Teluk Jakarta, sebagai pusat kegiatan maritim ibu kota Indonesia, memegang peranan penting dalam mendukung perekonomian nasional melalui operasional Pelabuhan Tanjung Priok dan jalur transportasi laut menuju Kepulauan Seribu.
Namun, aktivitas maritim yang intens telah memicu kerusakan lingkungan, mengancam kelestarian ekosistem teluk dan kesejahteraan masyarakat pesisir.
Pendekatan pelabuhan hijau menjadi solusi strategis untuk mengintegrasikan kelestarian lingkungan dengan produktivitas ekonomi transportasi laut.
Tulisan ini mengupas tiga dimensi utama: kerusakan lingkungan Teluk Jakarta akibat aktivitas maritim, pelabuhan hijau sebagai jawaban atas kebutuhan lingkungan, dan peningkatan efisiensi ekonomi melalui pembaruan infrastruktur pelabuhan.
Degradasi Lingkungan Teluk Jakarta akibat Aktivitas Maritim
Teluk Jakarta tengah menghadapi ancaman lingkungan serius yang diperparah oleh operasi transportasi laut dan pelabuhan.
Pelabuhan Tanjung Priok, yang mengelola lebih dari 7 juta TEUs (unit kontainer setara dua puluh kaki) setiap tahun (Pelindo, 2024), menghasilkan polusi udara dari emisi kapal, limbah cair berupa minyak, dan tumpukan sampah dari kegiatan logistik.
Studi dari Badan Lingkungan Hidup DKI Jakarta (2021) mengungkapkan bahwa limbah berbahaya, seperti minyak dan logam berat dari kapal, menjadi penyumbang utama pencemaran perairan teluk, merusak ekosistem mangrove di wilayah Muara Angke dan terumbu karang di Kepulauan Seribu.
Rute transportasi laut menuju Kepulauan Seribu turut memperburuk kondisi. Kapal berbahan bakar diesel menghasilkan gas rumah kaca dan sering kali menyebabkan tumpahan minyak, yang mencemari perairan teluk.
Pelabuhan kecil seperti Muara Angke, yang kekurangan infrastruktur pengelolaan limbah, menjadi sumber sampah plastik yang mengotori Teluk Jakarta.
Degradasi ini tidak hanya mengganggu kehidupan laut, tetapi juga melemahkan potensi ekonomi teluk sebagai pusat pariwisata bahari dan investasi maritim.