Mohon tunggu...
Bhayu MH
Bhayu MH Mohon Tunggu... Wiraswasta - WIrausaha - Pelatih/Pengajar (Trainer) - Konsultan MSDM/ Media/Branding/Marketing - Penulis - Aktivis

Rakyat biasa pecinta Indonesia. \r\n\r\nUsahawan (Entrepreneur), LifeCoach, Trainer & Consultant. \r\n\r\nWebsite: http://bhayumahendra.com\r\n\r\nFanPage: http://facebook.com/BhayuMahendraH

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Ada Asa Dalam Cinta - Bagian 67

3 Februari 2015   04:28 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:55 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14217582741237221344

Catatan awal: Mohon maaf atas terbaliknya pemuatan bagian 67 ini dengan bagian sebelumnya pada hari ini juga. :)

Kisah sebelumnya: (Bagian 66)

(Bagian 67)

(New York city)

Rangga nyaris tidak bisa memejamkan mata semalaman. Setelah mengantarkan pulang Carla dan Jeanette berturut-turut, ia tidak habis mengerti apa yang terjadi. Apakah benar kedua wanita ‘bule’ itu memperebutkannya? Lantas, apa yang dilihat mereka dari dirinya? Rangga sendiri merasa dirinya biasa-biasa saja sebagai seorang lelaki. Begitu introvert-nya, sehingga malah membuatnya terkesan kuper. Setelah mencari-cari kesibukan, akhirnya Rangga tertidur di depan televisi yang menyala sekitar pukul dua pagi. Alarm jam biologisnya membuatnya terbangun otomatis pada jam empat pagi. Ia pun mencuci-muka dan wudhu. Lantas shalat Shubuh. Setelah itu, ia melakukan olahraga ringan dan pergi ke teras. Tak lama, Rangga merasa ingin pergi mencari udara segar keluar rumah.

Maka, ia pun keluar dari area tempat tinggalnya pagi hari itu dan memperhatikan para pedagang yang lalu-lalang. Hari masih cukup pagi baginya untuk berangkat ke kantor. Masih ada waktu sekitar dua jam sebelum ia sendiri bisa mulai bersiap-siap.

Pandangan matanya tertuju pada sekumpulan warga sekitar yang tengah mempersiapkan dagangannya. Kebanyakan tetangganya di China Town ini memang pekerja informal. Kebanyakan memiliki rumah makan atau toko. Sehingga saat pagi seperti ini, terlihat persiapan mereka yang begitu sibuk. Sementara generasi kedua atau ketiganya ada beberapa yang jadi pekerja kantoran seperti Rangga. Hal Itu tentunya karena ditunjang faktor pendidikan. Generasi pertama yang datang pertama kali merantau ke Amerika Serikat biasanya berpendidikan rendah. Mereka berjuan mencari penghidupan seadanya. Tetapi seiring waktu dan berkat kerja keras mereka, uang yang terkumpul cukup untuk membiayai pendidikan anak-anaknya. Hingga, banyak anak-anak keturunan China yang berhasil lulus perguruan tinggi dengan baik. Merekalah yang kemudian bekerja di berbagai perusahaan yang banyak tersebar di New York, bahkan seantero Amerika. Walau tentunya kelangsungan bisnis keluarga terancam, tetapi itulah hasrat orangtua yang baik. Ingin anaknya lebih sukses dan lebih mulia hidupnya daripada dirinya sendiri.

Langkah kaki Rangga menuju ke rumah yang besar, beberapa meter dari rumahnya. Itu rumah Mr .Chang, salah satu tetangganya yang memiliki jaringan toko di seantero negeri. Ia juga eksportir dan importir aneka barang kebutuhan sehari-hari. Ia sebenarnya sudah kaya, tetapi masih saja terus bekerja keras dan tidak berleha-leha. Mr. Chang itulah yang ditemui Rangga di pembukaan pameran foto dua pekan lalu. Saat ia diperintahkan Emily mengajak Jeanette untuk meliput di MoMA. Awal dari segala kerumitan di kehidupan percintaan Rangga berasal.

Rangga melihat salah satu pegawai Mr. Chang sedang membuka gerbang. Salah satu mobil boks keluar dari areal rumahnya. Rangga mempercepat langkah sebelum gerbang itu kembali tertutup. Karena kalau sudah tertutup, agak sulit mendapatkan perhatian dari si empunya rumah.

“Zǎo ān, Shì chén shīfù zàijiā ma?” Rangga bertanya kepada orang yang membukakan gerbang apakah Mr. Chang ada di rumah. Penjaga pintu itu tampak menyelidik. Tetapi ia lalu mengangguk.

“Shì de, tā shì zài jiālǐ,” jawabnya membenarkan.

Rangga pun segera meminta izin untuk bertemu dengan Mr. Chang, “Kěnéng wǒ hé tā jiànmiàn?”

Sang penjaga kali ini tidak segera mengiyakan, tetapi malah bertanya siapakah Rangga yang tidak begitu dikenalinya, “Nǐ shì shuí?”

“Wǒ shì nǐ de línjū, wǒ de fángzi zài nà biān, zhènghǎo cóng zhèlǐ jǐmǐ,” dengan tersenyum sopan, Rangga menjawab dengan menjelaskan bahwa dirinya adalah tetangga yang rumahnya beberapa meter saja dari situ. Ia pun menunjukkan arah rumahnya, si penjaga melihat ke arah yang ditunjuk. Lalu ia mengangguk dan berkata kepada Rangga agar menunggu.

“Nǐ zhǐyào zài zhèlǐ děngzhe. Wǒ huì wèn tā,” ujarnya seraya menyuruh Rangga masuk dan menuju ke teras. Ia sendiri kemudian menutup gerbang. Tanpa berkata-kata lagi, sang penjaga lantas masuk ke dalam rumah. Ia membiarkan Rangga menunggu selama beberapa menit.

“Hi Mr. Chang, how are you?” sapa Rangga sambil menunduk dan mengepalkan kedua tangan di dada memberi hormat begitu tuan rumah keluar.

“Ha! Rangga. What’s up young man? It’s a surprise for me you come here so early in the morning,” Mr. Chang menyambut dengan tangan terbuka. Ia lalu memeluk Rangga dan mempersilahkannya kembali duduk di kursi.

“I’m sorry for disturbing you… Do you have a little spare time to talk?”

“Now? It’s that important?”

“Ummmm… actually not really. Well, I can come back later…”

“Well… it’s busy Monday morning. But I can serve a cup of tea for a good neighbor. Would you sit down there, please… meanwhile I fix several things up?”

Rangga pun mengangguk sopan. Tentu saja ia tidak bisa menolak tawaran baik hati itu. Saat Mr. Chang kembali ke dalam rumah, Rangga heran sendiri kepada dirinya. Apa gerangan yang membawanya datang begitu saja ke rumah tetangganya itu? Ia sendiri memang tidak terlalu bergaul akrab dengan para tetangga, mengingat kultur di kota tersebut memang mencirikan individualisme yang tinggi. Tetapi ia sendiri bertemu Mr. Chang justru dalam rangka pekerjaan.

Di tahun pertamanya bekerja, ia ditugasi meliput acara filantropis yang diadakan oleh komunitas imigran asal China di New York. Dalam acara itulah ia berkenalan dengan salah satu undangan, yang ternyata kemudian diminta naik ke panggung oleh Walikota New York. Waktu itu masih dijabat oleh Michael Bloomberg, satu dari antara empat orang walikota saja yang pernah menjabat selama 12 tahun.

Seusai turun dari panggung, Rangga mendekati Mr. Chang. Setelah beberapa lama mengobrol, barulah ia tahu kalau Mr. Chang adalah tetangganya. Dan di lingkungan tempat tinggalnya, rumah beliau memang salah satu yang paling besar dan sekaligus juga berfungsi sebagai kantor bagi usahanya. Ia sendiri jelas memiliki kantor utama di wilayah perkantoran, tetapi sejak pagi sebelum berangkat ke kantor, berbagai aktivitas kerja dan bisnis telah tampak di rumahnya.

Sejak itulah, mereka makin akrab. Ternyata, Mr. Chang adalah warga terpandang. Ia seringkali hadir dalam acara-acara resmi yang diadakan pemerintah kota. Termasuk dalam pembukaan pameran fotografi dua pekan lalu di Museum of Modern Arts. Mungkin karena kaitan itu pula, Rangga terpikir untuk meminta saran kepada Mr. Chang yang kira-kira seusia ayahnya kalau saja beliau masih hidup.

Rangga mulai mereka-reka di kepalanya kira-kira kalimat apa yang akan diucapkannya kepada Mr. Chang nanti. Ia tahu ini hari Senin dan ia sendiri harus pergi ke kantor. Mungkin ia tidak akan lama-lama di sini. Sekitar lima menit kemudian, Mr. Chang keluar membawa dua cangkir teh yang tampak berasap, mengepul karena panasnya air yang digunakan untuk menjerangnya. Ia membawa dua cangkir itu dengan tatakannya saja tanpa baki. Sesampai di meja, ia meletakkan satu di depan Rangga dan satu lagi untuknya sendiri. Sambil duduk santai, Mr. Chang yang masih mengenakan kaos oblong dan celana setengah betis –di sini biasa disebut celana pangsi- menyesap tehnya yang masih panas.

Rangga mencoba mengikuti, tetapi rupanya teh itu masih terlalu panas baginya. Sehingga ia meletakkan kembali cangkir dan lepeknya ke meja. Mr. Chang terkekeh melihat tingkah Rangga yang baginya lucu.

“Zhèxiē chá shì tài rèle, nǐ ne?” Mr. Chang bertanya apakah teh itu terlalu panas bagi Rangga.

Rangga mengangguk seraya berkata, “Yeah… Yī diǎndiǎn. Mr. Chang, Wǒmen néng fǒu yòng yīngyǔ jiāotán, qǐng…”

“Wèishéme bù ne?” Mr. Chang menyetujui permintaan Rangga untuk menggunakan bahasa Inggris saja. Ia maklum kalau Rangga mungkin lebih nyaman menggunakan bahasa internasional itu. Atau ia tidak ingin pembicaraan mereka didengar orang di sekitarnya. Para pegawainya kebanyakan memang imigran yang tidak terlalu paham bahasa Inggris. Dan itu memang jalan tengah, karena baik bagi Rangga maupun Mr. Chang, bahasa Inggris adalah bahasa asing, bukan bahasa ibu.

“So, how may I help you, Rangga?” tanya Mr. Chang membuka diri.

“Yeah… just like you know… maybe this is not an important thing… But actually I have no parents anymore, so… I have no shoulder to depends whenever I got some issue in my life…,” ujar Rangga memulai percakapan.

“Whoa… You know Rangga, since I know you… well… about seven years ago… I’ve told you already… you could think and treat me like your own father…,” ujar Mr. Chang bijak. Memang, Rangga sudah dianggap anak angkat olehnya. Ia seringkali diundang dalam berbagai acara keluarga. Terutama saat ada perayaan hari besar China, dimana selalu tersedia banyak makanan.

Tentu saja, minus kerja-baktinya. Karena kalau anak-anak asli Mr. Chang, justru mereka semua akan turut bekerja keras saat ada perayaan seperti itu. Tiga dari lima anaknya pun ikut bekerja membantu sang ayah di bisnis. Sementara dua orang lagi memilih bekerja kantoran. Seorang di Chicago, seorang lagi di New Jersey.

Itulah bagusnya Mr. Chang yang memberikan kebebasan bagi anak-anaknya untuk memilih jalan hidup. Padahal, kalau tidak mau susah, tinggal meneruskan saja bisnis ayahnya yang cukup besar untuk menghidupi ratusan pegawai itu. Tentu saja amat sangat lebih dari cukup kalau sekedar untuk lima orang anak beserta keluarganya. Itulah juga yang membuat Rangga kagum dan merasa cocok saat berinteraksi dengan Mr. Chang. Beberapa kali ia datang untuk ‘curhat’ dan orangtua asli Tiongkok itu selalu menerimanya dengan tangan terbuka.

Seperti juga kali itu.

“Mr. Chang, I will ask you a little of your time only…,” Rangga memulai percakapan. Mr. Chang mengangguk-anggukkan kepala mendengarkan sambil menyesap Chinese Green Tea-nya. Rangga tahu, itu isyarat baginya untuk meneruskan ucapannya.

“Well, do you remember the girl that accompany me at the exhibition opening ceremony, two weeks ago?”

Mr. Chang menurunkan cangkir dari mulutnya, membawanya setinggi dada. Senyumnya yang bijak begitu menenteramkan. Bak memayungi di tengah cuaca terik membakar. Wajahnya yang memang sudah tua penuh kebijakan. Rangga seperti menemukan gabungan antara orangtua, guru, dan seorang ahli agama di sana. Sosok yang seolah mampu memecahkan segala masalah, cuma dengan ketenangannya belaka.

“How a man could forget such a beautiful and hottie girl like her?” jawab Mr. Chang sambil tersenyum diimbuhi kerlingan nakal bergaya bak anak muda. “If only I am forty years younger… I bet you will be my rivals to get her heart, right?”

Rangga tertawa dengan gurauan Mr. Chang. Ia tahu di masa mudanya orangtua itu pasti tergolong good looking. Sisa ketampanannya masih terlihat. Dari foto yang pernah dilihatnya di ruang tamu, ia tahu kalau di masa mudanya Mr. Chang mirip dengan aktor laga Chow Yun-Fat. Apalagi tubuhnya yang pekerja keras sejak muda juga liat dan cukup berotot.

“Yeah, her name is Jeanette, she is my work mate…,” jelas Rangga.

Mr. Chang tampak tertarik, “So, she is a journalist also?”

“Yes, she is. But she work at different media. You know, my group of companies has several media…,” Rangga memberikan detail mengenai pekerjaan Jeanette.

“Well… actually, she is to hot to be a journalist, don’t you think so?” tanya Mr. Chang. Ucapan itu hanya disambut dengan senyuman dan alis yang terangkat saja oleh Rangga, “maybe… I don’t know about that…”

Mr. Chang meletakkan cangkirnya ke atas meja. Ia tertawa dan langsung menuju ke pokok permasalahan. “Ah, you must be know. Only blind people who don’t know clear fact like that. So, what’s the problem? She refused your proposal?”

Rangga malah tertawa kecil mendengar komentar Mr. Chang itu. “Well… not to boast of my self… but, in fact she seems like chasing me very much…”

“What? That’s no problem at all, dude…,” ujar Mr. Chang dengan gerakan tangan yang dibuat bergaya ala rapper. Meskipun berusia hampir 80 tahun, tetapi beliau ini sangat gaul dan update dengan perkembangan zaman. Wawasannya luas dan tahu banyak hal di luar bisnis dan pekerjaannya. Kesamaan itulah yang membuat Rangga mudah saat berkomunikasi dengannya. Bahkan, menurut penuturannya, ada dua orang saudaranya yang tinggal di Indonesia. Sayangnya, ia belum sempat mengunjungi mereka walau sempat berwisata dua kali ke Bali.

“Well… the problem is… I am still confused…,” ujar Rangga.

“Confused? About what? That you will spend your whole life with her?” tanya Mr. Chang sambil mengerjapkan mata menggoda.

“Hahaa… I am still not thinking about that… Actually… there is another…”

“Whoa! You are my man! Really? I bet you confused how to choose between two beautiful girl, right?” tebak Mr. Chang yakin.

Rangga tersipu malu. Dengan agak menunduk, ia menyebutkan, “Well… three… with my honest…”

“What? Three? What a lucky bastard you are!” seru Mr. Chang terkekeh. Ia tampak senang Rangga malah bingung pada hal yang menyenangkan. “So… tell me about them. Completely!”

“But… I think you are busy… and I must go to the office…,” Rangga agak bingung karena bila menceritakan soal mereka bertiga, tentu akan makan waktu lama. Tetapi tampaknya Mr. Chang sudah tertarik dan malah tampak ingin tahu.

“Don’t think about that. A couple hours will not stop my business. Hahaha… But it’s okay if you will arrange another proper time…,” tawar Mr. Chang dengan baik hati.

Rangga berpikir sesaat. Lalu ia berkata singkat, “Well, I think I can give you a little brief…” Mr. Chang mengangguk dan tampak senang. Ia lantas meminta izin Rangga sebentar untuk menelepon. Karena menggunakan bahasa Mandarin yang Rangga juga paham, ia tahu Mr. Chang mengatakan akan terlambat datang ke kantor dan mendelegasikan beberapa tugas. Ia tahu semua itu dilakukan Mr. Chang cuma untuk memberikan waktu bagi Rangga bercerita.

Rangga pun melakukan hal yang sama. Ia mengetikkan SMS kepada Emily, meminta izin untuk datang agak terlambat ke kantor. Karena di kantornya memang absen berdasarkan waktu tidak begitu penting, maka hal itu tidaklah menjadi masalah. Rangga cuma harus ingat pada dateline setiap tulisan dan fotonya saja. Jadi “target oriented”, bukan “process oriented”.

Setelah sekitar dua menit menelepon, Mr. Chang pun meletakkan handphone-nya yang terlihat jadul bagi Rangga ke atas meja. Agak mengherankan mengapa orang yang sebenarnya terhitung konglomerat itu malah menggunakan gawai murahan. Tetapi berdasarkan pengalaman interaksinya dengan banyak orang berusia tua, mereka memang malas beradaptasi dengan teknologi. Jadi, walaupun uangnya ada, mereka masih mempertahankan barang lama. Umumnya, mereka tidak akan menggantinya kalau tidak rusak.

“So, we have plenty of time now… Go on with your story…,” ujar Mr. Chang mempersilahkan Rangga bercerita. Menghela nafas sesaat, Rangga pun mulai menceritakan mengenai ketiga wanita yang kini hadir di hidupnya itu. Dimulai dari Jeanette yang pernah bertemu dengan Mr. Chang, lalu Carla… dan terakhir, Cinta.

(Bersambung besok) --> Kisah Lanjutan: (Bagian 68)

Catatan Khusus:

Kisah “Ada Asa Dalam Cinta: Episode 1” ini akan segera berakhir... beritahukan teman-teman Anda agar segera turut membacanya di Kompasiana ya… ;)

Segera setelah pemuatan di Kompasiana ini berakhir, akan masuk tahap penyuntingan (editing) akhir dalam proses pencetakan menjadi buku. Versi buku akan berbeda dalam beberapa detail dibandingkan versi di Kompasiana ini. Karena itu, tetap beli bukunya nanti saat sudah terbit ya :)

Catatan Tambahan: Karena sempat terjadi kegagalan pengunggahan beberapa kali, maka untuk memenuhi target pemuatan, mulai hari ini Minggu, 1 Februari 2015 hingga Jum’at, 6 Februari 2015 serial novel AADC akan dimuat dua kali sehari.

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Cerita bersambung ini dimuat setiap hari di laman penulis http://kompasiana.com/bhayu

Untuk membaca kisah seluruh bagian yang lain, dapat mengklik tautan yang ada dalam daftar di:

Ada Asa Dalam Cinta (Sinopsis  & Tautan Kisah Lengkap)

———————————————————————

Foto: Antono Purnomo / Reader’s Digest Indonesia (Femina Group)

Grafis: Bhayu M.H.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun