Mohon tunggu...
Bhayu MH
Bhayu MH Mohon Tunggu... Wiraswasta - WIrausaha - Pelatih/Pengajar (Trainer) - Konsultan MSDM/ Media/Branding/Marketing - Penulis - Aktivis

Rakyat biasa pecinta Indonesia. \r\n\r\nUsahawan (Entrepreneur), LifeCoach, Trainer & Consultant. \r\n\r\nWebsite: http://bhayumahendra.com\r\n\r\nFanPage: http://facebook.com/BhayuMahendraH

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Ada Asa Dalam Cinta - Bagian 61

26 Januari 2015   23:23 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:19 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14217582741237221344

Kisah sebelumnya: (Bagian 60)

(Bagian 61)

Kamar mandi official masih sepi sepagi itu. Kegiatan latihan baru dimulai satu jam lagi. Tapi biasanya, sudah ada yang datang setengah jam sebelumnya. Karena disiplin latihan atlet tidak membolehkan adanya keterlambatan. Carmen sebenarnya tidak ingin terburu-buru. Tetapi ia tahu, kalau ia tidak cepat, bisa-bisa malah keduluan Borne. Karena bagaimanapun Borne adalah temannya, maka jelas tidak pada tempatnya apabila malah Dani yang melepasnya pergi. Apalagi ia tahu kalau tadi Borne hendak buru-buru pergi lagi.

Di kamar mandi, Carmen berpikir sambil mandi dan berganti pakaian. Apakah sebenarnya ia benar-benar tertarik kepadateman SMA-nya itu? Karena sebenarnya, ia baru saja bertemu lagi dengannya. Lagipula, sebagai wanita tomboy, selama ini ia agak abai pada lelaki. Walau tentu saja ia tetap wanita normal, dalam arti bukan lesbian atau penyuka sesama jenis.

Pergaulannya dengan lelaki juga cenderung pada taraf pertemanan. Dalam hal ini, banyak pemain dan sesama pelatih yang juga pria. Dan ia sama sekali tidak rikuh bergaul dengan mereka. Malah, terkesan ia menganggap dirinya sendiri sebagai pria. Demikian juga para pria lain. Kecuali, tentu saja saat di kamar mandi seperti saat ini.

Carmen sengaja tidak berlama-lama seperti sudah direncanakannya. Ia hanya berada sekitar tujuh menit di kamar mandi. Lalu ia buru-buru keluar dan menuju ke lokasi kamar mandi pria. Walau tentu ia tidak bisa masuk, hanya menunggu di selasarnya. Ternyata, di bangku kayu panjang yang ada di sana, sudah duduk Dani yang tampaknya juga menunggu Borne. Ia sedang menekuri gawainya.

“Hai Dan. Udah selese temen gue?” tanya Carmen. Dani mendengar suara Carmen dan mengenalinya, mendongak dan menjawab.

“Beloman. Gue juga lagi nungguin dia nih. Takutnya nyasar pas keluar ato gimana… Lo udahan mandinya?” tanya Dani sambil menghentikan aktivitasnya. Ia menatap ke arah Carmen yang mengambil tempat duduk di sampingnya.

“Yaaah… Gue cepetin aja. Sama kayak lu. Gue kuatir temen gue malah duluan. Gak enak gue jadinya,” jelas Carmen.

“Temen? Cowok lu kali?” tembak Dani langsung.

Carmen menoleh seketika mendengar pertanyaan Dani yang jelas meminta penegasan darinya. Ia spontan menjawab, “Temen. Dia temen SMA gue…”

Dani mengangguk-anggukkan kepala sambil tersenyum dikulum, lalu bertanya dengan iseng,“Mmmm… kalo temen, kok mukanya merah gitu?”

Carmen langsung panik. Ia pun langsung merogoh k etas ranselnya, mencari-cari sesuatu. Ternyata tempat bedak yang memiliki cermin. Ia pun langsung berkaca untuk mengecek dan menepis, “Ah, nggak kok. Enak aja lu ngomong….”

Dani tertawa seraya meledak, “Yaa… kalo nggak ya nggak usah panik gitu dong ah…”

Carmen meninju lengan Dani, “Ah, sialan lu! Bisanya ngledekin orang aja… Eh, lu sendiri, mana cewek lu? Belum dateng?”

“Cewek? Cewek apaan?”

“Lha… itu… si Rina… kan lengket banget tuh sama lu…?” seloroh Carmen. Ia merujuk pada seorang anggota klub basket yang dilatih Dani. Seorang anak SMA yang tampak jelas suka kepada pelatihnya. Tetapi Dani yang lulusan sekolah keguruan bidang olahraga itu tampaknya tidak memberikan respon yang sama.

Wajahnya tampak sedikit kurang suka saat nama itu disebut, “Ah, dia… kan masih alay… yang bener aja Men…”

Carmen merasa mendapatkan ‘senjata’ untuk mengubah arah pembicaraan, malah balik meledek, “Lah, bukannya cowok suka ya sama daun muda?”

Dani tahu Carmen sedang menggodanya, maka ia tidak terprovokasi, “Daun muda? Lu pikir lalap?”

Carmen pun tertawa sosial mendengar gurauan Dani yang sebenarnya biasa itu. Di saat itulah, Borne keluar dari kamar mandi dan melihat mereka berdua sedang bercengkerama. Sebagai lelaki, ia langsung merasakan ada aura ketertarikan pada diri Dani kepada Carmen. Tampak dari caranya memandang dan bicara. Hanya saja, tampaknya Carmen tidak sadar. Mungkin itu karena mereka berdua sudah terbiasa menjadi teman dalam berlatih.

Borne berjalan perlahan mendekat bangku. Ia sempat berhenti sejenak mengamati Carmen dan Dani yang tengah bercengkerama. Ia menunggu keduanya selesai bicara agar tidak memotong pembicaraan mereka. Dengan berlagak pura-pura tidak tahu apa yang dibicarakan, Borne mendekat.

“Thank’s ya tumpangan kamar mandinya. Duh… andai gue bisa bales…, nraktir ato apa gitu…,” tawar Borne.

Carmen menyambut gembira tawaran itu. “Bener ya? Gak usah mahal-mahal. Gue laper nih. Di depan ada tukang ketoprak enak. Mau kan?”

Borne tertawa, “Ayo aja. Gue juga laper. Yuk Dan…”

Dani melihat ke arah mereka berdua. “Eh, gue ganggu kalian berdua gak nih?”

“Duh! Lu tu apaan sih Dan?” Carmen mencubit lengan Dani keras hingga temannya mengaduh.

Borne lantas menarik lengan Dani agar berdiri, “Ayo dong ikut Dan. Masak gue yang ganggu? Kan gue yang tamu di sini? Yang ada juga gue yang ganggu lu berdua…”

Dani tersengat mendengar ucapan Borne. Entah ucapan itu disengaja atau tidak, ia merasakan seperti diestrum saat mendengarnya.

“Ayo deh. Gue mau belajar dari temennya Carmen yang sukses ini…,” seloroh Dani.

“Sukses apanya?” Borne berkilah sambil merangkul Dani yang sudah berdiri dan mulai melangkah.

“Yah… mobilnya aja keren… Lah gue, cuma naik motor…,” Dani bermaksud merendah.

Tapi Borne pun tak mau menyombongkan diri, ia malah berkilah, “Ah, itu mobil jatah kantor.”

“Wow. Mau dong jatah kantornya begitu…,” seloroh Dani.

Carmen yang mengikuti dari belakang menepuk bahu Dani seraya berkata,“Kalo gitu lo salah pilih profesi sama sekolah Dan…”

“Ha? Kok bisa?” tanya Dani masih belum mengerti.

“Ya iyalah… Temen gue yang hebat ini master lulusan Amrik, kerjanya di perusahaan Amrik juga. Makanya kalo nraktir ketoprak doang mah enteng… ya nggak Borne?” Carmen berseloroh.

Borne tampak jadi salah tingkah. Karena ia pada dasarnya bukan orang yang senang membanggakan diri. “Ah, biasa aja kali… kebetulan aja itu mah…”

Dani menimpali, “Wah, kalo kebetulan bisa punya mobil kayak gitu… Gue juga mau atuh…”

Borne cuma bisa tertawa sosial saja menanggapi seloroh itu. Sepanjang jalan keluar menuju tempat tukang ketoprak mangkal, mereka bertiga berbincang seperti sahabat lama saja. Rupanya, kemampuan Borne merendahkan hati membuat Dani nyaman bicara dengannya. Carmen pun lega karena kuatir Borne akan tidak cocok dan kurang nyaman memakai kamar mandi di fasilitas olahraga milik pemerintah itu. Karena ia tahu, kelas sosial Borne lebih tinggi daripada kebanyakan orang yang berolahraga di sini. Tetapi rupanya Borne benar-benar sudah berubah. Ia bukan Borne yang sombong yang dulu dikenalnya sewaktu SMA. Kenyataan itu membuat Carmen makin yakin pada pilihan hatinya.

Seusai makan, Borne pun langsung pamit. Apa yang tidak diketahui Carmen adalah, Borne langsung hendak ke rumah Cinta setelah itu. Dan bahwasanya mereka berdua sudah “jadian” beberapa hari lalu. Malah, hari itu adalah perayaan pertama status baru mereka sebagai sepasang kekasih. Karena saat Cinta ‘nembak’ Borne, ia malah melakukannya hanya melalui telepon saja. Maka dari itu, Borne tak mau terlambat untuk datang ke rumah Cinta. Apalagi, Cinta sudah berjanji akan mengenalkannya juga kepada keluarganya. Jelas, Borne harus memberikan kesan sebaik-baiknya agar diterima sebagai pacar Cinta. Bisa jadi kelak juga jadi suaminya.

*******

[New York city]

Jeanette menggandeng tangan Rangga keluar dari café berjaringan internasional itu dengan raut wajah puas. Ia menggayut manja di lengan Rangga. Sambil berjalan pelan, mereka menikmati keramaian Times square yang bak pasar malam di malam Minggu itu.

“Are you happy tonight, dear?” tanya Jeanette sambil matanya melirik kepada Rangga.

“Well, yeah. Music is good, food is great, and…,” Rangga menggantung kalimatnya, lalu sambil menatap mata biru Jeanette, Rangga mengucapkan kalimat terakhirnya yang bernada rayuan, “the most important is my date is the best.”

Jeanette tertawa kecil. “Ah, really? I don’t think so. I saw you thinking so much tonight. What’s up?”

Rangga agak terkejut Jeanette menyadari beberapa kali ia melamun. Rangga sendiri bingung kenapa pikirannya tidak bisa tetap berada di tempat bersama tubuhnya. Melainkan melayang-layang jauh. Ke pekerjaan, ke rumahnya di China Town, ke tanah airnya di Indonesia, ke almarhum ayahnya dan tentunya kepada Carla… dan Cinta. Tetapi bukan Rangga kalau tidak bisa segera mencari jawaban.

“Ah, I just thinking about Adrien. Do you think is it fair for us spending night like this whenever our friend in hospital?” tanya Rangga.

Jeanette tampak makin simpati kepada Rangga. Ia heran Rangga masih saja memikirkan orang lain di saat bersenang-senang seperti itu.

“Ouch… don’t worry about him. I think he will be OK. He is tougher than we think. I know him since high school…,” jelas Jeanette, lalu ia menambahkan, “You’re so kind to him. You helped him and still thinking about him tonight.”

Rangga tersenyum. Ia berhasil mengalihkan perhatian Jeanette. “Well, I think we should visit him tomorrow. Do you agree?”

Jeanette tampak gembira menyambut ide itu. “Allright, I agree. See… you are so nice man…”

Rangga tersenyum mendengar pujian itu. “But, we should ask Carla to join us tomorrow?”

Jeanette tampak kurang senang mendengar usul itu. “Carla? Those bar girl?”

Rangga mengernyitkan dahi mendengar ungkapan kasar Jeanette. Ia maklum wanita Prancis itu menganggap si wanita Brazil itu saingan dalam memperebutkan dirinya. Meski begitu, ia tak rela Carla direndahkan seperti wanita murahan. “Jeanette….please… Carla is the owner of those café. And she is Adrien best friend also.”

Mendengar ucapan Rangga, Jeanette tersadar ia telah membiarkan emosi menguasainya untuk sesaat. Ucapannya memang terkesan merendahkan. Dan ia sadar itu, maka ia meminta maaf, “I’m sorry. I don’t mean that. Yeah… we can go to hospital together. It doesn’t matter for me…”


(Bersambung besok)

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Cerita bersambung ini dimuat setiap hari di laman penulis http://kompasiana.com/bhayu

Untuk membaca kisah seluruh bagian yang lain, dapat mengklik tautan yang ada dalam daftar di:

Ada AsaDalamCinta (Sinopsis&TautanKisahLengkap)

———————————————————————

Foto: AntonoPurnomo / Reader’s Digest Indonesia (Femina Group)

Grafis: Bhayu MH

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun