Selepas jam kantor di kawasan Senen yang cukup melelahkan, saya memutuskan untuk mampir ke Taman Setara Tanamur.
Sore itu, hiruk-pikuk lalu lintas tak kunjung reda. Mobil dan motor berlalu-lalang tanpa jeda, menciptakan simfoni khas kota metropolitan yang tak pernah benar-benar tidur.Â
Saya memilih taman ini sebagai tempat menunggu istri pulang kerja. Daripada tersesat dalam kemacetan yang seolah tak berujung, lebih baik saya bersantai sejenak di ruang terbuka hijau ini.
Taman Setara Tanamur, belakangan cukup ramai dibicarakan, terutama sebagai tempat yang cocok untuk melepas penat setelah seharian bekerja.
Setelah memarkir motor di tepi jalan, saya berjalan santai menuju ke dalam taman. Namun, sebelum sempat benar-benar masuk, mata saya menangkap sosok pria tua di seberang jalan.
Ia tengah sibuk mengatur tumpukan kardus dan botol plastik bekas di samping gerobaknya.
Ada sesuatu yang membuat saya tertarik untuk memperhatikannya lebih lama. Entah karena ketekunan yang terlihat dari gerak-geriknya, atau mungkin karena bayangan tentang kehidupannya yang langsung berkelebat di kepala saya.
Tanpa berpikir panjang, saya melangkah mendekatinya. Pria tua itu menoleh, lalu tersenyum ramah saat saya menyapanya.
"Lagi beres-beres, Pak?" tanya saya, membuka percakapan.
Ia mengangguk sambil terus menyusun kardus-kardus dengan cekatan. Namanya Buyung, usianya 65 tahun.