Mohon tunggu...
Bima Widjanata Suwaji
Bima Widjanata Suwaji Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Seorang Penulis Biasa

Penulis dari kota kecil di Jawa Timur. Mendapatkan passion menulis setelah gemar membaca dan mulai menulis sejak SMA.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

November Rain: Menghadapi Hujan Pertamaku di Kota Orang

3 Desember 2019   15:42 Diperbarui: 5 Februari 2020   16:35 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hujan Di Kota Orang | dokpri

November hadir dengan senyuman manis dari pengujung tahun. Dari sebuah huruf tanpa spasi, menjadi kata per kata tersusun menjadi kalimat. Perjalanan membuatku menulis kisah pilu nan bergeming. Dimulai dari Kota Surabaya yang notabennya bercuaca panas. Diri pun tak menyangkal bila memang harus menghadapi itu. Roda berputar dan terus berputar dengan riang. Seriang suasana hati saat itu. Keterlaluan memang bila melakukan perjalanan bila ditemani hati yang tengah bercanda pilu.

Sampai di sebuah stasiun besar memanjang, panas mulai terasa menusuk kulit. Ku buarkan saja dengan santainya. Detik demi detik, menit demi menit waktupun semakin berlalu. Menunggu roda kereta melaju kencang kearah barat. Hingga tak sadar matapun terpejam lelap.

Bangun terkejut dengan suara batu terlempar menabrak besi tua yang memanjang. Ku lihat kearah jendela area persawahan membentang luas. Tak lama kemudian bergantilah rawa yang nampaknya tak terlalu dalam menyambutku. Pertanda hendak sampai di Kota Semarang. Pikiranpun semakin tak karuan karena sepertinya panas lebih menyengat dari sebelum kunaiki kereta ini.

Berhentilah. Nampak seorang penjaga stasiun tengah melambaikan tangan tanda penumpang mulai turun satu demi satu. Ku langkahkan kakiku dengan perlahan. Menuju roda dua yang tengah menunggu di ujung jalan.

Berkelilinglah diri ini yang tengah menghibur hati. Menikmati suasana yang belum pernah terjamah oleh mata. Riuh manusia tengah bekerja menempa diri dan berkeringat. Seperti taka sing karena sepanjang perjalanan memenuhi pandangan mata. Silih berganti waktu terus berjalan hingga senja menemuiku dengan senyuman manisnya. Tapi masih saja hati belum tergoyah senang sepenuhnya. Sampai jutaan bintang datang menghibur, hatipun tetap acuh dan aku memilih untuk tertidur lelap.

Mentari pagi datang menyongsong. Kembali ku lanjutkan perjalanan yang sedikit membuat tubuh sedikit merasa lelah. Pemandangan para insan menempa dan bekerja pun masih terus terlihat oleh mata ini. Ku nikmati sedikit air kelapa agar memulihkan perasaan dan rasa lelah yang terus mendera. Sebatang tembakau kecil ku bakar hanya untuk menghibur pikiran yang semakin lama semakin kacau tak karuan. Sebenarnya, apa yang telah terjadi?

Kupikir kemarau akan segera berlalu, tapi mengapa masih belum ada kesedihan dari langit yang datang. Mungkinkah langit selalu riang dalam hari-harinya? Atau hanya tipuan belaka untuk menghibur kaum bumi yang sedang bergejolak pun aku tak mengerti. Aku masih terduduk dalam sebuah renungan kasat mata dan kabur tentang banyak hal dalam pikiran. Seraya memikirkan percakapan yang baru saja terjadi melalui telepon genggam. Tak sadar, sampai matahari melambai dari kejauhan untuk pergi sejenak.

Beberapa tetes air datang dikemudian menit. Hati pun mulai bergumam. Semakin lama semakin deras. Hati malah bertambah tak karuan. Masuklah ku dalam pondok kecil di seberang ladang. Bercanda sebagai tipu daya. Hujan sedang melanda diluar. Basah hanya ditepian pipi. Sedangkan dinginnya terasa di hati. Entahlah, lelah terus mendera. Jenuh tengah berdampingan denganku semenjak itu. Ternyata seperti ini menyambut hujan di kota orang. Sungguh menimbulkan banyak cerita dan kenangan. Meskipun bukan kenangan yang bisa buat senyum.

Satu jam berlalu. Air masih saja turun, yah meskipun tak sehebat beberapa menit yang lalu. Dari kejauhan bintang ingin menyapa kembali. Tapi tak sanggup untuk itu. Seandainya ada pelangi, pastilah indah untuk dinikmati. Sayangnya langit kelabu datang menghiasi imajinasi saat itu. Sangat mencerminkan gambaran jalan pikiran dan alur perasaan. Hanya tembakau kecil saja yang bisa kusulut, menemani plot ceritaku di kota orang ini. Gugup, namun harus ku lakukan. Menimang dan menimbang semua. Memberanikan untuk berkata dalam hati. Kemudian mengimplementasikan ke dalam kenyaataan. Bahwa aku harus "Pergi".~

Bima Widjanata Suwaji

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun