Salah satu ensiklik Gereja Katolik yang terkait dengan Moderasi Beragama adalah Enseklik Fratelli Tutti (Saudara Sekalian). Ensiklik ini dikeluarkan oleh Paus Fransiskus pada tanggal 03 Oktober tahun 2020 di Asisi tempat kelahiran Santo Fransiskus. Melalui Ensiklik Fratelli Tutti paus Fransiskus menyampaikan bahwa sebagai mahluk ciptaan manusia yang paling luhur, manusia harus mementingkan menjalin hubungan persaudaraan dan persahabatan sosial tanpa memandang perbedaan agama.
Terinsipirasi dari Perumpamaan "orang Samaria yang murah hati" (Lukas 10:25-37), Paus menyampaikan bahwa kita harus bertanggung jawab untuk membangun jembatan kasih untuk menghadapi dunia/masyarakat yang tidak sehat. Dalam perumpamaan orang samaria yang baik hati, Yesus menceritakan kisah tentang seseorang yang dirampok dan terluka, tetapi banyak orang yang melihat orang yang dirampok itu namun mereka tidak memberikan pertolongan mereka terus berjalan tanpa berhenti karena mereka tidak ada kasih untuk kebaikan bersama. Mereka tidak dapat meluangkan beberapa menit untuk membantu orang yang terluka atau setidaknya mencari bantuan. Hanya satu orang yang berhenti, mendekatinya, merawatnya dengan tangannya sendiri yaitu orang Samaria. Orang Samaria adalah keturunan dari campuran bangsa Israel dengan bangsa-bangsa lain, dalam keyakinan dan prakatek keagamaan mereka berbeda dengan orang Yahudi sehingga menyababkan permusuhan dan ketegangan Orang Yahudi menganggap orang Samaria sebagai orang yang tidak murni secara agama dan budaya, sehingga mereka seringkali dijauhi dan direndahkan.
Perumpamaan ini ingin menyampaikan pesan bahwa kasih dan kebaikan tidak mengenal batasan etnis, agama, atau sosial. Orang Samaria, yang dianggap rendah oleh orang Yahudi, justru menjadi contoh tentang bagaimana seharusnya seorang manusia bersikap terhadap sesamanya, yaitu dengan penuh kasih dan kepedulian. Orang Samaria dalam perumpamaan ini adalah representasi dari orang-orang yang seringkali dianggap berbeda atau rendah oleh masyarakat. Namun, melalui perumpamaan ini, Yesus ingin menunjukkan bahwa nilai-nilai kemanusiaan dan kasih sayang dapat ditemukan dalam diri siapa pun, tanpa memandang latar belakang atau identitasnya.
Relevansi dengan Moderasi BeragamaÂ
Melaui perumpamaan "orang Samaria yang baik hati" kita belajar bagaimana kita harus memberikan kasih dan kepedulian tanpa batasan identitas, termasuk agama, dalam hidup beragama kita harus menunjukkan kebaikan kepada siapa saja, tanpa memandang pebedaan agama, suku atau kelompok. Dalam moderasi beragama harus menjadi penekanan bahwa membangun interaksi dan bekerjasama dengan orang-orang yang berbeda keyakinan. Â Menjalankan praktek hidup beragama harus mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan universal demi terciptanya bonum commune, seperti kasih sayang, toleransi dan keadilan. Permumpamaan "orang Samaria yang baik hati" juga menekankan bahwa untuk memberikan kasih dan kepedulian kepada orang lain harus melawan sikap prasangka dan diskriminasi sebagai panghalang, sama halnya untuk melaksanakan praktek moderasi beragama kita harus melawan segala bentuk prasangka dan diskriminasi yang berbasis pada perbedaan agama. Yang paling penting dari sikap orang Samaria yang bisa kita teladani adalah sikap empati terhadap penderitaan orang, dalam praktek Moderasi Bergamam juga harus mengembangkan sikap empati.
Perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati adalah contoh yang sangat baik tentang bagaimana nilai-nilai moderasi beragama dapat diwujudkan dalam tindakan nyata. Kisah ini mengajarkan kita untuk melampaui batasan identitas, mengutamakan kemanusiaan, menentang prasangka dan diskriminasi, serta mengembangkan sikap empati terhadap orang lain. Dengan demikian, kita dapat membangun masyarakat yang lebih harmonis dan damai, di mana perbedaan agama tidak lagi menjadi penghalang untuk saling bekerja sama dan tolong-menolong.
Visi dari dunia yang terbuka.
Dalam bab III, Paus mendorong kita untuk pergi "'keluar' diri sendiri" untuk menemukan "eksistensi lebih penuh dalam diri orang lain", dengan membuka diri terhadap yang lain sesuai dengan dinamika cinta kasih yang membuat kita terarah kepada "kepenuhan universal". Hidup rohani seseorang diukur dengan cinta kasih, yang selalu "menempati tempat pertama" dan menuntun kita untuk mencari apa yang lebih baik bagi hidup orang lain, jauh dari cinta diri. Rasa solidaritas dan persaudaraan dimulai dalam keluarga, yang harus dijaga dan dihormati perutusan pertama dan utama mereka dalam pendidikan.
Apa yang disampaikan Paus Fransiskus melalui Ensiklik Fratelli Tutti ini merupakan ajakan untuk melakukan cinta kasih yang mengarah pada "kepenuhan universal" sebagai gambaran sikap inklusif yang diterapkan dalam Moderasi Beragama yaitu menekankan pentingnya penghargaan terhadap setiap individu, terlepas dari latar belakang agama dan keyakinan, bahkan hal ini harus diterapkan dalam keluarga yang menjadi tempat awal untuk mengajarkan sikap inklusif dan menghormati martabat setiap individu
Perjumpaan melahirkan dialog dan persahabatan
Melalui perjumpaan antara pemeluk agama dapat dilihat sebagai suatu cara untuk membangun pemahaman, saling menghormati, dan bekerja sama antar umat beragama dalam menghadapi perbedaan. Perjumpaan antar pemeluk agama bukan hanya soal pertemuan fisik, tetapi juga pertemuan ide, nilai dan keyakinan yang dapat membawa umat beragama pada pemahaman terhadap nilai-nilai universal (bonum commune) pemamahan yang lebih damai dan inklusif. Perjumpaan antar pemeluk agama memungkinkan adanya ruang dialog yang konstruktif, di mana masing-masing pihak bisa saling berbagi pengalaman spiritual, memperkenalkan tradisi mereka, serta menciptakan suasana saling pengertian.