Mohon tunggu...
B. Gustiadi
B. Gustiadi Mohon Tunggu... Human Resources - Suka Menulis Suka-Suka

"Terbang melintasi langit dengan sayap itu sebuah impian, sedangkan terbang menggunakan imaji itu yang dinamakan tujuan"

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dendam dan Kebebasan Berpendapat di Era Modern

9 November 2017   11:24 Diperbarui: 9 November 2017   13:59 775
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Barangkali kita semua masih mengingat dengan jelas bagaimana tensi tinggi menjelang dan sesudah Pemilihan Umum Presiden tahun 2014 silam. Setiap hari kita diperlihatkan pemberitaan tentang kekurangan dan kelebihan  masing-masing kandidat calon Presiden.

Tidak sampai disitu saja, media sosial pun menjadi gaduh setiap detiknya mana kala setiap akun menuliskan kebanggaannya pada salah satu kandidat. Begitulah era politik modern, dimana setiap ada celah untuk mempromosikan diri disitulah ia akan muncul.

Ini adalah gambaran saya tentang situasi politik modern di negeri tercinta Indonesia. Tentu masing-masing negara memiliki cerita yang berbeda. Bahkan setiap kepala memiliki pandangan yang beraneka ragam tentang kondisi politik terkini.

Sudah tiga tahun pasangan Jokowi dan Jusuf Kalla memimpin negeri ini, berbagai prestasi pun sudah diraih. Pro dan kontra mengiringi langkah keduanya dalam menjalankan roda pemerintahan.

Namun ada satu yang menarik perhatian, kala kritik dari masyarakat mengalir bukan dari aksi demonstrasi semata. Melainkan kritik mengalir deras dari sumber baru yang dinamakan media sosial.

Kritiknya pun beragam dari yang menyampaikan dengan bahasa yang sopan hingga ungkapan kasar yang dapat menyakiti hati seseorang. Itulah realita yang terjadi di era teknologi serba canggih, semua ungkapan untuk seseorang tak lagi tersaring.

Dendam

Pasca pemilihan kepala negara atau daerah, akan muncul berbagai respon dari masyarakat. Entah itu puas karena jagoannya menang pemilihan atau kecewa melihat kandidatnya kalah telak.

Tawa dan haru mengiringi pesta demokrasi lima tahunan. Dulu dan sekarang telah berubah, bagi yang kalah akan membiasakan diri menjadi opsisi untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Layaknya aktor berbakat, para politisi akan tetap tersenyum manis meski jagoannya kalah.

Mahkamah Konstitusi (MK) membuka opsi bagi masyarakat yang merasa tidak puas akan jalannya pemilihan umum dengan mengajukan gugatan melalui persidangan MK. Seperti yang terjadi pada Pemilu Presiden 2014, dimana untuk pertama kali hasil pemilihan kepala negara harus menempuh persidangan MK terlebih dahulu.

Pemilihan umum yang dikenal sebagai pesta demokrasi sudah berubah wajah. Keceriaan yang dahulu terpancar seakan telah sirna. Tengok bagaimana panasnya Pemilu Presiden 2014 dan Pemilu Gubernur DKI Jakarta. Keberadaan dua pesta demokrasi yang berjarak tiga tahun itu seperti ajang balas dendam antar dua kubu yang berkuasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun