Mohon tunggu...
Bintang Pratama Wijaya
Bintang Pratama Wijaya Mohon Tunggu... -

Pecinta sepakbola, musik dan film

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bajakan

22 Januari 2018   19:38 Diperbarui: 23 Januari 2018   17:18 739
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di Negara ini, siapa yang tidak pernah membeli barang bajakan? Hampir semua orang dalam hidupnya pernah mengonsumsi barang atau produk palsu. Contoh paling dekat dan sederhana yaitu rilisan game era PS atau PS 2 (re: playstation) yang kebanyakan tidak original dan film bajakan. (Menonton streaming dan mengunduh lagu di situs ilegal juga merupakan hal yang sama tidak baiknya meskipun tidak berbentuk fisik).

Dalam film misalnya, cara yang paling sederhana dan legal adalah menonton langsung di bioskop. Namun, tidak semua film ini akan lulus sensor lalu masuk ke Indonesia. Rendahnya daya beli manusia serta matinya rental penyewaan rilisan original membuat 'kebutuhan' akan rilisan bajakan meningkat signifikan. Ditambah keinginan menonton dalam keterbatasan berbahasa asing membuat hal ini 'maklum' terjadi. Tentu tidak semua orang Indonesia mampu berbahasa Inggris,kan? Memang lebih nyaman menonton itu dengan terjemahan bahasa nenek moyang kita, bukan?

Mengapa bajakan bisa merajalela? Karena manusia 'dipaksa' rasa ingin untuk mencapai level tertentu, kemampuan ekonomi yang terbatas, minimnya pilihan baik, rendahnya kesadaran dan pengetahuan akan pentingnya hak cipta.

Saya percaya bahwa bajakan itu mustahil dihilangkan tetapi sangat bisa dilawan dan dikalahkan. 

Lalu bagaimana cara mengalahkan produk bajakan? Dalam kasus produk pakaian, brand lokal mungkin bisa mendukung musisi atau band yang sedang digandrungi anak muda, marketing gimmick atau strategi penjualan dengan harga yang ramah terhadap kantung calon pembeli.

Untuk produk film; cara sederhananya menonton di bioskop atau menonton di aplikasi berbayar yang legal seperti Iflix atau Hooq yang sudah ada terjemahan bahasa Indonesianya (come on, Netflix!) dengan biaya rata-rata di bawah Rp. 100.000/bulan.

Untuk produk musik; kita bisa membeli rilisan fisik musisi atau band yang ingin kita dengar secara legal atau mendengarkan secara digital di media berbayar seperti Spotify, Joox dan lain-lain. Dengan harga yang bersahabat tetapi legal. 

Saya tidak akan meneriakkan anti-pembajakan, karena saya enggan munafik dalam beberapa tahun terakhir saya masih menonton streaming ilegal atau membeli film bajakan. Karena saya tidak punya pilihan yang baik saat itu. Sejak tahun 2016 ketika saya membuat film pendek dan menulis, saya mulai belajar menghargai hak cipta. 

Saya tidak ingin 'karma' itu terjadi pada diri saya nanti. Apabila saya punya karya akan dibajak atau dinikmati secara ilegal oleh orang lain. Saya mulai mengasah lagi kemampuan grammar dan memperkaya vocabulary bahasa Inggris untuk bisa menonton serta menikmati film yang saya suka di Netflix. Saya membeli rilisan fisik musisi yang saya suka atau mendengarkan secara legal di media digital berbayar. 

Memang proses ini tidak mudah dan sebentar. Saya pun masih terus belajar sampai hari ini. Tetapi kita bisa mulai pelan-pelan dari hal yang murah dan sederhana. Sekarang kita punya lebih banyak pilihan baik untuk menghargai karya orang lain. Kembali ke masing-masing, ingin memilih yang mana. Saya pribadi sih takut karma. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun