Mohon tunggu...
Bimo
Bimo Mohon Tunggu... -

awam

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengenang Ali Sastroamidjojo (1)

16 Februari 2014   01:17 Diperbarui: 4 April 2017   16:32 467
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di Grabag Merbabu, Magelang, Jawa Tengah pada 21 Mei 1903, pasutri R. Ng. Sastroamidjojo dan Kustiah dikaruniai anak dan memberinya nama Ali Sastroamidjojo. Demi masa depan yang benderang, pasutri itu menyekolahkan Ali di institusi pendidikan milik pemerintah kolonial. Kedua orang tua Ali beranggapan, bahwa lingkungan sekolah Belanda merupakan jenjang yang tidak boleh disia-siakan oleh keturunannya, selama ekonomi keluarga masih mampu untuk membiayai.

Waktu terus berjalan. Ketertarikan Ali di dunia politik mulai tampak ketika duduk di H.B.S di Jakarta. Maraknya kemunculan kelompok pemuda terpelajar pribumi yang bersifat kedaerahan, membuat dirinya berminat untuk terjun pula. Jong Java, adalah organisasi agak besar pertama yang dia geluti. Setelah itu, kedewasaan Ali mulai bicara. Dia turut mempelopori dirintisnya Indlandse H.B.S. Vereniging,yaitu suatu organisasi pelajar pribumi H.B.S. yang bertujuan untuk menangkal perselisihan antara berbagai kelompok pelajar yang ada. Seperti misalkan Jong Ambon,Jong Minahasa, Jong Sumatra dll. Dia setuju bahwa harus ada satu kelompok pelajar pemersatu di antara heterogenitas suku teman-teman di sekitarnya.

Di kala remaja, Ali senang sekali mendengar Alimin beretorika dihadapannya, tokoh SI terkemuka saat itu. Gagasan-gagasan Alimin yang bercita-cita mewujudkan persatuan bangsa di bawah naungan panji-panji Islam, membuat telinga Ali tidak pernah jenuh. Ditambah lagi, cara Alimin berbicara yang berapi-api menggelora. Lontaran pemikiran Alimin membuat Ali semakin semangat mempelajari politik lebih jauh, dan sadar bahwa akan ada hari yang cerah bagi tanah airnya jika perjuangan tidak berhenti dilakukan. Bahkan, beberapa kali Ali menyempatkan diri untuk menontonsidang Volksraad yang dibuka untuk umum. Di dalam perjalanan pulang, Ali selalu dirundung kekecewaan melihat aktivis disana tidak ada yang seberani dan berbicara sebaik Alimin. Ali juga selalu mengurungkan niatnya untuk berdiskusi politik dengan kakak kandungnya yang kebetulan anggota Volksraad. Sebabnya ialah, pernah suatu hari kakaknya itu marah karena mengetahui Ali bergabung dengan Jong Java. Kakaknya menilai bahwa tugas utama pelajar adalah menuntut ilmu, pelajar bau kencur tidak perlu tahu politik yang merupakan ranah orang dewasa. Sehabis itu, Ali berkesimpulan bahwa kakaknya bukan teman diskusi politik yang baik. Bahkan mungkin akan kalap jika Ali menceritakan kedekatannya dengan Alimin.

Lulus dari H.B.S., Ali berkesempatan untuk melanjutkan sekolah hukum di Leiden, Belanda. Daerah itu terkenal akan ramainya mahasiswa perantau dari Hindia Belanda. Ali gembira sekali ketika keluarganya berusaha semaksimal mungkin agar dirinya dapat melanjutkan studi di Belanda. Memang, kala itu sekolah ke negeri Belanda merupakan dambaan sebagian besar pelajar Indonesia. Ali terbantu mendapatkan beasiswa karena nilai-nilai semasa di H.B.S. tergolong bagus, sehingga keluarganya tidak terlalu berat menanggung biaya hidup Ali selama merantau di negeri asing.

Seperti yang diketahui sebelumya, Ali Sastroamidjojo ialah pemuda yang tidak puas jika kegiatan sehari-harinya hanya diisi oleh kesibukan akademik. Oleh sebab itu, Ali kembali menerjunkan diri ke suatu kelompok yang bersifat politik. Perhimpunan Indonesia (PI) ialah suatu organisasi yang memayungi pelajar-pelajar Hindia Belanda yang progresif, dan tanpa pikir panjang Ali memutuskan untuk bergabung.

Achmad Soebardjo, Mohammad Hatta, Soekiman Wirjosandjojo, Iwa Kusumasumantri, Iskaq Tjokroadisoerjo, Nazir Pamuntjak, Sartono dan beberapa orang lainnya yang suatu hari nanti menjadi tokoh-tokoh sentral perjuangan Hindia Belanda di tanah air itu, sangat mempengaruhi Ali dalam pendewasaan pola pikirnya. Sebetulnya, kala itu Ali sangat kaget ketika PI ternyata merupakan suatu organisasi yang begitu progresif dalam memperjuangkan kemerdekaan kampung halamannya. Dia tidak pernah berpikir seperti itu sebelumnya, karena aktivitas politik yang dilakukan senior-seniornya di PI dinilai cenderung ekstrim jika dilakukan di kandang buaya. Setelah paham akan segala agenda PI, Ali tidak menjadi takut, tetapi justru semakin berani penuh semangat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun