nelsye
Birgita Olimphia Nelsye Mohon Tunggu... Desainer - Sambangi isi pikiranku.

Hakikat hidup adalah belajar.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Kelangkaan Harimau Sumatera

6 April 2017   18:28 Diperbarui: 10 April 2017   20:00 3865
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

            Kerusakan atau ancaman yang paling besar terhadap hutan di Indonesia adalah penebangan liar (illegal loging), alih fungsi hutan menjadi perkebunan, kebakaran hutan dan eksploitasi hutan secara tidak lestari baik untuk pengembangan pemukiman, industri, maupun akibat perambahan. Sebagian besar kawasan yang ditinggali harimau Sumatera (hutan dataran rendah, lahan gambut, dan hutan hujan pegunungan) ini terancam pembukaanhutan untuk lahan pertanian dan perkebunan komersial, juga perambahan oleh aktivitas pembalakan dan pembangunan jalan (www.wwf.or.id). Kesemuanya tersebut jika disimpulkan adalah untuk kepentingan manusia.

            Kondisi hutan di Indonesia semakin diperparah oleh adanya korporasi yang melakukan alih fungsi lahan menjadi perkebunan sawit. Indonesia sendiri tercatat sebagai produsen dan eksportir minyak kelapa sawit terbesar di dunia (Indonesia Investment, 22 Maret 2017). Hal ini kerap dikaitkan dengan deforestasi dan pembakaran hutan gambut yang sering terjadi di wilayah Kalimantan dan Sumatera.

            Tingginya nilai ekonomi atas hasil hutan semakin memperkuat eksistensi masyarakat dan pengusaha untuk semakin giat melakukan pengelolaan atas hasil hutan. Terlebih karena keuntungan finansial yang diperoleh dari penebangan liar lebih besar daripada penebangan legal (Tacconi, dkk, 2004: 11). Hal ini karena penebangan legal akan dikenakan pajak dan biaya operasional, sedangkan penebangan liar tidak. Pada tingkat kelembagaan, ada bukti bahwa pejabat pemerintah daerah dalam banyak hal mendukung aktivitas penebangan untuk meningkatkan pendapatan lokal dan bahkan 'melegalkan' penebangan liar dalam rangka mendapatkan pendapatan itu (Casson dalamTacconi, dkk, 2004: 10). Konversi hutan ke perkebunan sawit ini sayangnya telah berhasil menyelamatkan perekonomian petani kecil. Sehingga dukungan konversi ke lahan sawit semakin bertambah tinggi.

            Sebagai hewan pemangsa utama (top predator), harimau memerlukan wilayah habitat yang luas supaya dapat hidup dan berkembang biak. Kondisi saat ini mencerminkan bagaimana Harimau Sumatera terusir dari rumah mereka sendiri karena keserakahan manusia. Akibat berkurangnya hutan, timbullah beberapa kasus seperti kelangkaan harimau, kasus harimau menyerang ternak, menyerang lahan pertanian dan perkebunan, melukai masyarakat, atau harimau yang dibunuh karena memasuki kawasan pemukiman warga. Hal ini cukup menggambarkan ketidakcocokan antara ekonomi dan ekologi.

            Tahap kedua terjadi ketika aksi-aksi lingkungan dominan menggunakan pendekatan regulasi (Buhr dan Reiter, 2006: 3). WWF Indonesia dalam hal ini bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia, industri yang mengancam habitat harimau, organisasi konservasi lainnya serta masyarakat lokal untuk menyelamatkan harimau Sumatera dari kepunahan. Komitmen yang muncul adalah upaya WWF untuk melakukan pemantauan populasi dan menjaga populasi harimau yang ada sekarang.

            Aksi WWF Indonesia dengan pendekatan regulasi ini dilakukan melalui kampanye fundraising #DoubleTigers. WWF membuat 371 anak harimau dalam bentuk Papier Mache atau replika harimau yang terbuat dari kertas bekas sebagai pesan untuk meningkatkan kesadaran tentang hubungan antara satwa, manusia, dan alam. Aksi ini menunjukkan bahwa rasa sayang terhadap satwa liar tidak harus dilakukan dengan memelihara atau memilikinya. Melainkan, membiarkan satwa itu hidup bebas merupakan tindakan bijaksana untuk mendukung upaya pelestariannya.

            Donasi dilakukan dengan mengadopsi “Tiger Papier Mache”. Satu buah Tiger Papier Mache ini dihargai Rp3.710.000. Donasi tersebut nantinya digunakan untuk membeli 1 buah kamera penjebak seharga Rp2.000.000, 1 buah sepatu boot dan 1 tas ransel bagi pekerja lapangan seharga Rp500.000, dan 1 set perlengkapan ranger (seragam, sepatu boot, topi, jas hujan, tas, matras, dan tenda) seharga Rp3.000.000. Peralatan kamera jebak (camera trap) tersebut berguna untuk memperkirakan jumlah populasi, habitat, dan distribusi Harimau Sumatera di Sumatera Tengah. Kemudian agar dapat mengidentifikasi koridor satwa liar yang membutuhkan perlindungan baik berupa penindakan perburuan sesuai regulasi yang ada, penyelamatan dari jerat harimau, dan lain sebagainya.

            Tahap ketiga, adalah melakukan normalisasi budaya sebagai focus lingkungan dan integrasi mereka dengan pola pemikiran ideologis (Buhr dan Reiter, 2006: 3). Hal ini nampak dalam usaha yang dilakukan WWF dengan menggandeng para public figure yang memiliki kepedulian terhadap lingkungan hidup untuk bergabung dalam "The Roarers". Mereka menggaungkan kampanye #DoubleTigers untuk pelestarian harimau Sumatera. Figur publik tersebut antara lain Nugie, Nadine Chandrawinata, Marcel Chandrawinata, Daniel Mananta, Ayu Dewi, Wulan Guritno, Shandy Aulia, Winky Wiryawan dan Kenes Andari, Chicco Jerikho, Arifin Putra, Melly Goeslaw, dan Ruben Onsu.

figure-public-58e61d5bc823bd7d1e1687ae.jpg
figure-public-58e61d5bc823bd7d1e1687ae.jpg
            Menurut Rice dan Paisley kampanye adalah keinginan seseorang untuk mempengaruhi opini individu dan publik, kepercayaan, tingkah laku, minat, serta keinginan audiensi dengan daya tarik komunikator yang sekaligus komunikatif (Setianti, 2007: 1). Maka, kampanye seringkali menyangkut soal pengarahan, pemerkuatan dan penggerakan kecenderungan yang ada ke arah tujuan yang diperkenankan secara sosial. Oleh karena itu, WWF mengandalkan sumber atau aktor yang sangat kredibel sebagai juru bicara untuk mengarahkan perilaku masyarakat sesuai pesan mereka.

            Proses selanjutnya adalah normalisasi budaya. Normalisasi budaya nampak dalam pesan aktor-aktor tersebut untuk mengurangi penggunaan kertas, dan memperhatikan produk minyak sawit yang dibeli apakah ramah lingkungan atau tidak. Normalisasi budaya ini kemudian diintegrasikan dengan ide atau gagasan kelestarian harimau Sumatera.

            Kampanye menggunakan interaksi simbolis, artinya ia mengoperasikan simbol-simbolatau lambang-lambang komunikasi yang mempunyai makna tertentu dalam berkampanye. Lambang komunikasi itu sendiri bisa berupa bahasa, baik tulisan maupunlisan, tanda (sign), gambar-gambar, isyarat tertentu yang telah dirumuskan sedemikianrupa sehingga dapat menarik perhatian sekaligus berpengaruh terhadap pesan yangdisampaikan dan pada akhirnya akan menimbulkan efek atau hasil sesuai yang telah direncanakan oleh komunikator. Dengan lambang-lambang tersebut komunikan termotivasi untuk melakukan sesuatu dengan senang hati apa yang dimaksudkan oleh komunikator (Setianti, 2007: 2).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun