Mohon tunggu...
Lingga Binangkit
Lingga Binangkit Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Akuntansi yang masih berusaha menyelesaikan skripsinya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jangan Percaya Bakat

19 Desember 2011   14:51 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:03 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

“Halah, dia nyanyinya bisa bagus gitu karena emang bakatnya sejak lahir kali”

Kalimat ini atau sejenisnya seringkali saya jumpai di keseharian saya. Ketika menonton teater, pertunjukan musik, atau pemutaran film, seringkali artis yang menjadi fokus utama pertunjukan tadi dipuja-puja karena dipercaya memiliki bakat. Bagi saya, makna pujian seperti ini mencetuskan bahwa setiap manusia sejak dia lahir dianggap telah memiliki bakat, talenta, atau apapun istilahnya yang membedakan dirinya menjadi istimewa dan berbeda dengan yang lain. Bakat seolah-olah menjadi hadiah Tuhan yang sudah ada dalam diri manusia dan sebagai orang yang “mujur”, kita yang mendapatkannya tinggal memakainya saja. Namun apakah memang semudah itu menggunakan hadiah Tuhan yang disebut dengan bakat?

Sebagai pengantar, saya berikan kisah tentang salah satu komponis musik terbesar di dunia: Mozart. Mozart dikenal sebagai salah satu komponis klasik Eropa yang gubahan-gubahan karyanya diakui sebagai yang terbaik kala itu. Mozart kecil telah mampu memainkan piano di usia empat tahun, menciptakan lirik musiknya sendiri di umur lima tahun, dan melakukan tur music keliling Eropa di usia enam tahun. Sampai disini mungkin Anda akan menyangka bahwa itu memang bakat Mozart, namun apakah memang semudah itu Mozart menampilkan bakatnya? Di dalam catatan-catatan kuno tertulis bahwa Mozart kecil memang telah dididik menjadi komposer musik oleh ayahnya, Leopold Mozart. Jam latihan Mozart kecil tidak tanggung-tanggung, mencapai 3500 jam latihan atau sekitar10 jam latihan per hari ketika Mozart kecil baru menginjak usia tiga tahun!

Hal serupa juga banyak ditemukan pada orang-orang besar lainnya seperti Bill Gates si pencipta Microsoft yang telah belajar pemrograman komputer ketika dia masih duduk di sekolah dasar dan bahkan berhasil meng-hack sistem komputer sekolahnya, ataupun mungkin Thomas Alfa Edison yang berhasil menemukan lampu pijar setelah dia melakukan 8000 kali percobaan yang gagal, bahkan pernah hingga labolatoriumnya sampai terbakar.

Dari sini dapat kita terka bahwa manusia dengan keistimewaan luar biasa bukanlah karena bawaan lahiriah semata namun dibentuk melalui latihan dan kerja keras. Memang saat ini banyak sekali bentuk pencarian bakat yang bahkan dikomersilkan untuk mencari bakat terbaik seseorang. Dari sekedar membaca sidik jari , menjawab pertanyaan-pertanyaan unik melalui komputer hingga menghubung-hubungkan dengan horoskop atau shio tertentu, semuanya demi mendapatkan jawaban yang pas atas bakat apa yang dimilikinya. Andaikan saja, saya mengikuti tes dan hasilnya saya berbakat dalam bernyanyi,apakah lantas saya otomatis menjadi pemusik besar dan terkenal? Dengan porsi latihan yang biasa saja, saya yakin itu tak akan tercapai.

Sekali lagi, bakat dibentuk oleh manusia itu sendiri dan elemen-elemen lingkungan di sekitarnya yang dilalui dengan kerja keras. Bakat bukanlah pemberian Tuhan yang dengan mudahnya dapat kita tampilkan keistimewaannya, melainkan bakat harus terus-menerus diasah (dengan berlatih) agar dapat digunakan. Kerja keras dan latihan terus-menerus akan menghasilkan kekuatan baru yang membuat manusia tadi memiliki keistimewaan tertentu yang kemudian disebut bakat dan menjadi pembeda kualitas seseorang dengan manusia lainnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun