Barangkali kita semua masih mengingat dengan jelas bagaimana tensi tinggi menjelang dan sesudah Pemilihan Umum Presiden tahun 2014 silam. Setiap hari kita diperlihatkan pemberitaan tentang kekurangan dan kelebihan  masing-masing kandidat calon Presiden.
Tidak sampai disitu saja, media sosial pun menjadi gaduh setiap detiknya mana kala setiap akun menuliskan kebanggaannya pada salah satu kandidat. Begitulah era politik modern, dimana setiap ada celah untuk mempromosikan diri disitulah ia akan muncul.
Ini adalah gambaran saya tentang situasi politik modern di negeri tercinta Indonesia. Tentu masing-masing negara memiliki cerita yang berbeda. Bahkan setiap kepala memiliki pandangan yang beraneka ragam tentang kondisi politik terkini.
Sudah tiga tahun pasangan Jokowi dan Jusuf Kalla memimpin negeri ini, berbagai prestasi pun sudah diraih. Pro dan kontra mengiringi langkah keduanya dalam menjalankan roda pemerintahan.
Namun ada satu yang menarik perhatian, kala kritik dari masyarakat mengalir bukan dari aksi demonstrasi semata. Melainkan kritik mengalir deras dari sumber baru yang dinamakan media sosial.
Kritiknya pun beragam dari yang menyampaikan dengan bahasa yang sopan hingga ungkapan kasar yang dapat menyakiti hati seseorang. Itulah realita yang terjadi di era teknologi serba canggih, semua ungkapan untuk seseorang tak lagi tersaring.
Pasca pemilihan kepala negara atau daerah, akan muncul berbagai respon dari masyarakat. Entah itu puas karena jagoannya menang pemilihan atau kecewa melihat kandidatnya kalah telak.
Tawa dan haru mengiringi pesta demokrasi lima tahunan. Dulu dan sekarang telah berubah, bagi yang kalah akan membiasakan diri menjadi opsisi untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Layaknya aktor berbakat, para politisi akan tetap tersenyum manis meski jagoannya kalah.
Mahkamah Konstitusi (MK) membuka opsi bagi masyarakat yang merasa tidak puas akan jalannya pemilihan umum dengan mengajukan gugatan melalui persidangan MK. Seperti yang terjadi pada Pemilu Presiden 2014, dimana untuk pertama kali hasil pemilihan kepala negara harus menempuh persidangan MK terlebih dahulu.
Pemilihan umum yang dikenal sebagai pesta demokrasi sudah berubah wajah. Keceriaan yang dahulu terpancar seakan telah sirna. Tengok bagaimana panasnya Pemilu Presiden 2014 dan Pemilu Gubernur DKI Jakarta. Keberadaan dua pesta demokrasi yang berjarak tiga tahun itu seperti ajang balas dendam antar dua kubu yang berkuasa.