Mohon tunggu...
Gina Nelwan
Gina Nelwan Mohon Tunggu... Bankir - Banker/AnimalsLover/ContentCreator

Blog : https://www.ginanelwan.com Instagram : @ginanelwan Twitter : @ginanelwan atau @ginabicara

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

KDRT, Perempuan Bisa Apa?

17 September 2019   12:28 Diperbarui: 18 September 2019   03:41 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
you blow my mind | dokpri

Rumah tangga dibentuk dari sepasang manusia yang berkomitmen dalam satu visi dan misi untuk menjalani kehidupan pernikahan. Rumah tangga dibangun karena didasari kasih sayang antara suami dan isteri, disitu juga hadir anak-anak sebagai pelengkap cinta dalam sebuah keluarga.

Di indonesia, idealnya sebuah rumah tangga digambarkan dengan Laki-laki sebagai kepala keluarga yang bertugas untuk mencari nafkah, Perempuan sebagai pendamping dan support system bertugas mengatur keuangan keluarga serta anak-anak sebagai penerus harapan keluarga. Kita terbiasa dengan gambaran tersebut.

Laki-laki begitu menjadi sosok yang powerfull di dalam keluarga, ibaratnya titah mereka harus dijalankan oleh semua anggota keluarga. Begitu pun juga seorang perempuan menjadi sosok penuh cinta dan kasih yang tak kenal waktu dalam mengurus rumah tangga. 

Perempuan dalam hal ini, seorang ibu tak memiliki batas waktu dalam memberikan perhatian kepada keluarganya.

Apa yang terjadi jika idealnya sebuah keluarga hancur karena terjadi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Siapa yang suka dengan kekerasan? Kalau saya bertanya demikian, semua akan menjawab tidak suka akan kekerasan. Siapa yang pernah mengalami kekerasan? 

Kalau saya bertanya seperti ini, semua pasti akan menjawab pernah mengalami hal demikian. Alasan apapun, untuk tujuan apapun kekerasan tidak dibenarkan. 

Kekerasan menjadi dua bagian, kekerasan verbal dan non verbal. Kekerasan verbal; membentak, memaki, menghina, menjuluki, meneriaki, memfitnah, menyebar gosip, menuduh, menolak dengan kata-kata kasar, mempermalukan di depan umum dengan lisan, dll. 

Sedangkan kekerasan non verbal ; menampar, menimpuk, menginjak kaki, menjegal, meludahi, memalak, melempar dengan barang, dll. Dua-duanya begitu sangat menyakitkan.

Disini saya akan bercerita, sebuah pandangan yang lahir dari pengalaman pribadi dan berbagai macam cerita dari orang lain. Tentunya terlepas dari itu, kita adalah bagian dari ketidaksempurnaan. 

Semua orang pernah melakukan bentuk kekerasan kepada orang lain, tetapi maukah kita untuk menyadari dan berhenti? Saya pun pernah melakukan kekerasan dan akhirnya sadar untuk berhenti dan memulai hidup lebih baik.

Dalam perspektif saya sebagai seorang perempuan dan sesuai pada judul artikel ini, saya memandang bahwa KDRT sangat tidak dibenarkan. Saya merasakan bahwa menjadi seorang perempuan di Indonesia, masih belum memiliki hak-hak yang sama. Di dalam norma agama, adat dan budaya yang telah dijalankan, betapa perempuan masih di bawah laki-laki. 

Saya pernah mengalami KDRT. Saya tidak berani untuk bercerita, karena menurut saya akan susah dimengerti oleh banyak orang. Karena selalu ditanggapi dengan cibiran-cibiran yang dilakukan oleh orang lain atau bahkan sesama perempuan. 

Mengungkapkan KDRT menjadikan perempuan di Indonesia terbentur akan stigma yang ada. Bahwa aib rumah tangga, aib suami akan menjadi aib keluarga dan aib kita juga (perempuan). 

Ada banyak perempuan yang memilih diam dan terus diam akan hal ini. Pembelaan menjadi tidak penting karena masyarakat terbiasa akan pandangan-pandangan konvensional dan terbentur akan sosial budaya, adat dan norma agama. 

Perempuan harus patuh dan taat terhadap suami, ini saya sangat setuju. Namun perempuan yang diredam untuk membela haknya, sepatutnya kita melawan.

Masih hangat dengan cerita, seorang wni yang mengungkapkan uneg-unegnya pada ig story, isinya meminta bantuan kepada seluruh warga indonesia, karena yang bersangkutan mengalami KDRT. 

Perempuan tersebut meminta dipulangkan ke indonesia, konon katanya telah sampai pada kekerasan fisik yang menurut saya begitu menyeramkan. 

Reaksi dari kejadian itu, direspon positif oleh netizen dan pemerintah, yang berhasil menangani dengan cepat masalah perempuan tersebut. Namun kabarnya, yang bersangkutan masih ingin tetap tinggal bersama suaminya, mungkin memaafkan suaminya dan mengurungkan niatnya untuk pulang ke Indonesia, alasannya karena banyak pertimbangan.

Kasus tersebut menjadikan contoh bahwa menjadi seorang perempuan tidaklah mudah. Ada begitu banyak pertimbangan. Seperti contoh, tidak punya uang, tidak memiliki pekerjaan, takut akan cibiran orang, takut akan kenyataan yang dihadapi. Banyak hal yang memang menjadi pertimbangan membuat perempuan, kembali hidup dalam ketidakbahagiaan. 

Kekerasan menjadi toleransi, karena berpikir jika berpisah membuat perempuan menjadi semakin susah, karena ketidakmampuan untuk mandiri. Dan mungkin akan terus disalahkan oleh lingkungan dan bahkan keluarga. Tetapi, masih banyak kok keluarga yang selalu mendukung anggota keluarganya walau sulit terasa.

Saya juga sempat berpikir bahwa, perselisihan atau perbedaan pendapat dan mengakibatkan terjadi KDRT antara suami dan isteri pun semata-mata bukan salah seorang suami. 

Ada banyak perempuan, yang belum memilki sikap akan pengendalian emosi. Dan begitu malunya, jika berkoar-koar telah disakiti suami, namun menjadi melempem dan kembali baikan hanya karena sebuah alasan "banyak pertimbangan". 

Tentunya sebagai perempuan harus bisa bersikap, selayaknya menjadi lembut karena kamu adalah perempuan. Dan ketika semua itu dilakukan, namun masih saja mendapatkan KDRT, saran saya sebaiknya kamu harus memilih untuk berpisah.

Ada banyak perempuan urung untuk berpisah karena dikatakan "banyak pertimbangan", mempertimbangkan anak, keadaan financial, kalau kabur mau tinggal dimana dan banyak pertimbangan lainnya. 

Berdasarkan pengalaman saya, tidak menyalahkan alasan tersebut dan itu menjadi hak setiap perempuan. Namun jika saya boleh berpendapat bahwa semua pertimbangan itu terlalu dibuat-buat, dasarnya adalah perempuan mengurungkan niat untuk berpisah walaupun terjadi KDRT karena belum siap mendapatkan penilaian dari lingkungan. Belum siap terhadap penghakiman masyarakat. 

Sesederhana itukah? Yah memang seperti itu, ketidaksiapan hidup dalam ketidaknyamanan. Ketidaksiapan akan hal tersebut dapat melahirkan masalah-masalah lain. Ini sebenarnya tentang sebuah ego, karena kamu masih seorang manusia. So wajar sih, perasaan wanita lebih besar dari pada logikanya.

Menjadi tidak seimbang jika banyak aktivis perempuan berjuang untuk kesetaraan gender dan memerangi KDRT, tetapi kita (perempuan) tidak mau berjuang untuk diri kita sendiri dengan tujuan hidup baik, bahagia dan manusiawi. 

Penilaian akan terus menjadi sama dari dahulu sampai sekarang soal perempuan, jika kita (perempuan) masih bertindak secara emosional tanpa memikirkan dengan matang segala keputusan kita dan dampaknya. Kita akan terus dinilai labil dan emosional, karena tidak memiliki kesiapan dalam mengambil keputusan.

Sangat menghormati ada begitu banyak perempuan, yang dengan tenang menyelesaikan masalah rumah tangganya dengan penuh strategi. Karena menganggap semua harus dipikirkan matang, tanpa membuat reaksi-reaksi yang berlebihan pada orang banyak. Sangat menghormati perempuan yang berjuang untuk keluarganya, memilki mimpi untuk anaknya. 

Sangat menghormati perempuan yang menyusun rencana-rencana berpisah dengan bijaksana ; meredam pertengkaran dan berpisah dengan baik-baik. 

Sangat bangga untuk kalian perempuan single fighter, single mom yang memilih berpisah untuk menjauh dari hal-hal negatif dan lebih bijaksana untuk lebih mencintai diri sendiri.

Akhir kata, artikel ini adalah kegelisahan saya akan kejadian yang saya alami dan saya jumpai, tidak ada keinginan untuk melemahkan satu pihak manapun.

in love we will conquer the world.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun