Mohon tunggu...
Billy Steven Kaitjily
Billy Steven Kaitjily Mohon Tunggu... Freelancer - Nomine Best in Opinion Kompasiana Awards 2024

Berbagi opini seputar Sustainable Development Goals (SDGs) terutama yang terpantau di Jakarta. Melalui opini yang dituangkan, saya mengajak pembaca untuk lebih memahami dan menyadari konsep keberlanjutan.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Perilaku BAB dan Pembuangan Popok Sembarangan Masih Ditemukan di Jakarta

3 November 2024   14:58 Diperbarui: 3 November 2024   16:54 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Penunjuk arah menuju fasilitas mandi-cuci-kakus di RW 022, Blok Empang, Penjaringan, Jakarta Utara | Sumber: Kompas.id/Fakhri Fadlurrohman

Buang air besar (BAB) sembarangan masih menjadi tantangan besar di perkotaan seperti Jakarta, khususnya pada area permukiman padat, di mana fasilitas sanitasi masih terbatas.

Praktik ini menimbulkan berbagai dampak negatif bagi kesehatan lingkungan dan masyarakat. Selain itu, perilaku pembuangan popok sekali pakai (pampers) sembarangan turut memperburuk kondisi tersebut.

Berdasarkan data Pemerintah Provinsi (Pemprov) Daerah Khusus Jakarta (DKJ), sebanyak 187.183 kepala keluarga (KK) masih melakukan BAB sembarangan, sementara 36.303 rumah di Jakarta belum memiliki akses ke jamban. (Sumber: cnnindonesia.com).

Untuk mengatasi permasalahan ini, diperlukan edukasi, regulasi yang lebih ketat, dan peran aktif dari masyarakat.

Tulisan ini akan menguraikan tiga hal penting terkait fenomena ini: pertama, alasan mengapa praktik BAB dan pembuangan popok sembarangan masih terjadi di Jakarta; kedua, risiko kesehatan dan lingkungan dari perilaku ini; dan ketiga, kebijakan yang perlu diambil oleh pemerintah untuk mengatasi masalah ini.

Alasan di Balik Praktik BAB dan Pembuangan Popok Sembarangan

Tingginya angka BAB dan pembuangan popok sembarangan di Jakarta disebabkan oleh berbagai faktor, terutama ketersediaan fasilitas sanitasi dan pemahaman masyarakat mengenai dampak perilaku ini.

Pertama, keterbatasan akses fasilitas sanitasi. Sebagian besar area dengan kasus BAB sembarangan adalah permukiman padat penduduk atau kawasan kumuh yang kekurangan infrastruktur dasar, termasuk fasilitas sanitasi yang memadai.

Di beberapa lokasi, warga terpaksa membangun bangunan di atas saluran air atau bantaran kali untuk dijadikan tempat mandi, cuci, dan kakus (MCK) darurat.

Fasilitas ini digunakan secara bersama-sama oleh warga sekitar tanpa akses ke sistem pembuangan limbah yang benar.

Kedua, kebiasaan dan kurangnya kesadaran masyarakat. Praktik BAB sembarangan juga berakar dari kebiasaan lama dan kurangnya kesadaran mengenai risiko lingkungan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun