Mohon tunggu...
Betrika Oktaresa
Betrika Oktaresa Mohon Tunggu... Administrasi - Full time husband & father. Part time auditor & editor. Half time gamer & football player

Full time husband & father. Part time auditor & editor. Half time gamer & football player

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Penghasilan CEO Memicu Krisis Keuangan Dunia

24 Desember 2016   22:57 Diperbarui: 25 Desember 2016   17:14 614
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: http://news.forexlive.com/

Banyak negara di dunia terguncang oleh krisis keuangan tahun 2007-2009, yang mungkin lebih akrab ditelinga kita dengan sebutan Global Financial Crisis (Krisis Keuangan Global). Beberapa pihak bahkan menggambarkan krisis keuangan yang terjadi itu sebagai krisis keuangan terburuk sejak Depresi Besar (Great Depression) yang pernah terjadi di Amerika Serikat delapan dekade lalu. Baik negara-negara maju maupun negara berkembang sama-sama sangat terpengaruh, yang akhirnya menurunkan Produk Domestik Bruto Dunia (PDB) sebesar 0,6 persen pada tahun 2009.

Krisis tersebut kemudian terus berkembang dan berubah menjadi resesi ekonomi global, periode pertumbuhan ekonomi yang negatif, pertama kalinya sejak Perang Dunia II. Harga saham di seluruh pasar saham global anjlok, banyak bank di AS dan Eropa mengalami kerugian, hingga perusahaan besar global yang bergerak pada jasa keuangan, Lehman Brothers, yang telah berusia lebih dari satu abad dinyatakan bangkrut.

Banyak pakar yang percaya bahwa faktor penyumbang utama dalam akar penyebab krisis industri perbankan, yang kemudian meluas menjadi krisis keuangan global adalah kebijakan kompensasi yang diterima oleh para CEO dan eksekutif di lembaga keuangan di Amerika Serikat. Beberapa pakar berpendapat bahwa struktur kompensasi eksekutif dapat mendorong para eksekutif untuk mengambil terlalu banyak risiko yang bisa membahayakan stabilitas perusahaan mereka. Momentum krisis keuangan global dapat digambarkan sebagai puncak dari perhatian dunia kepada kompensasi eksekutif.

Bagaimana rasionalisasi dari pembayaran kompensasi yang diterima oleh para eksekutif bisa menyebabkan sebuah perusahaan merugi? Bahkan bangkrut?. Banyak pihak yang salah menganalisis penyebab ini, dimana pihak tersebut terlalu sibuk menyoroti besaran kompensasi yang diterima oleh para eksekutif.

Tentu jika kita mencari tahu informasi tentang kompensasi yang diterima oleh eksekutif di search engine Google misalnya, atau di media massa, titik pembahasan yang muncul akan berfokus pada besarnya nilai kompensasi yang dibayarkan oleh perusahaan, yang nantinya akan dibandingkan dengan nilai kompensasi yang diterima oleh rata-rata pegawai di perusahaan yang sama, hingga muncul sebuah perbandingan, atau disebut dengan Ratio between CEOs and average workers.

Di Amerika Serikat misalnya, pada tahun 2014, ratio tersebut mencapai 354 : 1, yang artinya kompensasi atau penghasilan yang diterima oleh seorang CEO atau jajaran eksekutif 354 kali dari penghasilan rata-rata pegawai di perusahaan yang sama. Bahkan, Robert A. Iger, CEO Walt Disney, dibayar 557 kali dari rata-rata pegawainya. Sekedar informasi, rasio ini di suatu titik tahun mungkin berubah, turun, namun tren secara keseluruhan, setiap tahun rasio ini justru semakin bertambah, yang artinya gap antara penghasilan CEO dan pegawai semakin jauh.

Namun untuk dijadikan catatan, bukan besarnya nilai ini yang menjadi penyebab krisis keuangan yang terjadi. Bukan besarnya nilai yang harus dibayarkan oleh perusahaan yang menyebabkan suatu perusahaan merugi, bahkan bangkrut. Benar bahwa krisis keuangan global disebabkan oleh kompensasi eksekutif, namun, bukan karena besaran penghasilannya, namun karena struktur dari kompensasi yang diterima.

Kompensasi eksekutif biasanya terdiri dari kombinasi dari beberapa komponen, dengan proporsi tertentu dari masing-masing komponen. Elemen pertama dalam kompensasi adalah gaji pokok, yang diterima dalam bentuk uang tunai dan tidak terkait dengan kinerja. Komponen berikutnya adalah bonus, yang dihitung berdasarkan pencapaian target tertentu, biasanya mengacu pada keuntungan perusahaan yang dituangkan dalam laporan keuangan.

Bonus biasanya diukur dengan dasar jangka pendek, berdasarkan pendapatan tahun sebelumnya. Untuk bonus yang diterima dalam bentuk kas berdasarkan kinerja beberapa tahun, disebut dengan Rencana Insentif Jangka Panjang (Long-Term Incentives Program/ LTIP). Kedua jenis bonus tersebut adalah non-ekuitas / kompensasi berbasis kas (Non-equity based compensation).

Lalu, eksekutif juga akan mendapatkan kompensasi yang berbasis ekuitas (equity based compensation), yang terdiri dari opsi saham (stock option) dan hibah saham (stock grant). Opsi saham adalah hak yang diberikan kepada eksekutif untuk membeli saham perusahaan pada nilai yang telah ditentukan dan durasi tertentu.

Dalam opsi saham, kompensasi ‘real’ yang diterima oleh eksekutif adalah selisih antara harga saham di pasar dan harga saham yang ditentukan tersebut. Semakin tinggi harga saham di pasar, jarak antara harga saham di pasar dan yang telah ditentukan semakin lebar, maka keuntungan kompensasi dari eksekutif semakin besar pula.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun