Mohon tunggu...
Bhayu MH
Bhayu MH Mohon Tunggu... Wiraswasta - WIrausaha - Pelatih/Pengajar (Trainer) - Konsultan MSDM/ Media/Branding/Marketing - Penulis - Aktivis

Rakyat biasa pecinta Indonesia. \r\n\r\nUsahawan (Entrepreneur), LifeCoach, Trainer & Consultant. \r\n\r\nWebsite: http://bhayumahendra.com\r\n\r\nFanPage: http://facebook.com/BhayuMahendraH

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Ada Asa Dalam Cinta - Bagian 62

29 Januari 2015   05:15 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:10 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14217582741237221344


Kisah sebelumnya: (Bagian 61)

(Bagian 62)

Hari Minggu itu, Rangga menjemput Jeanette lebih dulu di apartemennya. Mereka berdua lalu menuju ke kawasan Brooklyn. Niat mereka memang menjenguk Adrien di rumah sakit. Tetapi karena akan mengajak Carla, maka berdua mereka menuju ke kedai Carla lebih dulu. Saat tiba di lokasi sekitar jam sepuluh pagi, Carla sudah siap. Ia tidak lagi memakai pakaian ala koki, melainkan pakaian pergi casual. Ia terlihat makin cantik karena meskipun tidak berdandan ala pesta, melihatnya rapi saja sudah menarik. Jeanette sendiri sempat pangling kepadanya.

“Hi Rangga, Jeanette. How are you doing?” Carla menyapa begitu ia keluar dari dalam kantor kedai. Rangga dan Jeanette memang duduk di meja pengunjung biasa. Tetapi Benito sudah mengenali Rangga sehingga langsung memanggil bosnya.

“Hello Carla… Wow! You look so gorgeous,” puji Jeanette tulus.

Carla pun memeluk Jeanette bak sahabat lama, “Hi, I’m glad you are finally come here!”

Kepada Rangga, ia pun melakukan hal serupa. Lalu ia mengajak keduanya menuju salah satu set meja makan pengunjung dan mempersilahkan duduk.

“Do you want to eat something?” Carla bertanya ketika Rangga dan Jeanette sudah duduk, sementara ia sendiri tetap berdiri.

“Hmmm… I think I’m not hungry yet.

“Oh, c’mon. Try our cooks… it’s delicious. And… free of charge for a friend!” Carla mendesak walau mengakhiri ucapannya dengan tertawa lepas. Rangga langsung senang.

“Well, you know… I crushed my last pancake, so… I will happy if I get another one…,” pesannya.

“Got it!” Carla menyambut gembira, lalu matanya mengarah kepada Jeanette, ““How about you?”

Jeanette tampak bingung, lalu menjawab, “Yeah… just bring me your special one.”

Carla berlagak bingung, lalu ia berkata dengan lagak seperti seorang presenter televisi, “Well, you want all of those listed on our menu? Because, every single food and drink here is special…”

Jeanette tertawa, ia tahu Carla sedang membanggakan diri. “Oh no. I can’t handle that. So, just bring me a plate of omelet, please…”

“And how about drink?” tanya Carla.

“I just want black coffee… decaf,” ujar Rangga, lalu disusul Jeanette, “Cappucino please…”

“All right, in a moment…,” Carla berbalik dan menyampaikan pesanan itu kepada kasir yang mencatatnya, lalu meneruskan ke dapur. Tak laa, ia bergabung dengan Rangga dan Carla di meja.

“Well, this is my place, what do you think?” tanyanya meminta pendapat Jeanette. Wanita Prancis itu melihat berkeliling, lalu berkomentar tulus.

“Well… I like it. Warm and humble. Just feel like home…,” ujarnya memuji. Carla tampak senang mendengarnya. Ia lalu menceritakan mengenai sejarah singkat café itu dan keluarganya hingga pesanan Rangga dan Jeanette datang. Carla sendiri hanya meminta minum kopi manis. Mereka menyantap hidangan sambil bercengkerama hingga tanpa terasa sudah satu jam berlalu. Mereka pun kemudian beranjak pergi menuju rumah sakit setelah Carla menitipkan pesan kepada Benito.

Setibanya di rumah sakit, mereka harus menunggu sekitar setengah jam karena waktu berkunjung belum tiba. Istilah besuk yang lazim di Indonesia berasal dari bahasa Belanda bezooek, tentu tidak dikenal di A.S.

“Woa. Thank you for visiting me, my hero and my two angels…,” sapa Adrien ceria.

Jeanette dan Carla bergantian memeluk Adrien. Mereka menyampaikan ucapan penyemangat untuk menguatkan mental sahabatnya. Adrien tampak senang dikunjungi oleh mereka bertiga. Ia bercerita betapa dokter sangat memperhatikan dirinya. Dan Adrien dengan bangga mengatakan mengulang-ulang cerita bagaimana Rangga menyelamatkan dirinya bak Bruce Lee, sang kungfu master. Ia heran bahwa di dunia nyata ternyata ada orang yang benar-benar ahli bela diri seperti di film-film laga. Karena Rangga dari Asia, tentu asosiasinya ia adalah serumpun dengan bangsa China. Satu salah kaprah yang lazim terjadi bagi orang Eropa. Apalagi, Rangga tinggal di Chinatown, sehingga Adrien malah sempat mengira Rangga mempelajari keahlian bela dirinya di lingkungan tempat tinggalnya. Tentu saja Rangga meralatnya walau tidak menjelaskan detailnya. Selama sekitar lima belas menit, mereka berbincang dan tertawa, saling bercanda untuk menyenangkan hati Adrien. Sampai tiba saatnya Adrien menanyakan pengalaman Rangga dan Carla bersama di Sabtu siang.

“How’s about yesterday? Everything’s OK at the police office?” Adrien bertanya kejadian kemarin di kantor polisi yang didatangi Rangga dan Carla.

“Yeah. If you think questioning for two hours and waiting for them preparing report for another one hour is OK, so, we just all right…,” Carla yang menjawab.

“How about you? Will they give you a medal, hero?” tanya Adrien kepada Rangga. Tetapi belum sempat Rangga menjawab, Jeanette malah bertanya kepadanya dengan heran.

“What? Did you go to the police office yesterday?” tanya Jeanette terkejut.

“Ummm…. Yeah…,” jawab Rangga sambil mengedikkan bahu.

“With her?” tanya Jeanette sambil matanya melirik Carla.

Rangga melihat ke arah Carla, lalu menjawab, “Yeah…”

“Oh, and you didn’t tell me last night?” kejar Jeanette dengan nada jengkel.

“Jeanette, please…,” Rangga meminta pengertian.

“OK. I got it!” ujar Jeanette seraya mengibaskan tangan. Upaya Rangga untuk meminta pengertian dari Jeanette tampak sia-sia saat itu.

“I think I need fresh air here…,” Jeanette pun memutuskan keluar dari ruangan rumah sakit. Carla dan Adrien memandangi Rangga meminta penjelasan.

“Yeah…. Let her take her time…,” ujar Rangga mencoba santai.

Mata Adrien dan Carla tetap menyelidik.

Lalu, dari mulut Adrien-lah keluar pertanyaan yang sebenarnya berkecamuk di benak keduanya, “Well, so you dating her last night?”

Mulut Rangga menganga, hendak menjawab. Tetapi ia urung melakukannya dan malah menaikkan alis sembari mengangkat bahu. Jawaban tanpa jawaban itu malah menjelaskan segalanya. Carla tampak menunduk. Ia lalu ikut keluar ruangan sambil berkata, Wow! I think I need fresh air too.”

Di luar kamar Adrien dirawat, Carla melihat Jeanette tengah berdiri mematung menghadap jendela, melihat ke arah taman di samping rumah sakit. Carla tidak mau mengganggunya. Maka, ia menuju ke arah lift dimana di sebelahnya terletak vending machine. Ia memasukkan beberapa uang koin pecahan 50 sen ke dalamnya dan membeli sekaleng minuman. Suara kaleng minuman yang jatuh berkelontang menggema di selasar rumah sakit yang sepi itu.

Tak urung suara itu menarik perhatian Jeanette yang sedang melamun. Ia melihat sosok Carla beberapa meter di kiri belakangnya sedang membungkuk, mengambil kaleng minuman yang dibelinya. Wanita Latin itu lalu membuka segelnya dan langsung menenggak di depan mesin penjual minuman otomatis itu. Beberapa kali ia melakukan itu dengan gaya seperti perempuan urakan. Di situlah terlihat kekerasan sikap dan keteguhan hati yang menempanya dalam hidup.

Jeanette melihatnya dan seketika tahu, reaksinya tadi berlebihan. Perlahan, ia mendekati Carla yang masih tak beranjak dari tempatnya berdiri dan minum. Meskipun membelakangi arah datang Jeanette, Carla melihat kedatangan Jeanette dari pantulan kaca di vending machine. Ia pun lantas berbalik menghadapi Jeanette dengan sorot mata menantang.

Jeanette hendak bicara, ia sudah membuka mulut, tetapi sebelum sempat melakukannya, Carla memotong niat Jeanette.

“You want him? Great. Just take him. It’s okay for me. But never accuse me cheating behind you. Got it lady?” ucapnya keras dan tegas.

Jeanette menggigit bibir. Ia tahu Carla jengkel. Kalimat yang tadi sudah berada di ujung mulut batal diucapkan. Susunan kalimatnya buyar di benak.

“OK. Listen. Carla, please hear me first, would you…?” pinta Jeanette. Carla malah membuang muka. Jeanette menghela nafas. Ia berusaha tidak terpancing ikut emosional. Sebenarnya, kedua wanita itu tergolong cukup temperamental. Hal itu karena mereka berdua terbiasa hidup mandiri dan hidup yang keras menempa mereka. Makanya, emosi mereka bisa mudah tersulut untuk hal-hal pribadi, walau untuk pekerjaan mereka sangat profesional.

Jeanette menata kalimatnya dengan cermat dan mengucapkannya dengan hati-hati. Ia mengerahkan kemampuannya sebagai jurnalis handal untuk melakukan hal pribadi itu.

“Look, Carla. I’m sorry. Okay? I apologize for the cruel moment inside. I was wrong. I took wrong action and bad reaction. Please, forgive me…,” Jeanette memutuskan berbesar hati meminta maaf lebih dulu.

“You win, lady. What else do you want? You don’t need any forgiveness from me,” ujar Carla masih tidak mau menatap Jeanette.

Jeanette menggigit bibirnya, menahan perasaannya sendiri. “I’m sorry. I’m sincere to ask this from you… I think it will necessary to act like this…”

“Act like what? Like a little kid who wants candy?” sentak Carla. Suaranya cukup keras hingga membuat beberapa pengunjung dan perawat yang kebetulan lewat menoleh. Jeanette sampai menengok ke arah mereka dan menunjukkan gesture memohon pengertian. Seorang perawat menempelkan jari telunjuknya ke bibir, menunjukkan permintaan untuk tenang. Carla yang seharusnya menjadi tujuan permintaan itu, malah tidak melihatnya. Tetapi ia sadar bahwa suaranya terlalu keras untuk ukuran rumah sakit.

“Hear me, lady. You are better than me. Rich, beautiful, smart, have a good job. So, what else? You took him easily like a finger snap!” ucapannya diakhiri dengan menjentikan jari, menunjukkan persepsinya bahwa Jeanette dengan segala yang dimilikinya begitu mudahnya memiliki Rangga semudah menjentikkan jari saja. Meski suaranya sudah pelan, tetapi malah jadi mendesis. Menunjukkan kalau Carla masih marah dan justru terasa mengancam.

Jeanette sebenarnya tersengat dengan ucapan Carla, tetapi ia berusaha menahan diri. Helaan nafasnya yang keras terdengar cukup jelas sebelum mengucapkan kalimat selanjutnya.

“However, I ask for your forgiveness meanwhile I think it’s not so easy for me to ask him out… you know, at our office, he is….,” ucapan Jeanette tidak selesai karena kembali dipotong Carla.

“I don’t care what happened at your office. The fact t hat you and him work at the same office me make realize, how stupid I am hoping for something from him. A silly girl who just meet him once or two times…,” ucapan Carla masih tajam. Tapi kali ini ia malah merutuki kebodohannya yang berharap sesuatu dari Rangga yang baru saja ditemuinya. Carla menyadari kansnya jelas lebih kecil daripada Jeanette yang teman sekantor Rangga.

“OK… OK… But for your information, whatever you think about us, there is nothing happened between us. He and I just a friend right now, no more.”

“Oh, you want to explain nothing happened last night after he stay overnight at your place?” tanya Carla menusuk langsung.

Jeanette ingin tertawa, tetapi ditahannya. Ia segera meramu kata-kata yang tepat untuk menjelaskan.

“Well, that’s not usual date for your information. We just take a walk and get some dinner at restaurant, but he insisted to refuse my invitation…,” jelas Jeanette.

“What? Do you want to tell me he didn’t touch you?”

“Well, it’s depends on how you describing touch…”

“Bitch. You want me to detail it?”

Wajah Jeanette memerah. Ia yang wanita Prancis dari keturunan keluarga kaya tidak pernah dimaki seperti itu. Sekuat tenaga ia berusaha menahan marah. Dikumpulkannya energi terakhir untuk menjelaskan kepada Carla yang juga sedang marah itu.

“Hear me Carla, whatever you called me, I’m not like that. And Rangga, for your information, is an Indonesian moslem. He is true believer on his religion. For his religion and culture, there are restricted rules which one of them is condemned sex before marriage. You must learn that!” ujar Jeanette, kali ini tanpa menyembunyikan nada jengkel, lalu berbalik meninggalkan Carla. Kali ini, justru Carla yang jadi terdiam. Beberapa langkah berjalan, Jeanette berbalik lagi menghadap Carla.

“If you mean touch as holding hand, yeah, of course we did. But no more. He even refused to kiss me!” suara keras Jeanette lantas disusul tindakan membalikkan badan kembali hendak menuju ke kamar tempat Adrien dirawat.

Tepat saat itu, Rangga keluar. Ia berdiri terpaku di ambang pintu. Tentu saja ia mendengar rangkaian kalimat yang diucapkan Jeanette. Dan langkah Jeanette pun terhenti. Ia berdiri mematung demi menyadari kehadiran sosok pria yang dibicarakannya tepat di hadapannya. Tengah menatap nanar.

(Bersambung besok)

Catatan Khusus: Mohon maaf atas absennya pemuatan cerita bersambung ini kemarin, Selasa (27/1) dan keterlambatan pemuatan hari ini.

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Cerita bersambung ini dimuat setiap hari di laman penulis http://kompasiana.com/bhayu

Untuk membaca kisah seluruh bagian yang lain, dapat mengklik tautan yang ada dalam daftar di:

Ada Asa Dalam Cinta (Sinopsis & Tautan Kisah Lengkap)

———————————————————————

Foto: AntonoPurnomo / Reader’s Digest Indonesia (Femina Group)

Grafis: Bhayu MH

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun