Mohon tunggu...
Bhayu MH
Bhayu MH Mohon Tunggu... Wiraswasta - WIrausaha - Pelatih/Pengajar (Trainer) - Konsultan MSDM/ Media/Branding/Marketing - Penulis - Aktivis

Rakyat biasa pecinta Indonesia. \r\n\r\nUsahawan (Entrepreneur), LifeCoach, Trainer & Consultant. \r\n\r\nWebsite: http://bhayumahendra.com\r\n\r\nFanPage: http://facebook.com/BhayuMahendraH

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

PR Bangsa di 14 Tahun Reformasi

21 Mei 2012   01:57 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:02 1512
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13375680681918601331

[caption id="attachment_189478" align="aligncenter" width="552" caption="Demonstrasi reformasi 1998 di depan kampus UI Salemba (Foto: Dokumentasi Harian Bergerak UI)"][/caption]

21 Mei 1998, Presiden Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun memutuskan berhenti. Banyak analisa mengenai penyebab pasti mengapa ia akhirnya memilih jalan tersebut. Padahal banyak yang yakin, andaikata ia mau bertahan, pasti bisa. Hal itu mengingat kekuatan pendukungnya masih banyak. Bahkan seingat saya, para pimpinan gerakan mahasiswa saat itu sudah siap andaikata akhir dari gerakan akan anti klimaks. Sebutlah ditindas dengan kekerasan seperti Tragedi Tiananmen di China tahun 1989.

Namun, ternyata sejarah telah menulis. Sang Jenderal Besar telah “madheg pandhito”. Bahkan, ia pun akhirnya “madhep pancipto” yang membuat banyak rahasia terkubur bersamanya.

Hari ini, tepat 14 tahun sudah sejak lengser-nya Pak Harto. Apa yang sudah kita capai?

Harian Kompas hari ini menurunkan laporan utama di halaman 1 tentang reformasi. Kepala beritanya berjudul “Agenda Reformasi 1998 Dikhianati”.

Sebenarnya, reformasi 1998 merupakan sebuah gerakan tanpa agenda. Gerakan reformasi bahkan tidak punya pemimpin, meski ada sejumlah tokoh yang muncul saat itu. Ini pula yang membuatnya sulit ditumpas oleh penguasa. Berbeda dengan gerakan lain sebelumnya seperti Malari 1974 atau GAK (Gerakan Anti Kebodohan) 1978,reformasi 1998 seakan tak terbendung.

Namun, ketiadaan agenda membuat para pelaku reformasi linglung. Setelah Soeharto yang dijadikan “musuh bersama” dan “target operasi” tiada lagi, lantas apa? Sebagian mahasiswa mencoba menjadikan penerusnya yaitu Wakil Presiden B.J. Habibie sebagai target berikutnya. Tak semua sependapat. Hanya sehari setelahnya, para pendukung Habibie dan penentangnya langsung bentrok di Gedung MPR/DPR yang masih diduduki mahasiswa. Untunglah bentrokan itu tidak berujung pada kerusuhan.

Agenda yang ada sebenarnya merupakan satu bentuk keprihatinan rakyat secara umum. Saya kira, hal ini malah ada di benak setiap manusia di dunia. Salah satunya adalah pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang populer disingkat KKN. Sayangnya, untuk yang satu ini kita melihat yang terjadi bukan pemberantasan, tapi malah pemerataan. Bila dulu KKN terpusat di “Kroni Cendana”, kini malah merata hingga ke level terbawah pemerintahan. Pembentukan berbagai institusi termasuk KPK dan Pengadilan Khusus Tipikor masih belum bisa maksimal. Salah satu sebabnya justru karena para pelaku KKN kini tumbuh subur, seolah mereka melakukan kaderisasi. Sehingga mafia berbagai bidang terus merajalela. Reformasi lebih berupa pergantian rezim penguasa belaka. Dengan aneka praktek menyimpang yang merugikan negara dan rakyat terus dipelihara.

Akan tetapi, reformasi bukannya tak punya hasil. Seperti dituliskan harian Kompas hari ini, ada sejumlah pencapaian. Misalnya pemisahan kelembagaan TNI dan Polri pada tahun 2000 dan penghilangan kursi untuk TNI/Polri di DPR/MPR. Ini kemudian diikuti terbitnya UU No. 34/2004 yang merupakan perwujudan dari penghapusan konsep “Dwifungsi ABRI”. Kebebasan berekspresi termasuk melalui media massa juga mengalami kemajuan pesat. Permenpen No. 01/1984 yang mengatur mengenai Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) dicabut. Dengan demikian, tidak ada lagi batasan untuk mendirikan media massa kecuali dari aspek legalitas hukum perusahaan. Efeknya, penutupan media massa atau lazim dikenal dengan breidel oleh pemerintah tidak ada lagi. Media massa di Indonesia menjadi salah satu yang paling bebas di dunia. Di bidang politik, terjadi perubahan ketatanegaraan. MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara karena diubah menjadi bicameral dengan DPR dan DPD di dalamnya. Pemilihan umum langsung juga mewarnai kehidupan kita. Setiap kepala pemerintahan mulai dari tingkat dua sampai presiden dipilih langsung, demikian pula dengan anggota legislatif di semua tingkatan.

Kini, sudah seharusnya pemerintah menaruh kembali perhatian pada penuntasan agenda reformasi. Mengingat kembali apa yang menjadi tuntutan rakyat di tahun 1998, berikut adalah daftar tuntutan perjuangan Keluarga Besar UI yang balihonya sempat dipasang di depan kampus Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia:

  1. Turunkan harga dan atasi kemiskinan
  2. Atasi pengangguran dan buka lapangan kerja
  3. Hentikan pemerasan dan penindasan terhadap rakyat
  4. Kembalikan kedaulatan kepada rakyat
  5. Laksanakan segera Sidang Istimewa MPR
  6. Ganti pimpinan nasional
  7. Mahasiswa, rakyat, ABRI bersatulah!

Kita lihat saja, dari ketujuh tuntutan tersebut, mana yang sudah terwujud. Mungkin baru butir kelima dan keenam saja. Itu pun butir kelima tidak sesuai dengan aspirasi karena Sidang Istimewa MPR di era B.J. Habibie tahun 1999 tidak mengagendakan pemeriksaan terhadap mantan Presiden Soeharto. Padahal, seperti diutarakan oleh Harsoko Soediro dalam bukunya Adili Soeharto (2001), pengadilan Soeharto penting untuk mengungkap sejarah gelap bangsa sejak 1965 hingga 1998. Padahal ketujuh tuntutan itu hanya satu versi dari beberapa agenda tuntutan lain yang beredar di tahun 1998.

Masih banyak Pekerjaan Rumah (PR) bangsa yang harus diselesaikan. Meski Yuswohady melansir bahwa era Consumer 3.000 telah melanda Indonesia, namun kesejahteraan masih belum dirasakan seluruh rakyat. Masih banyak rakyat yang penghasilannya jauh di bawah US $ 3.000 per tahun. Sementara di sisi lain, penghamburan anggaran negara untuk pos pengeluaran yang dipandang tak perlu terus berlangsung. Sebutlah seperti “studi banding” ke luar negeri para anggota DPR atau fasilitas mewah lain bagi para pejabat pemerintahan. Lapangan pekerjaan masih sulit, dan tingkat pengangguran masih tinggi. Di tataran pemerintahan, kebebasan berpolitik dan desentralisasi malah membuat bangsa ini tersandera oleh friksi kepentingan antar partai politik dan individu penguasa dalam mempertahankan kekuasaannya.

Di tingkat internasional, meski ada sejumlah kemajuan dalam posisi diplomasi Indonesia, tapi juga terdapat sejumlah kemunduran. Antara lain posisi kita yang kini bukan lagi anggota OPEC (Organization of Petroleum Exporters Countries), padahal Indonesia pernah menjadi Sekjen dan Presiden organisasi negara pengekspor minyak itu. Krisis energi mengancam negara kita yang sebenarnya amat kaya ini. Sayangnya, negara seperti salah urus. Penguasa masih melindungi kroninya, sebutlah seperti kasus Gayus dan Nazaruddin. Mereka yang ‘dikorbankan’ hanya sampai level tertentu dan tidak tuntas hingga ke pucuk. Ini seperti pengusutan atas siapa yang bertanggung-jawab atas berbagai kasus seputar 1998 seperti penculikan aktivis, penembakan mahasiswa, hingga kerusuhan 13-14 Mei 1998. Gelapnya kasus-kasus itu seakan menjadi tirai kelabu bagi masa depan bangsa ini. Maukah kita bersama menyingkapkannya menuju masa depan Indonesia yang gemilang?

* Bhayu M.H. di tahun 1998 adalah pendiri dan Pemimpin Redaksi pertama Harian Bergerak! Universitas Indonesia dan salah satu dari 8 orang Presidium Ketua Kesatuan Aksi Keluarga Besar Universitas Indonesia (KA-KBUI).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun