Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu menyimpan potensi besar sebagai destinasi pariwisata bahari yang dapat memadukan pelestarian alam dengan kemakmuran masyarakat pesisir.
Namun demikian, kerusakan lingkungan dan pengelolaan wisata yang kurang optimal menjadi hambatan utama di wilayah ini.
Dengan mengintegrasikan keberlanjutan lingkungan, pemberdayaan ekonomi lokal, dan peningkatan daya tarik wisata, Jakarta dapat membangun model pariwisata bahari yang berkelanjutan.
Tulisan ini menyoroti tiga aspek utama, yakni: kerusakan lingkungan Teluk Jakarta, ekowisata sebagai solusi pelestarian alam, dan pemberdayaan ekonomi lokal melalui promosi wisata, untuk menciptakan pariwisata bahari yang harmonis dan produktif.
Kerusakan Lingkungan Teluk Jakarta
Perairan Teluk Jakarta mengalami degradasi lingkungan yang serius, mengancam potensi pariwisata bahari.
Aliran limbah rumah tangga dari penduduk ibu kota dan sekitar, limbah industri melalui sungai seperti Citarum, dan tumpukan sampah plastik telah mencemari teluk.
Laporan Badan Lingkungan Hidup DKI Jakarta (2023) mengindikasikan bahwa polutan seperti logam berat melampaui batas aman, merusak hutan mangrove di Muara Angke dan terumbu karang di Kepulauan Seribu.
Di Pulau Pari, sekitar 25% terumbu karang dilaporkan mengalami pemutihan akibat aktivitas wisata yang tidak terkontrol dan polusi (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2024).
Kerusakan ini, tentunya melemahkan daya tarik wisata. Pantai yang dipenuhi sampah di Ancol dan perairan keruh di pulau-pulau seperti Pulau Tidung menurunkan kepuasan pengunjung.
Ekosistem laut, seperti terumbu karang yang menjadi atraksi utama snorkeling, semakin terancam, mengurangi keanekaragaman hayati seperti penyu dan ikan karang.