Mohon tunggu...
bharata yudha
bharata yudha Mohon Tunggu... -

trying wisely, hanya ingin berbagi, tak pernah lelah tuk terus belajar, selalu berusaha mengambil hikmah dan senantiasa mensyukuri hidup dan kehidupan... just so simple

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Budaya; Jerman vs Indonesia: Refleksi Perbandingan

23 Agustus 2013   09:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:56 1460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saat ini Indonesia dihadapkan pada tantangan global berupa persaingan dalam segala bidang terutama ekonomi & perdagangan. Ada sejumlah pra-syarat yang mesti dipenuhi oleh bangsa ini untuk mampu bersaing di tingkat global, antara lain budaya unggul. Sementara, budaya unggul yang dimiliki bangsa Indonesia masih jauh dibandingkan budaya unggul bangsa lain, misalnya Jerman. Jerman (bangsa yg mampu bangkit dari keterpurukan pada PD II dan tumbuh menjadi bangsa yang kuat dan maju , bahkan menjadi lokomotif Uni Eropa). Jerman dengan nenek moyangnya bangsa Aria/Indo German. Secara historis Bangsa Aria juga bermigrasi ke India (yg juga memiliki budaya unggul). Sebagian wilayah Indonesia dan masyarakatnya dahulu banyak mendapatkan pengaruh yg sangat kuat dari kebudayaan Hindhu-Budha (dari India). Sebutan Aria/Arya sebenarnya tidak asing bagi nenek moyang bangsa Indonesia, bahkan banyak dipakai sebagai nama, misalnya: Arya Wiraraja, Arya Penangsang, Arya Damar, dll.

Budaya Unggul Jerman vs. Indonesia

1.Jujur

Banyak contoh budaya jujur bangsa Jerman dlm kehidupan sehari-hari: Membayar / membeli tiket naik trem/bus sendiri tanpa ada petugas yang menariknya, Membeli Koran dengan membayar dan mengambil sendiri tanpa ditunggui penjualnya, Penggunaan student card utk mendapatkan berbagai fasilitas (gratis transportasi, diskon makan di menza, diskon masuk museum, dll.) dg tanpa meminjamkannya kepada orang lain yg bukan mhs supaya memperoleh fasilitas yg sama, Melaksanakan tes atau ujian di Univ. (kecurangan diberikan sanksi tegas), Pemberian surat keterangan dokter.

Sementara, pada bangsa Indonesia (mayoritas Muslim) belum menjadi sebuah budaya budaya. Kejujuran sebagai nilai penting baru sebatas kognitif/pengetahuan blm terwujud dlm sikap/afektif apalagi budaya keseharian masyarakat. Sesungguhnya agama (Islam) dengan ajaran tentang kejujurannya merupakan modal yg sudah dimiliki bangsa ini untuk membangun budaya jujur.

2.Anti korupsi dan melayani

Beberapa contoh: Budaya anti korupsi di kalangan aparat kepolisian, Budaya anti korupsi di kalangan pegawai kantor pemerintah (mengurus perpanjangan visa utk mhs. asing / gratis.

Untuk kasus ini, Indonesia perlu bekerja keras, karena budaya yang dimiliki justru kebalikannya. Meskipun demikian, kita memiliki agama dg ajarannya ttg keharaman riswah yg dapat dipakai utk membongkar budaya korupsi dan menggantinya dengan membangun budaya anti korupsi.

3.Mandiri dan kerja keras dengan hasil bermutu tinggi

Kemandirian diajarkan sejak dini. Di usia 19 th : menghidupi diri sendiri. Beberapa contoh: Penguasaan teknologi : mesin/mobil-made in Germany, Seni: Bethoven-Gothe-Johan Sebastian Bach. Bahasa, penguasaan B. Arab dengan baik dlm waktu yg cepat, Penulisan Kamus: Arab Jerman Hans-Wehr, Pengalaman kuliah: tdk ada model paket, tdk ada budaya meminjam catatan orang lain, waktu kerja/belajar untuk kerja/belajar, sedangkan waktu istirahat utk istirahat, tdk “kombinatif”.

Bangsa Indonesia sesungguhnya sudah memiliki budaya kerja keras, tetapi belum cukup menghasilkan produk dg mutu yg tinggi. Betapa banyaknya orang yang bekerja siang malam dan bekerja apa saja, tetapi hasilnya begitu-begitu saja. Budaya mandiri jg belum terbentuk. Mungkin karena dominannya rasa kasihan yang diberikan oleh orang tua kepada anak sehingga anak justru menjadi kurang mandiri. Banyak kasus dimana orang tua menanggung kehidupan anak bahkan ketika sang anak sudah menikah/berkeluarga.

4.Berfikir serius /cinta ilmu

Ungkapan sehari-hari dalam B. Jerman:“Ich denke” / I think dan bukan “Ich fuhle”/ I feel menunjukkan budaya berfikir yg kuat. Analogi dikutip dari Monika Wizeman: “Kalau orang Amerika dan Jerman diperintahkan mendiskripsikan harimau maka orang Amerika akan masuk hutan 2 hari dan keluar membawa 2 buku deskripsi harimau, sedangkan orang Jerman akan masuk ke hutan selama 2 bln dengan membawa tumpukan buku yg berisi deskripsi lengkap harimau dari ujung kuku sampai ujung rambut kepala dan ekornya tanpa ada yg tersisa”. Jerman banyak menghasilkan filosof besar dunia : Immanuel Kant, Karl Marx, tokoh-tokoh dalam Madzhab Frakfurt, dll. Untuk menjamin pendidikan semua sekolah gratis dari SD-PT bahkan utk orang asing, dan akses kepada sumber ilmu dipermudah: perpustakaan.

Bangsa Indonesia, Insyaallah sudah mengarah ke sana. Hanya saja, khusus utk urusan berfikir serius kita belum punya banyak tokoh filosof, meskipun sesungguhnya kita punya banyak budayawan. Mungkin ada hubungannya dengan kuatnya kekuatan perasaan daripadakekuatan piker sebagai mana terungkap dalam bahasa sehari-hari: “saya rasa” atau “saya kira”, bukan “saya pikir”.

5.Disiplin

Ungkapan “Du komst zu spaet” merupakan ungkapan yg dilontarkan kepada seseorang yang terlambat misal. menyerahkan /menyelesaikan sesuatu Contoh-contoh dlm keseharian: Bus/kereta api/trem berangkat dan tiba sesuai jadwal. Bahkan sampai jadwal makanpun, mereka disiplin.

Budaya ini belum terbentuk di kalangan bangsa kita. Dalam berbagai aspek kehidupan, kita belum memiliki budaya disiplin. Dalam hal waktu misalnya, istilah “jam karet” merupakan salah satu indikasi ini.

6.Apa adanya

Beberapa contoh: Berbicara straightto the point, Penampilan-pakaian, hp, kendaraan, membawa bekal makanan & minuman sendiri, dsb.)

Budaya kita lebih dominan menampilkan sisi luar / formalitas daripada substansi. Akibatnya, costly tetapi tidak menghasilkan sesuatu yang fundamental.

7.Memberikan kepada orang lain akan haknya

Beberapa contoh: Antri utk memperoleh pelayanan -di bank, took roti, kantor pemerintah, kasir, dll., Memberikan hak pengguna jalan : jl raya, jalan sepeda, trotoar, dll. Informasi tentang hak-hak dan fasilitas calon pengguna moda transportasi (mana tiket yg murah, dengan kereta yg baik, serta dg waktu tiba yg tanpa mengganggu jadwal kegiatan si calon pengguna transportasi KA).

Budaya kita, masih senang menyerobot dan menyembunyikan hak orang lain. Terlalu banyak contoh untuk disebutkan.

8.Taat pada aturan

Beberapa contoh kecil: naik/turun penunpang di halte, lampu lalu lintas yg benar-benar dipatuhi, penggunaan fasilitas di kampus, Cara orang tua mendidik anak utk taat pada aturan di rumah dengan reward and punishment – (pengalaman melihat orang tua bersama anak di super market)

Budaya taat aturan belum sepenuhnya kuat. Kita masih harus bekerja keras untuk membentuk budaya ini secara lebih mantap dan menyeluruh.

9.Percaya pada kemampuan sendiri dan kreatif (semua pekerjaan dipikirkan dan diciptakan alat utk mempermudah mengerjakannya (ingat penemuan mesin cetak: Gutenberg, dll.).

Budaya kita, masih “gumunan” dan “minder” berhadapan dengan bangsa lain.

10.Berjuang sampai titik akhir, tanpa kenal putus asa (bangkit dari kehancuran PD II- semua kota dan bangunan di rekonstruksi dan kembali seperti sediakala, permainan sepak bola – mengejar ketertinggalan bahkan menjelang permainan berakhir)

Kita punya pengalaman besar (merebut kemerdekaan dari penjajah), tapi mental tersebut belum membudaya dalam seluruh lini kehidupan bangsa. Kita memiliki modal berupa ketahanan dalam penderitaan. Tetapi modal tsb. belum dikombinasikan dengan budaya dinamik, tetapi justru Yang menonjol justru budaya statis (bahkan mungkin suka kemapanan dan anti perubahan), kurang berani mencoba dan berinovasi (yang sesungguhnya merupakan kunci kemajuan).

11.Cinta tanah air (Vaterland –Indonesia: Ibu pertiwi, orang Jerman sangat bangga menggunakan bahasa Jerman / tdk banyak Uni menggunakan B. Inggris, bersatunya Jerman: setiap warga Jerman barat berkontribusi utk melunasi hutang negara eks Jerman Timur, bangga dan cinta terhadap produk sendiri).

Kita justru kebalikannya, budaya cinta tanah air melemah. Beberapa contoh: kurang sadar berbahasa Indonesia yang baik. Yang lebih tragis, banyak bahasa daerah yang hamper mati.

Bangsa Indonesia sesungguhnya memiliki modal untuk membangun budaya unggul. Perlu pendidikan dan pelatihan/pembiasaan yg diusahakan secara sadar dan terencana untuk mewujudkan budaya unggul dengan berkaca pada ajaran agama (Islam), modal budaya dan pengalaman historis bangsa Indonesia sendiri yang relevan, serta budaya unggul bangsa lain.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun