Mohon tunggu...
Bidan Care / Romana Tari
Bidan Care / Romana Tari Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Bidan Romana Tari [bidancare] Sahabat bagi perempuan dan keluarga, saling memperkaya informasi kaum perempuan dibidang kesehatan dan pengalaman sehari - hari dalam hidup,\r\n\r\nMari hidup sehat dan kreatif dalam hidup bersama bidancare

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Untukmu Ibu] Nafas untuk Ibu

23 Desember 2013   23:07 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:33 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13878159532041907993

[133]. Di penghujung Desember,Sekar menutup pintu kamar di asramanya dengan terburu – buru. Hujan gerimis tak berhenti sejak pagi tadi. Ia mengandalkan sebuah payung lipat berwarna hijau tua dan jaket rajutan buatan ibunya. Sekar nekad berangkat ke Sumatera. Ia  sudah memesan tiket bus antar pulau. Memang bukan jarak yang dekat untuk di tempuh dari Surabaya ke Palembang. Selain karena biaya, sebenarnya cuti Sekar sudah habis. Atas kebaikan pimpinan tempatnya bekerja ia mendapat pinjaman cuti tahun berikutnya. Hanya dua minggu. Rasanya mustahil dia bisa membawa ibunya ke Jawa setelah mendengar ibu sakit parah.

Sebelumnya Ayu adiknya yang bungsu sudah terlebih dulu pulang ke Palembang. Ia hanya punya waktu ijin dari Sekolahnya di SMU Stella Duce selama liburan Natal. Sebentar lagi sudah berakhir. Jika mendengar laporan–laporan Ayu tentang keadaaan kesehatan ibu mereka, hati Sekar seperti tersayat–sayat.  Sulit baginya membayangkan, saat yang sama selama ibunya sakit ia tidak dapat mendampingi. Ia juga sibuk merawat banyak pasien di tempat berbeda.

Sekar bersyukur, pimpinannya masih berbaik hati mengijinkan dia meminjam cuti tahun depan meskipun statusnya masih karyawan kontrak. Saat ini yang dia pikirkan segera bertemu ibunya, ia mendengar dari Ayu badan ibunya sudah kurus kering dan setiap hari darah segar mengalir dari mulutnya setiap batuk. Ibunya sudah hampir tiga bulan diam menahan penyakitnya. Tak satupun anaknya yang di rantau tahu . Hingga pada suatu hari, tetangga menemukan ibunya pingsan di belakang rumah.  Lalu mereka membawa ibunya berobat ke Palembang karena ada adik ibunya yang perawat.

Selama perjalanan Sekar tak henti–henti berdoa agar diberi kesempatan untuk merawat ibunya. Bus ekonomi yang membawa Sekar akhirnya tiba di Palembang. Ia segera menuju rumah sakit. Jawaban perawat mengejutkan Sekar, ternyata ibunya minta pulang karena kuatir biaya rumah sakit membengkak.  Ia segera menuju rumah bibinya yang perawat itu. Ketika berdiri di depan pintu rumah bibinya, dia melihat Ayu adiknya. Ayu minta maaf tidak berhasil merayu ibu agar tetap dirawat di rumah sakit.

Ransel di pundaknya dia lempar di atas kursi ruang tamu dan menghambur ke kamar , dia ingin segera melihat ibunya. Astaga, dia lihat ibunya sangat kurus tinggal tulang dan kulit. Nafasnya tersengal–sengal. Dipeluknya tubuh ibunya dan Sekar mengigit bibirnya menahan airmata agar tak tumpah. Ia mencoba tegar dan mengusap pundak ibunya. Sekar mencium tangan ibunya dan bersimpuh di samping tempat tidur. Tak satupun kata terucap dari bibirnya. Seandainya saja ia harus memberikan paru–parunya untuk ibunya, Sekar akan berikan. Sudah cukup banyak ibu menderita demi keberhasilan anak–anaknya, tak pernah ibunya mengeluh sakit apapun bila berkirim surat selama dia di asrama. Selalu berita “ Ibu sehat- sehat selalu, teriring peluk sayang ibumu”.

Malam itu, Sekar melihat hasil bacaan Patologi anatomi paru, terdiagnosa kanker paru–paru stadium satu. Kertas hasil tes laboratorium itu tanpa sadar diremasnya. Sekar tidak terima ibunya harus mengalami seperti ini. Entah sejak kapan ibu mulai mengeluh batuk darah. Ia berusaha menutupi semuanya agar tetangga tidak tahu. Itu pengakuan singkatnya yang disampaikan pada Ayu. Ayu katakan pada Sekar, ibu takut disingkirkan dari pergaulan. Di desa Sekar jika ada yang sakit batuk darah dianggap penyakit TBC dan menular. Sekar segera mengeluarkan beberapa kaleng susu yang dia bawa dari Surabaya. Saat mengaduk susu dalam gelas, airmata Sekar  mengalir, ia menangis dalam diam. Segelas susu hangat itu dia suapkan perlahan ke ibunya. Sekar mencoba tersenyum saat ibu memandang wajahnya. Meski tak satupun kata terucap dari bibir ibu,  Sekar tahu tatapan mata sang ibu adalah tatapan khas ketika ia  masih kecil dulu.  Ibu selalu bertanya “ Sudah makan?”. Sekar kembali menganggguk dan menjawab sudah.

Sesendok demi sendok susu itu ia suapkan pada ibunya. Sesekali Sekar memeluk ibunya. Ia teringat ibunya telah memberikan sebuah susu kehidupan sejak ia lahir, mengaliri setiap pembuluh darahnya. Susu cinta sang ibu yang membesarkan Sekar. Air susu Ibu yang mengubah Sekar  kecil hingga menjadi seorang perawat. Segelas susu hangat itu tak habis. Sekar tahu ibunya juga mengalami rasa minder karena batuk darah. Meskipun dokter telah menyatakan dia tidak TBC tetap saja ibunya cemas ia akan menularkan penyakit itu pada anak–anaknya.

Sisa susu hangat yang masih separuh gelas itu diminumnya di hadapan ibunya. Pada saat yang sama ibunya berusaha mengulurkan tangan untuk mencegah Sekar minum susu dari sisa gelasnya. Sekar tersenyum, Ia mengerti bahwa ibunya cemas ia tertular sakitnya. Sekar menggelengkan kepala dan menyerahkan sisa  susu hangat yang tinggal sedikit itu ke tangan Ayu, Ayu paham dengan senyum Sekar, ia segera meneguk habis sisa  susu dari gelas ibunya itu.

Lalu mereka bertiga berpelukan. Ayu memijat kaki ibunya. Ia pamitan besok  lusa akan pulang ke Yogya. Ibunya mengangguk. Dengan suara lirih ia menasehati Ayu agar bisa menyelesaikan sekolahnya di Stella Duce hingga selesai. Ayu mengiyakan dan memeluk ibunya. Sekar tahu keberadaan si bungsu Ayu selama dua minggu ini sangat berarti bagi ibunya. Meskipun Ayu gagal menahan ibunya agar tetap mau dirawat, Sekar tetap bersyukur ibunya punya kemauan yang kuat untuk segera pulih.

Hari pertama Sekar datang ibunya sudah mau minum susu separuh gelas, dan ini hari ke tiga ibunya sudah mau menghabiskan semangkuk kecil sup brokoli buatan Sekar. Seperti biasa, sisa sup dalam mangkuk ibunya selalu dihabiskan Sekar, juga ayahnya. Mereka melakukan itu sebagai dukungan agar ibunya tidak perlu cemas dan minder dengan sakitnya.

Malam tiba, Sekar menyelimuti ibunya. Dipandangnya wajah ibu yang sedang tertidur pulas itu. Badannya nyaris setipis papan. Wajah ibunya tirus dan pucat. Sekar dan ayahnya merundingkan besok ibunya akan dilatih jalan keluar dari kamar. Tidak ada kursi roda. Ia akan menggendong sendiri ibunya untuk berjemur di depan teras rumah bibinya. Rumah bibinya memang kosong, bibinya memilih tinggal di rumah satunya yang dekat dengan rumah sakit. Sesekali saja bibinya datang menengok sejak Sekar datang.

Pagi itu Sekar  dan ayahnya memapah ibu keluar dari kamar, berjemur matahari pagi. Sekar memijat pundak ibunya dengan pelan. Ibunya pernah bercerita, saat Sekar masih bayi, ibunya sering menggendongnya untuk berjemur matahari pagi. Terimakasih Tuhan, bisik Sekar dalam hati. Aku masih Engkau beri kesempatan merawat ibuku dalam keadaaan sakit seperti ini.  Memang tak mungkin Sekar bisa membalas semua kasih sayang ibu yang telah dia terima, tetapi ia bersyukur bahwa di saat – saat ibunya membutuhhkan kehadiranya, Sekar bisa datang.

Ibunya mengalami banyak kemajuan sejak Sekar datang. Batuk darahnya memang masih terutama bila malam. Bahkan tadi malam ayah Sekar sampai kehabisan es batu untuk kompres dada ibunya. Sekar sampai bersujud memohon agar ibunya mau dirawat kembali di Rumah sakit. Tetapi ibunya menolak dan menangis, ingin dirawat Sekar sendiri di rumah. Dia sebagai perawat bisa menasehati orang lain untuk berobat ke rumah sakit bahkan opname, tetapi kenyataannya pada ibunya ia tak mampu memaksa.

Sekar hanya bisa berdoa semoga kasih sayang dan perhatian darinya yang total akan menyembuhkan sang ibu tercinta. Ia tetap menebus resep–resep obat dan terus mengabarkan semua perkembangan kemajuan kesehatan ibunya kepada dokter penyakit dalam yang pernah merawat ibunya.

Sebuah keajaiban cinta telah terjadi. Ibunya sudah mampu belajar berjalan perlahan untuk menghirup udara segar di kebun belakang milik bibinya. Sekar tak sedetikpun beranjak dari sisi ibunya. Hanya saat ia perlu mandi dan masak saja ia bergantian dengan ayahnya. Wajah ibunya kini mulai tampak lebih segar. Makan dan minum bisa dihabiskan. Ibunya sungguh perempuan yang tangguh.

Malam ini saat menjelang malam Natal, Sekar  berlutut dan berdoa pada Tuhan "Jika boleh Tuhan, ambil saja nafasku untuk ibuku". Sekar ingin memberikan bukan hanya paru–parunya tetapi juga nafasnya demi sang ibu. Ibu yang telah mengandung, melahirkan, menyusuinya sejak bayi dan membesarkan Sekar penuh kasih sayang.

Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community dengan judul : Inilah Hasil Karya Peserta Event Hari Ibu

Silahkan bergabung di FB Fiksiana Community

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun