Mohon tunggu...
Bijogneo Bijogneo
Bijogneo Bijogneo Mohon Tunggu... profesional -

Menulis, membaca, mengomentari, dikomentari, ok-ok saja. http://bijogneo.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Merawat Pangkal Tidak Gawat

2 Januari 2010   06:28 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:40 415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anda mungkin pernah mengalami kekesalan, karena badan jalan yang setiap hari anda lalui menuju tempat kerja, seringkali mengalami kerusakan, terutama saat di musim hujan.

Kerusakannya pun sering mencakup beberapa ruas jalan, sehingga anda harus begitu sering memperlambat kendaraan anda. Pada kondisi yang lebih buruk, lubang-lubang yang tadinya kecil-kecil kemudian bergabung menjadi lubang besar, seperti kawah, dipenuhi air  hampir se-dengkul orang dewasa, maka kendaraan yang melintasinya  pun akan berjalan pelan sambil berusaha mengambil kesempatan melintasi bagian kawah yang lebih dangkal. Kerusakan seperti ini sering menyebabkan kemacetan, terkadang bisa menghabiskan waktu cukup panjang dari yang seharusnya hanya butuh 15 menit untuk melaluinya.

International Raughness Index

Bagi saya yang awam mengetahui jalan rusak cukup melalui lubang-lubang yang terkadang terlindas tanpa sempat menyadarinya..gubrak, atau pada kondisi sebagaimana yang diceritakan di atas.

"Aduh..jalanannya jelek sekali sih.." keluhan seperti itu sering keluar di dalam kendaraan yang melintas, dan hanya terkurung di dalam kendaraan, atau habis tersebar keluar melalui sirkulasi udara kendaraan.

Karena jalanan itu umumnya milik Negara, sementara kerusakan yang terjadi  juga sudah masuk sekala nasional, mencakup kepentingan orang banyak, dan orang banyak itu tunduk pada peraturan dan perundangan Pemerintah, dan  pemerintahan yang sedang berjalan juga "memerlukan" orang banyak, maka si "Aduh..jalanannya jelek sekali sih.."  ini perlu segera dibenahi, sebelum simpati berbalik arti. "Jangan sampai muncul ungkapan baru; Jalannya sebuah pemerintahan dilihat dari jalan yang digunakan rakyatnya.. wah kalau sudah begini kita bisa tidak lulus!" (begitu mungkin ungkap salah satu Menteri dalam salah satu sidang kabinet...)

"Maksud hati memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai" (henk..? Jaka Sembung bawa golok juga niy...), jelasnya begini; Pemerintah bermaksud baik dan ingin segera membenahi kepentingan umum yang memang dinilai sangat potensial baik bagi kepentingan ekonomi, maupun bagi kesejateraan rakyat. Masalahnya,  krisis ekonomi masih berlangsung, pemerintah tidak punya uang, kecuali untuk pengeluaran yang sifatnya benar-benar sangat gawat.

Tetapi.. tunggu, tidak perlu kuatir, untuk hal-hal seperti ini, pemerintahan yang berlangsung dari waktu ke waktu sangat terampil dalam mencari jalan keluar. Dengan dasar pemikiran 'sebagai negara yang kaya dengan sumber daya alam' dianggap sebagai kunci untuk tetap dipercaya sebagai negara penghutang, dan sepertinya, dasar pemikiran ini berlanjut diobral dari waktu ke waktu. Stop..stop..stop .. ini sudah menyerempet kategori polhukam.

Ok, back to the business. Dibuatlah proposal kredit untuk bunga lunak pembayaran jangka panjang, bukan kepada IMF yang masyarakat alergi mendengarnya, tetapi kepada World Bank yang dinilai masih lebih manusiawi (sebenarnya siy setali tiga uang juga.., eh maaf) "Hguhh.. ngutang lagi..." Presiden World Bank bergumam diakhir helaan napas panjangnya setelah membaca proposal itu.

Proposal yang diajukan pemerintah tentu saja perlu dikaji ulang, dalam artian World Bank perlu menetapkan kewajaran jumlah hutang yang diajukan dengan aktual permasalahannya. Sebagai contoh, jika suatu pemerintahan mengajukan pinjaman untuk perbaikan 1000 km jalan rusak, bagaimana menterjemahkan panjang jalan yang rusak itu ke kewajaran jumlah hutang yang disetujui? Besaran apa, yang dalam bentuk  paling sederhana dapat mewakili kerusakan jalan itu, dan besaran itu selanjutnya menjadi standar bagi World Bank dalam menentukan besaran pinjaman, khusus untuk kasus yang berkaitan.

"Aduh..jalanannya jelek sekali sih.." sebenarnya merupakan ungkapan atas penyimpangan yang terjadi pada permukaan aspal jalanan, bahasa teknisnya "Kekasaran Aspal Jalanan" atau International Roughness Index (IRI), yaitu istilah yang pertamakali muncul di tahun 1980an setelah World Bank melakukan pengembangan dan riset dalam cara menentukan kekasaran aspal jalanan.

Kekasaran merupakan karakter penting dari aspal jalanan, karena karakter ini bukan hanya mempengaruhi kenyamanan berkendaraan, tetapi juga biaya keterlambatan kendaraan, konsumsi bahan bakar dan biaya perawatan. World Bank menemukan bahwa kekasaran jalan menjadi faktor utama dalam analisis dan perdagangan yang mengkaitkan kualitas jalan versus biaya pengguna (UMTRI, 1998).

IRI digunakan untuk menggambarkan suatu profil memanjang dari suatu jalan dan digunakan sebagai standar kekasaran permukaan aspal jalanan. Satuan yang biasa direkomendasikan adalah meter per kilometer (m/km) atau milimeter per meter (mm/m).

Grafik di atas menunjukkan, semakin besar nilai IRI, semakin buruk pula permukaan aspal jalanan.  Sebagai contoh jalan dengan IRI = 14 hanya dapat ditempuh pada kecepatan 35 km/jam.

Bersambung..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun