Mohon tunggu...
Humaniora Pilihan

Durability Bias

12 Agustus 2018   16:43 Diperbarui: 12 Agustus 2018   19:05 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pekerja Wanita | Sumber Jooinn.com

Pada masa mahasiswa dahulu, saya mengenal seorang pegawai di salah satu kantor di bilangan Thamrin. Kita panggil saja namanya dengan Mbak Puput. Saya mengenal Mbak Puput karena membantu beliau mengerjakan beberapa pekerjaan kantornya.

Mbak Puput adalah seorang pribadi yang ramah dan menyenangkan. Ia cerdas, dan kepintarannya itu diikuti dengan sikap yang membumi. Ia senang membantu siapa saja, termasuk saya yang ilmunya amatlah cetek hehe. Lebih dari itu, terlihat sekali bahwa Mba Puput membantu dengan tulus. Buat saya, Mbak Puput seakan memberikan suntikan EnergiBaik bagi orang-orang di sekelilingnya.

Mbak Puput duduk di belakang saya dan ia membantu saya selama periode magang. Pada saat itu, ia sedang hamil sekitar lima bulan. Saya ingat di malam terakhir saya magang, saya mengantarkan Mbak Puput untuk mengecek kondisi janinnya bersama teman-teman yang lainnya. Saat itu, saya bermaksud untuk mengajak pegawai di kantor untuk makan malam perpisahan bersama.

Tak dinanya, sore harinya, Mbak Puput mengalami sakit di perutnya sehingga saya membatalkan acara makan-makan itu. Saya lantas mengantarkan Mbak Puput ke rumah sakit. Kabar baiknya, dokter menyatakan tidak ada masalah dengan janinnya. Mungkin pada hari itu, Mbak Puput kelelahan ketika bekerja. Dokter menyarankan dirinya untuk menjaga kesehatan dan tidur yang cukup.

***

Welcome to the jungle! Sekitar empat tahun yang lalu, saya bertemu kembali dengan Mbak Puput. Kali itu, kami dipertemukan dengan status saya yang berbeda, menjadi pegawai resmi di kantor dahulu tempat saya ditempat menjadi anak magang. Kami berbincang panjang lebar karena sudah lama tidak bertemu. Saya meminta beberapa petuah dari Mbak Puput untuk bisa survive di hutan belantara ini hahaha. Sebagai anak baru, saya harus bersiap diri agar dapat selamat, bukan begitu?

Sampai saya menanyakan satu pertanyaan, "Mbak sekarang gimana kabar bayinya?"

Mbak Puput lantas menjawab, "bayiku meninggal ketika dilahirkan."

Ah, saya tidak mengetahuinya. Saya menyesal menanyakan hal ini. Saya merasa bersalah, dan ini mungkin terlihat dari raut wajah saya.

Mbak Puput tahu itu. Ia tersenyum ceria, benar-benar ceria dan berkata, "ya sudahlah, itu kan dua tahun yang lalu."

***

Manusia mengalami momen hidup yang bahagia dan derita. Masa bahagia seringkali dilanjutkan dengan masa duka, begitu pun sebaliknya. Setiap fase ini akan berlalu. Akan tetapi, kita cenderung berpikir tidak seperti itu. Seorang profesor Harvard yang juga penulis buku, Dan Gilbert pernah menanyakan satu pertanyaan kepada rekan sejawatnya, "How you feel two years after the sudden death of your eldest child?"

Seperti yang Anda duga, setiap pertanyaan akan dijawab dengan nuansa patah hati, kesedihan, dan bayang-bayang kematian. Tidak hanya itu, mereka juga membayangkan suasana yang relatif sama dalam dua tahun periode setelah kematian anak mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun