Setiap akhir tahun ajaran, masyarakat Indonesia kembali terbelah membahas satu tema yang tampaknya tak pernah selesai: wisuda dan perpisahan sekolah.
Di satu sisi, kegiatan ini dianggap sebagai momen penting dan emosional untuk merayakan kelulusan dan kebersamaan.
Di sisi lain, muncul kekhawatiran akan beban finansial yang ditanggung orang tua murid, terutama mereka yang berasal dari keluarga tidak mampu.
Pernyataan tegas dari Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang melarang kegiatan wisuda dan perpisahan bagi siswa TK hingga SMA telah memantik kembali perdebatan ini.
Tujuannya jelas: menghindarkan masyarakat dari pengeluaran yang tidak esensial.
Namun di balik logika kebijakan ini, ada satu perspektif yang luput dari perbincangan publik: apakah wisuda benar-benar harus berbentuk acara formal, atau justru bisa dikembangkan sebagai sarana pendidikan karakter?
Mari kita membahasnya..
Melampaui Seremoni
Kita kerap memaknai wisuda sebagai seremoni akhir, dengan toga, panggung, dan penyewaan gedung megah. Padahal, esensi dari wisuda bukanlah pada bentuknya, melainkan maknanya.
Dalam kacamata pendidikan, wisuda seharusnya menjadi momen refleksi dan penghargaan atas proses belajar yang telah dilalui, bukan sekadar simbol status kelulusan.
Alih-alih melarang secara total atau sekadar memperdebatkan soal biaya, mengapa kita tidak mulai mendesain ulang wisuda sebagai sarana pendidikan nilai?