Mohon tunggu...
Purwanto (Mas Pung)
Purwanto (Mas Pung) Mohon Tunggu... Guru - Pricipal SMA Cinta Kasih Tzu Chi (Sekolah Penggerak Angkatan II) | Nara Sumber Berbagi Praktik Baik | Writer

Kepala SMA Cinta Kasih Tzu Chi | Sekolah Penggerak Angkatan 2 | Narasumber Berbagi Praktik Baik | Kepala Sekolah Inspiratif Tahun 2022 Kategori Kepala SMA | GTK Berprestasi dan Inspirasi dari Kemenag 2023 I Penyuluh Agama Katolik Non PNS Teladan Nasional ke-2 tahun 2021 I Writer | Pengajar K3S KAJ | IG: masguspung | Chanel YT: Purwanto (Mas Pung) | Linkedln: purwanto, M.Pd | Twitter: @masguspung | email: bimabela@yahoo I agustinusp134@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Guru Kreatif, Guru Mencinta

10 Desember 2015   19:21 Diperbarui: 10 Desember 2015   20:44 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Kemuliaan guru memang dari karya-karyanya. Saya adalah karya dari guru-guru saya," kata Presiden Jokowi saat menghadiri acara peringatan Hari Guru belum lama ini di Istora Senayan Jakarta. Kalimat yang sangat singkat itu menyiratkan makna yang mendalam jika kita refleksikan dalam kerangka peran penting pendidikan dalam proses pembangunan manusia.

Makna pertama adalah kerendahan hati yang terwujud dalam sikap kesukaan memuji. Pujian kepada guru-dan juga berlaku bagi siswa-akan melahirkan perasaan berharga. Perasaan ini adalah pendorong utama tumbuhnya daya kreatifitas. Sekecil apapun pujian yang kita berikan kepada orang lain (guru, siswa dan atau anak kita) akan berdampak positif yang sangat besar. Ini berbeda dengan dampak kritik.

Makna kedua, proses pendidikan itu tidak berhenti dalam sebuah ruang kelas dan waktu tertentu, pagi sampai sore. Pendidikan itu sebuah proses cara berpikir siswa untuk terus mau belajar. Ini berarti sekolah lebih pada memberikan rangsangan agar siswa memiliki kreatifitas dalam melihat persoalan baik dalam dirinya maupun diluar dirinya.

Disinilah guru mengemban misi menumbuhkan kreatifitas dalam diri siswa. Siswa yang tidak kreatif akan membatasi pembelajaran terbatas pada ruang kelas dan waktu disekolah atau bisa berlanjut di rumah jika ada pekerjaan rumah (PR). Bagaimana menumbuhkan cara berpikir kreatif ini sehingga siswa memiliki kemauan belajar mengenai apa saja, kepada siapa saja, dan kapan saja?

Bagi saya seorang guru yang tidak menginspirasi siswa menjadi kreatif belajar adalah guru yang tidak membebaskan siswa. Guru seperti ini dapat dipastikan guru yang terbelenggu, guru yang tidak kreatif, yang dikatakan oleh Paulo Freire sebagai guru tradisional, yang memandang siswa bagi tempayan kosong yang harus diisi.

Kreatifitas tidak ditentukan kurikulum-jadi jangan memperdebatkan kurikulum nasional. Kreatifitas ditentukan oleh hati yang berpihak (bela rasa), hati yang peduli kepada anak-anak, hati yang mencintai apa yang dilakukan. Kreatifitas juga tidak ditentukan oleh ada atau tidaknya dana; kreatifitas yang muncul hanya ketika ada dana, menurut saya kreatifitas yang tergadaikan, karena kreatifitas lebih terkait dengan kesukaan atau kecintaan.

Buatlah hatimu suka; buatlah hatimu mencinta maka kamu akan melakukan apa saja untuk disukai anak dan Anda akan sangat kreatif. Kita lihat banyak guru muda dan creative di daerah-daerah terpencil seperti pedalaman Papua, Kalimantan dan sebagainya.

Makna ketiga, guru yang kreatif adalah guru selalu membuat pembelajarannya terkait dengan permasalah real siswa sehinga siswa bisa terlibat. Sekalipun itu dalam pelajaran matematika “students should engage in mathematic as a human activity…..students should be given the opportunity to reinvent mathematics using well-chosen task…” (Hans Freudental:1973) Pembelajaran seperti ini hanya bisa dilakukan dengan metode yang disebut Paulo Freire sebagai metode yang dialogis.

Metode ini hanya bisa diterapkan oleh guru yang memiliki cara pandang bahwa manusia itu makhluk “menjadi” ( on becoming) Ia terus “belajar untuk menjadi manusia yang makin manusiawi” kata Dr. Driyarkara. Didalam cara pandang ini terkandung siswa yang guru dan guru yang siswa. Dalam arti pembelajaran di kelas, siswa dan guru sesungguhnya sama sama berada dalam proses pembelajaran sehingga guru bisa saja menjadi siswa dan siswa bisa saja menjadi guru yang dimediasi oleh masalah real.

Jika kita merefleksikan semua itu, kita akan melihat permasalah dalam pendidikan kita lebih terletak pada kemampuan guru mencintai pekerjaan dan anak-anak bukan pada tingkat pengetahuan dan ketrampilan mereka dalam mengajar. Hal yang terakhir itu menyangkut skills yang bisa dilatih; tapi tidak efektif jika yang pertama tidak muncul.

Sebagai guru sekaligus orang tua murid saya mengajak semua guru untuk menumbuhkan kecintaan awal kita pada pekerjaan dan anak-anak niscaya segala hal pelatihan dan pengembangan diri akan kita ikuti dengan suka cita. Hanya dengan begitu kita sebagai guru bisa menghasilkan karya untuk bangsa ini; karya luhur terlibat dalam pembentukan manusia Indonesia cerdas intelektualnya dan indah karakternya. (refleksi yang tertunda……salam bro dan sis…just sharing.. I am sorry if you don’t agree with me)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun