Mohon tunggu...
Billy Antoro
Billy Antoro Mohon Tunggu... -

Senang pada hal-hal baru dan menuliskannya di media.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Waspada

8 April 2013   06:05 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:32 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

“Orang-orang yang beraksi di LP Cebongan Sleman sudah tertangkap, Cep?” Memet berkata dengan suara sangat lirih. Sejak semalam ketakutan melilit nyalinya.

“Sudah, Met. Menurut tim investigasi TNI, pelakunya 11 anggota Kopassus. Kenapa?” Cepi berkata tanpa memandang Memet. Perhatiannya tertuju pada foto kucing betina yang rautnya sangat misterius.

“Bahaya dong, Cep!” Suara Memet melengking keras.

“Kenapa?”

“Bisa jadi sasaran berikutnya kita.” Suara Memet lirih seolah hanya Cepi yang boleh mendengarnya.

“Apa?!” Bukan kepalang Cepi kaget. Mulutnya menganga, aroma busuk meruap. Foto kucing berparas misterius terlepas dari genggamannya. Kini tatapnya tajam menusuk Memet. “Jangan main-main kau, Met! Aku tak mau mati di penjara!”

“Aku tidak main-main, Cep! Semua kemungkinan bisa saja terjadi. Makanya kita harus selalu waspada.”

Cepi termangu sejenak. Ia masih belum melihat korelasi antara penjahat korupsi macam dirinya dengan aksi pembunuhan yang diramal Memet bisa terjadi pada dirinya. “Penjahat seperti kita, apa juga mau diberondong mati, Met?”

“Kenapa tidak? Rakyat negeri ini sangat benci koruptor macam kita. Prestasi kita yang melambungkan negeri ini menjadi negara terkorup di dunia bikin mereka senewen. Penyerangan warga sipil oleh aparat negara di LP Cebongan bisa jadi inspirasi aparat lain untuk bertindak sewenang-wenang, Cep. Setelah membunuh, lalu menyerahkan diri. Pak Presiden saja menganggap mereka bersikap kesatria dan memiliki semangat jiwa korsa.”

“Lho, bagus, kan. Itu artinya bertanggung jawab.”

“Apanya yang bagus? Lha, kan, kita yang jadi sasaran tembaknya. Mereka dapat simpati masyarakat, kita tetap dapat dampratan masyarakat.”

“Lalu, apa yang harus kita lakukan?” Cepi mulai tercekam ketakutan. Pandangnya menyisir seisi ruangan penjara. Ia khawatir dugaan Memet jadi kenyataan. Ia ingat sejumlah film Holywood tentang aparat penegak hukum yang memilih mengeksekusi penjahat di luar pengadilan.

Memet mondar-mandir, berpikir keras.

“Aku ada ide!” pekik Cepi. Wajahnya berseri-seri seperti baru dapat ciuman Prancis dari istri. “Bagaimana kalau kita beli rompi anti peluru? Biarpun diberondong tembakan, kita tak akan terluka!”

“Kalau kita dimutilasi?”

“Kita pakai rompi antimutilasi!”

Celengnya kambuh, nih orang.

“Lagi pula, mana tega mereka memutilasi kita, Met.”

“Kenapa tidak? Masyarakat kita kan sedang sakit kronis. Tiap hari berita soal tawuran antarwarga menghiasi televisi. Mahasiswa yang katanya agent of change ikut-ikutan tawuran. Kapolsek dikeroyok warga sampai mati. Pencuri dibakar hidup-hidup. ABG diperkosa ramai-ramai, bahkan sampai ada pelakunya masih kelas 5 SD. Mutilasi juga kembali marak. Demoralisasi di negeri kita sudah klimaks, Cep. Klimaks!” Memet menghentikan ucapannya. Ia khawatir memori Cepi tak bisa mencerna kata-katanya.

“Bagaimana kalau sel ini dikelilingi dinding baja? Atau kaca anti peluru?” Otak Cepi sudah terserang virus Holywood.

“Mustahil. Di negeri ini, tak ada sel yang dilengkapi alat perlindungan macam begitu. Kalau pun ada, itu jadi rebutan para koruptor macam kita.”

“Lalu bagaimana dong, Met? Aku belum siap mati. Seharusnya yang mati lebih dulu itu kau, sebab jumlah korupsi kau lebih banyak daripada aku.”

“Sialan kau, Cep! Korupsi ya korupsi, tak perlu dibedakan jumlahnya. Tak mungkin kalau tiba-tiba mereka datang dan memutilasi aku, baru besoknya mereka datang lagi untuk memutilasi kau. Kalau memang begitu, aku bisa menyogok mereka untuk memutilasi kau lebih dulu. Aku kan punya uang lebih banyak dari kau.”

“Lalu baru besoknya kau dimutilasi mereka?”

“Bodoh sekali kau, Cep! Mereka akan kuberi duit lebih banyak dan kujadikan anak buahku. Biar mereka nanti yang akan menghadapi aparat yang berani menangkapku.”

Tak disangka Cepi melompat dan menjatuhkan tubuhnya ke kasur. Hatinya dirundung pilu. Tangisnya meledak. “Ini tidak adil! Aku seharusnya mengorupsi duit lebih banyak dari kau, biar jumlah sogokanku lebih besar dari kau sehingga kau yang lebih dulu dimutilasi dan mereka jadi anak buahku!”

Makin akut nih celengnya.

Saat itulah Asan, pengacara Memet, datang. “Kau minta aku datang, Met? Ada apa?” Ucapannya terkandung rajukan. Ia kesal, gara-gara panggilan itu jadwal kencan dengan Inah terpaksa dibatalkan.

“Aku ingin minta perlindungan LPSK! Cepat kau hubungi mereka!”

“Lho, memangnya ada apa, Met? Nyawamu terancam?”

“Ya! Sangat-sangat-sangat terancam! Saya tak mau mati di penjara ini seperti empat tahanan di LP Cebongan!” Kalimat Memet berapi-api.

Asan garuk-garuk kepala. Bingung. Koruptor macam kau memang pantas enyah dari muka bumi ini, Met. Tapi caranya tak boleh sebiadab itu.

“Atau kau hubungi CIA, KGB, MI6, atau Mossad sekalian! Aku ingin dilindungi secara profesional.”

“Tidak yang lokal saja?”

“Aku tak percaya dengan yang lokal-lokal. Sekarang, kan, trennya serba impor; daging sapi impor, buah impor, sayuran impor, bawang impor. Uangku banyak, berlimpah ruah dari Sabang sampai Merauke. Aku punya banyak perusahaan tambang, mal di Jakarta, kebun kelapa sawit di Kalimantan, saham di bursa efek dunia. Aku bisa bayar mereka semuanya!”

Usai bicara demikian, Memet melempar tubuhnya ke kasur. Jatuh tepat disamping Cepi. “Aku tak mau mati di sini!” Ucapannya bercampur isak tangis. Tangannya meremas-remas bantal yang sarungnya dipenuhi kepulauan iler. “Aku masih punya tiga istri yang harus aku nafkahi lahir-batin. Aku juga punya anak yang butuh kasih sayang seorang ayah idaman.”

Melihat Memet berbaring dan menangis di sampingnya, hati Cepi trenyuh. Ia mendekap Memet. “Sudahlah, Met. Ini sudah takdir. Makanya, besok-besok, kalau korupsi jangan sampai ketahuan.” Lalu keduanya terlibat dalam pelukan yang hangat.

Asan melongo. Baru kali ini ia melihat koruptor berpelukan sambil menangis gara-gara takut mati. Ia memaki-maki mereka dalam hati. Kalau kalian korup, siap-siaplah mati kapan saja. Jangan cemen begini. Jantan dong hadapi kenyataan! Ah, mending tadi aku tidak ke sini kalau cuma melihat kalian berpelukan. Lebih baik aku kencan dengan si Inah. Kampret!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun