Mohon tunggu...
Purwanto (Mas Pung)
Purwanto (Mas Pung) Mohon Tunggu... Guru - Pricipal SMA Cinta Kasih Tzu Chi (Sekolah Penggerak Angkatan II) | Nara Sumber Berbagi Praktik Baik | Writer

Kepala SMA Cinta Kasih Tzu Chi | Sekolah Penggerak Angkatan 2 | Narasumber Berbagi Praktik Baik | Kepala Sekolah Inspiratif Tahun 2022 Kategori Kepala SMA | GTK Berprestasi dan Inspirasi dari Kemenag 2023 I Penyuluh Agama Katolik Non PNS Teladan Nasional ke-2 tahun 2021 I Writer | Pengajar K3S KAJ | IG: masguspung | Chanel YT: Purwanto (Mas Pung) | Linkedln: purwanto, M.Pd | Twitter: @masguspung | email: bimabela@yahoo I agustinusp134@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Perlukah Mengelompokkan Siswa Berdasarkan Kepintarannya?

27 November 2015   00:11 Diperbarui: 4 April 2017   16:48 4655
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi - Sekelompok siswa sekolah dasar belajar di kelas. (Getty Images, Thinkstockphoto)

Baru saja keluar dari komplek sekolah-sebagai guru freelance selesai mengajar langsung pergi ke tempat lain- saya dihadang seorang ibu yang mengeluhkan perubahan sifat anaknya yang semakin buruk dan tidak bisa mengendalikan amarah. Ibu tadi menganggap perubahan sifat yang makin buruk ini disebabkan karena anaknya masuk dalam kelas yang semua siswanya “bodoh”. Sekolah telah mengklasifikasikan para siswa menjadi dua kelas yang sangat berbeda, kelas pintar dan kelas bodoh.

Pengelompakan siswa memang sering dilakukan sekolah. Dalam beberapa kasus, pengelompokan ini memberi manfaat positif dan juga berdampak negatif. Pengelompokan sering pula disebut pengklasifikasian berdasarkan karakteristik tertentu. Nah, pada kasus di atas yang saya jumpai dan yang dialami oleh ibu dari siswa yang mengeluh tadi adalah klasifikasi akademik (ability gouping), yaitu pengelompokan dalam kelas yang sama berdasarkan kemampuan akademik, siswa yang akademiknya tinggi dijadikan satu kelas (kelas A) dan siswa yang akademiknya rendah dijadikan satu kelas yang sama (kelas B). Klasifikasi seperti selalu menjadi perdebatan yang tidak akan pernah habis di dunia pendidikan.

Tahukah Anda? Pengelompokan biasanya dilakukan dengan mempertimbangkan asumsi bahwa siswa akan berkembang secara optimal jika diberi lingkungan yang sama kemampuan akademiknya. Hal ini diperkuat dengan asumsi lain bahwa siswa yang berpotensi tinggi akan saling bersaing. Persaingan ini positif untuk merangsang prestasi. Demikian pula siswa yang akademiknya rendah akan berkembang sesuai dengan potensinya. Pertimbangan lain adalah hak setiap siswa mendapatkan layanan terbaik di sekolah. Pengelompakan menjadi cara memberi layanan terbaik bagi siswa.

Di balik asumsi tersebut terdapat pandangan bahwa heterogenitas kelas, siswa potensi akademik tinggi bercampur dengan siswa potensi akademik rendah, menyebabkan yang berpotensi akademik tinggi tidak bisa berkembang maksimal karena guru akan memberi pelayanan yang juga bisa dipahami oleh siswa yang berpotensi rendah. Jelas sekali dari pandangan ini sekolah yang menerapkan pengelompokan siswa berdasarkan kemampuan akademik memberi kemudahan kepada guru untuk melakukan pembelajaran yang sesuai dengan konteks siswa. Kepada para siswa pintar, guru melakukan pembelajaran dengan lebih tinggi standarnya dan kepada kelas yang lain guru akan melakukan dengan metode yang berbeda, yang sesuai dengan karakteristik para siswanya.

Kenyataan “Wou Banget”

Dalam kenyataan yang terjadi seringkali justru kontraproduktif, baik untuk kelas A maupun kelas B. Kelas kategori A sering para siswanya merasa “lebih” hebat, over confidence dan muncul konflik yang bersifat destruktif di antara teman sekelas karena persaingan yang ada. Demikian juga dengan kelas B. Mereka menjadi kelompok yang kehilangan identitas sebagai pelajar, emosi mudah mencuat tidak terkendali, keinginan belajar karam bagai kapal menabrak karang. Sungguh kelas yang kehilangan identitas. Memperihatinkan sekali keadaan setiap siswa.

Pengklasifikasian kelas telah membuat pengkotak-kotakan yang sangat tidak manusiawi. Terjadi dehumanisasi di lembaga pendidikan yang menyatakan diri sebagai media penerus budaya dan pembangun karakter. Guru yang mengajar di kelas B tidak berdaya membangkitkan semangat belajar. Lebih sering terjadi pembiaran atas perilaku bully di antara para siswa. Menilik di kelas A pun sesungguhnya tidak terjadi perkembangan yang signifikan di antara para siswa, karena guru mengajar tidak pula memiliki rencana pembelajaran yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelas B. Artinya, setiap guru bidang studi hanya memiliki satu rencana pembelajaran yang diterapkan di kelas A dan B.

Sebagai seorang pendidik saya merasa kasihan kepada siswa-siswa yang dimasukkan ke dalam kotak “B”. Anda tahu apa yang dipikirkan siswa di kelas itu dengan huruf B? Mereka mengartikan BODOH. Jika dinasihati supaya berjuang untuk menjadi lebih baik, apa jawab mereka? “kan kami anak-anak bodoh, Pak!” Sungguh kesihan mereka.

Barangkali para pakar pendidikan, dan para ahli psikologi perkembangan memiliki seribu satu alasan yang membenarkan implementasi grouping class, tetapi saya sebagai seorang pendidik dan orang tua tidak rela pengelompokan seperti itu. Semoga setiap pihak yang memiliki keprihatinan terhadap pendidikan dan perkembangan anak berjuang untuk sebuah pendidikan yang manusiawi, yang menghargai setiap anak dengan berbagai keunikan dan kepolosannya. Sekolah yang membantu mereka tumbuh menjadi bunga mawar kendati hidup di antara onak duri kelemahan dan kenakalannya. Bagaimanapun perilakunya, mereka adalah seorang anak. Ya, anak. Bukan seorang anak yang harus berperilaku seperti orang dewasa.

By agustinus purwanto

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun