Teluk Jakarta, jantung ekosistem pesisir ibu kota Indonesia, memiliki potensi besar untuk mendukung kesejahteraan masyarakat, terutama nelayan di wilayah seperti Cilincing, Marunda, dan Kepulauan Seribu.
Namun, degradasi lingkungan yang parah mengancam keberlanjutan sumber daya laut, sekaligus memperburuk kondisi ekonomi komunitas pesisir.
Dalam menghadapi tantangan ini, akuakultur ramah lingkungan muncul sebagai solusi strategis yang mampu memulihkan ekosistem Teluk Jakarta sambil meningkatkan kesejahteraan nelayan.
Tulisan ini menyoroti tiga aspek utama: krisis lingkungan Teluk Jakarta, potensi akuakultur ramah lingkungan, dan pemberdayaan nelayan sebagai kunci keberhasilan ekonomi biru di Jakarta.
Krisis Lingkungan Teluk Jakarta: Ancaman terhadap Keberlanjutan
Teluk Jakarta menghadapi krisis lingkungan yang signifikan, ditandai dengan polusi air, sedimentasi, dan kerusakan ekosistem.
Limbah domestik dari jutaan penduduk Jakarta, ditambah limbah industri yang mengalir melalui sungai-sungai seperti Ciliwung dan Citarum, telah mencemari perairan Teluk Jakarta.
Data dari Badan Lingkungan Hidup DKI Jakarta (2019) mengindikasikan bahwa kadar polutan, seperti logam berat dan bahan organik, jauh melebihi ambang batas aman untuk biota laut.
Sampah plastik, yang diperkirakan mencapai ribuan ton per tahun, semakin memperburuk kondisi perairan, mengancam biota laut dan mengurangi estetika pesisir.
Dampak krisis ini sangat terasa bagi komunitas nelayan. Penurunan kualitas air telah menyebabkan berkurangnya populasi ikan bernilai ekonomi tinggi, seperti kakap dan kerapu, di Teluk Jakarta.
Nelayan di wilayah Cilincing melaporkan bahwa hasil tangkapan mereka menurun hingga 50% dalam satu dekade terakhir (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2020).