Di zaman yang katanya sudah setara ini, seorang lelaki mesti jadi banyak hal sekaligus --- seperti aktor buruk yang dipaksa memainkan semua peran dalam satu panggung yang tak pernah menjanjikan tepuk tangan. Ia harus kuat tapi lembut, tegas tapi penuh toleransi, berpendidikan tinggi namun tetap tunduk dalam argumen, berbadan tegap tapi tidak terlalu dominan --- dan jika mungkin, cerdas secara spiritual. atau dalam bahasa lainnya kuat namun lembut, dominan namun tidak patriarkis, mapan namun tak angkuh, berotot tapi spiritual, cerdas tapi tak menggurui. Di balik semua tuntutan itu terselip ironi — sebuah ketidakmungkinan eksistensial yang membuat banyak pria muda hidup dalam tekanan psikologis yang senyap namun membusuk.
Dalam sunyi kamar kos atau tengah riuh warung kopi, lelaki muda kini tak hanya memikirkan biaya hidup. Mereka memikirkan apakah mereka cukup pant worthy untuk sekadar diajak berkenalan oleh perempuan yang standar hidup dan cintanya telah dikalibrasi oleh algoritma Instagram, podcast motivasi, dan curhatan trauma generasi sebelumnya.
Menurut data dari American Psychological Association (2020), tingkat bunuh diri pria tiga kali lipat lebih tinggi dibanding perempuan, dengan puncaknya terjadi pada pria usia 20–34 tahun. Sebuah studi dari CDC bahkan mencatat bahwa angka depresi pada pria meningkat drastis sejak 2008, namun sebagian besar tidak terdiagnosis karena norma maskulinitas membuat mereka enggan mencari bantuan (silent crisis).
Douglas Murray, dalam The Madness of Crowds (2019), mengungkap bagaimana budaya woke dan politik identitas telah menciptakan lanskap sosial yang mempersulit laki-laki untuk merasa sah menjadi dirinya sendiri. Ia menulis: “Kita menyaksikan maskulinitas menjadi tuduhan, bukan identitas. Kita menghukum naluri laki-laki sebelum ia sempat bertindak.”
Kritik terhadap feminisme radikal dan ideologi woke semakin menggema di kalangan konservatif. Matt Walsh menyatakan bahwa feminisme hari ini telah berubah dari perjuangan hak menjadi perjuangan dendam. “Laki-laki sekarang tidak dinilai dari moralitas atau niat baiknya, tapi dari apakah ia cukup ‘terdekontruksi’ secara gender.”
Richard Reeves, dalam Of Boys and Men (2022), memberi analisis mendalam bahwa krisis laki-laki bukan soal dominasi yang runtuh, tetapi soal kehilangan arah. Reeves menggarisbawahi bagaimana pendidikan dan pekerjaan kini lebih berpihak pada perempuan, sementara laki-laki tertinggal dan kehilangan daya saing. Ia bahkan menyebut perlunya affirmative action bagi pria muda dari kelas bawah.
Slavoj Žižek, dalam khasnya yang dekonstruktif, menyatakan bahwa maskulinitas hari ini bukan hanya diserang dari luar, tapi juga dibocorkan dari dalam. “Kapitalisme hari ini menciptakan subjek laki-laki yang dilemahkan secara afektif: ia harus fleksibel, murah senyum, dan tidak berdaya. Sebuah pria neoliberal yang feminim secara struktural.”
Maka benang merahnya bukan sekadar soal maskulinitas yang ditekan — tapi maskulinitas yang kehilangan makna. Dulu, pria dicintai karena tanggung jawab dan pengorbanan. Kini, bahkan ketika ia setia, jujur, dan bekerja keras, ia bisa dianggap “terlalu maskulin,” “tidak self-aware,” atau “tidak cukup woke.”
Muncullah ironi: standar perempuan terhadap pria menjadi lebih tinggi, lebih kompleks, dan lebih kontradiktif. Ini bukan lagi tentang menjadi “baik,” tapi tentang menjadi sempurna secara emosional, estetis, finansial, dan spiritual — sekaligus.
Dan ketika pria gagal memenuhi itu? Mereka tak hanya ditolak. Mereka dibatalkan. Dijadikan meme. Dijadikan narasi toksik. Seperti kasus Johnny Depp yang digunakan Matt Walsh sebagai simbol pria yang dibantai oleh opini publik, atau kasus lokal seperti Baim Wong yang dipermalukan ketika mencoba bersuara soal pengkhianatan dalam rumah tangga.
Ini bukan hanya soal cinta yang gagal. Ini soal sistem sosial yang memberi perempuan hak untuk menuntut, dan pria kewajiban untuk menahan diri — tanpa ruang untuk bersedih atau marah.